Matahari baru saja mulai menghangatkan diri, belum sepenuhnya, tapi tetiba saja kamu mendinginkannya kembali. Aku ingat sekali bagaimana aku memanggilmu, namun kurasa kelu. Yang kudengar bukan suaraku, melainkan dia. Lucu sekali, namamu hanya mampu menggema dalam relung dan tak pernah sampai ke telingamu bahkan ketika kamu tepat di hadapanku.
Kamu menengok, sembari menyingkirkan segelintir rambut yang menutupi kelopak matamu, menghalangi pandanganmu---padanya---oh. Tentu saja bukan padaku. Jelas sekali aku hanya terdiam, dan sekali lagi ku jelaskan dia berhasil menyebut namamu dengan lantang. Kemudian kamu dengan senang hati berbagi senyum simpul dengannya. Indah sekali, seakan tetiba saja senja menghampiriku.
Seakan sepersekian detik adalah seabad bagiku tuk mengingat simpulmu padanya---yang kukira (kuharap) padaku---saat itu. Aku tidak mengerti bagaimana caramu menyihirku hanya dengan berjalan, bergerak atau bahkan diam selama kamu berada dalam jangkauan pandangku. Tetiba saja membeku, membisu, bahkan membiru. Tidak, bukan membiru, tapi memerah, merona. Teringat kembali, aku membalas senyummu lebar-lebar dalam hatiku namun kutampilkan lengkung bibir yang amat tipis dan amat samar.
Aku memandangimu diam-diam, tersenyum diam-diam, mencintaimu diam-diam, hingga diam-diam aku kecewa pada diriku yang senantiasa diam. Pun kecewa padamu yang senantiasa mendiamiku. Hingga kini, tiada hari yang kulewati tanpa melihatmu tak memandanginya, tak bersamanya, tak ....entahlah, jika kamu tau itu berarti tiada hari yang kulewati tanpa tak mengawasimu, diam-diam.