Garam, batik tangan, dan tradisi karapan sapi (balap banteng), yang telah berkembang menjadi simbol budaya yang kuat di wilayah ini, telah lama dikaitkan dengan Pulau Madura. Â Baik di dalam negeri maupun di luar negeri, identitas masyarakat Madura telah lama tertanam kuat dalam gambaran ini. Â Dinamika sosial-ekonomi di wilayah ini, bagaimanapun, telah mengalami perubahan signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Â Banyak kota telah mulai mengembangkan inovasi ekonomi berdasarkan potensi lokal, baik melalui pengelolaan limbah, pengembangan kuliner, eksploitasi sumber daya alam, maupun pelestarian budaya yang dikemas sebagai pariwisata. Desa-desa di Madura tidak lagi dipandang sebagai lokasi pasif yang hanya menerima program pembangunan, melainkan sebagai laboratorium inovasi yang dapat menghasilkan ide-ide baru untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas berkat kecerdikan penduduk lokal, dukungan perusahaan swasta, kerja sama pemerintah, dan partisipasi masyarakat desa. Â Keragaman sektor pengembangan desa ditunjukkan oleh sepuluh inovasi terbaru, yang meliputi pengelolaan limbah rumah tangga, penggunaan teknologi untuk produksi garam, diversifikasi kuliner berdasarkan masakan regional, pertumbuhan pariwisata budaya, dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Keberlanjutan terhambat oleh masalah dasar yang dihadapi setiap inovasi, seperti kekurangan dana, tata kelola yang buruk, dan strategi pemasaran yang belum berkembang.
Di Desa Banyusangka, Kabupaten Bangkalan, program bernama Siram Berbakat, atau Sistem Kristalisasi Garam Menggunakan Batu Bara Rakyat dari Sampah, melahirkan satu inovasi menarik. Â Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO), perusahaan minyak dan gas yang memprioritaskan pengembangan desa dengan strategi berbasis teknologi ramah lingkungan, meluncurkan program ini melalui Pusat Garam Terpadu. Sampah rumah tangga yang sebelumnya tidak bernilai diubah menjadi briket dan digunakan sebagai bahan bakar dalam proses kristalisasi garam. Dampaknya sangat signifikan. Dibandingkan dengan garam yang diproduksi dengan teknik konvensional, kualitas kristal garam yang dihasilkan lebih unggul karena lebih putih, halus, dan bersih. Â Petani kini dapat memproduksi hingga 50 kg garam per hari, yang merupakan peningkatan produksi yang signifikan. Jumlah bahan baku limbah yang relatif, transfer teknologi dari industri mitra, dan pemahaman masyarakat yang semakin meningkat bahwa sampah dapat memberikan nilai tambah jika diolah dengan benar, semuanya berperan besar dalam kesuksesan program ini. Namun, sistem ini Dampaknya sangat signifikan. Dibandingkan dengan garam yang diproduksi dengan teknik konvensional, kualitas kristal garam yang dihasilkan lebih unggul karena lebih putih, halus, dan bersih. Â Petani kini dapat memproduksi hingga 50 kg garam per hari, yang merupakan peningkatan produksi yang signifikan. Jumlah bahan baku limbah yang relatif, transfer teknologi dari industri mitra, dan pemahaman masyarakat yang semakin meningkat bahwa sampah dapat memberikan nilai tambah jika diolah dengan benar, semuanya berperan besar dalam kesuksesan program ini.
Penggunaan Teknologi Filter Screw (TUF) adalah inovasi lain yang ditawarkan Desa Banyusangka selain Siram Berbakat. Dengan mengubah bentuk plot garam menjadi spiral, penemuan ini mempercepat proses penguapan air laut ( ) dan memungkinkan penyaringan air laut secara alami. Akibatnya, masa panen kini dapat dipersingkat menjadi hanya 14 hari dari sebelumnya 21 hingga 28 hari. Kecepatan produksi yang lebih tinggi dan konsentrasi NaCl yang lebih tinggi dalam garam untuk memenuhi pedoman konsumsi nasional adalah dua keunggulan dari penemuan TUF. Alasan utama kesuksesan program ini adalah kemudahan adaptasi teknologi, kesederhanaannya, penggunaan pipa limbah non-B3 sebagai bahan ramah lingkungan, dan kemungkinan pendapatan petani yang lebih tinggi akibat panen yang lebih sering. Namun, hambatan tetap ada, terutama terkait biaya awal yang relatif tinggi untuk membangun lubang spiral, yang menjadi kendala bagi petani kecil dengan modal terbatas. Sistem spiral juga memerlukan perawatan rutin agar berfungsi optimal. Selain itu, pasar garam nasional didominasi oleh perusahaan besar, sehingga sulit bagi produsen garam skala kecil untuk menembus saluran distribusi yang lebih luas, sehingga membatasi manfaat ekonomi yang dihasilkan.
Di Desa Marparan, Kecamatan Sreseh, Kabupaten Sampang, inovasi juga dihargai. "Apartemen Kepiting" adalah teknik yang digunakan oleh penduduk setempat untuk meningkatkan budidaya kepiting mangrove. Kepiting dapat dibudidayakan secara mandiri berkat ide kotak bertingkat, yang secara signifikan mengurangi kemungkinan kanibalisme. Dari segi ekonomi, kualitas kepiting terjaga lebih baik dan lebih mudah dipasarkan, serta tingkat keberhasilan budidaya meningkat akibat penurunan tingkat kematian. Dari segi ekologi, penggunaan wilayah pesisir yang sebelumnya kurang dimanfaatkan meningkatkan produktivitas sambil mempromosikan pelestarian hutan mangrove. Selain itu, pendekatan ini berpotensi menjadi destinasi wisata edukatif yang membuka peluang baru untuk diversifikasi pendapatan komunitas. Inovasi ini tidak tanpa tantangan. Membangun tempat tinggal kepiting membutuhkan biaya yang tinggi, dan menjaga kesehatan kepiting memerlukan keahlian teknis. Potensi pasar yang lebih besar belum sepenuhnya dimanfaatkan karena pemasaran masih terbatas pada tingkat regional.
Di Marparan, inovasi kuliner juga sangat umum. Saat ini, ubi jalar yang biasanya hanya direbus atau ditambahkan ke kompot menjadi bahan utama es krim. Prosesnya menciptakan tekstur lembut dan rasa manis alami dengan cara mengukus, menghancurkan, lalu mencampur dengan susu dan gula. Diversifikasi ini menunjukkan potensi besar untuk mengubah bahan makanan tradisional menjadi produk bernilai tinggi dan modern. Ketersediaan ubi jalar yang luas, kemudahan produksinya, dan meningkatnya popularitas konsumsi makanan alami dan sehat merupakan faktor-faktor yang berkontribusi pada terobosan ini. Namun, karena memerlukan rantai dingin yang sulit dipertahankan pada tingkat produksi rumahan, pengembangan es krim ubi jalar menghadapi masalah distribusi. Selain itu, pemasaran masih terbatas pada acara lokal, dan jangkauan pasar semakin dibatasi oleh daya beli penduduk setempat. Selain itu, komunitas Marparan membuat keripik dari batang pisang, yang sering dibuang sebagai sampah. Untuk menciptakan kudapan lezat yang eksklusif bagi desa, batang pisang diiris tipis, dimasak hingga renyah, dan kemudian dibumbui. Elemen pendukung utama adalah ketersediaan dan keterjangkauan bahan baku serta daya tarik berkelanjutan makanan regional. Â Pemuda juga didorong untuk terlibat dalam memulai usaha rumahan berkat proses produksi yang sederhana. Namun, branding yang buruk dan minimnya promosi membuat sulit untuk memasuki pasar baru. Agar produk dapat bersaing di pasar yang lebih besar, standar higiene industri dan manufaktur juga menjadi tantangan mendesak yang perlu diselesaikan.