Mohon tunggu...
Handy Fernandy
Handy Fernandy Mohon Tunggu... Dosen - Pelaku Industri Kreatif

Dosen Teknik Informatika Universitas Nahdatul Ulama Indonesia (Unusia) Pengurus Yayasan Gerakan Indonesia Sadar Bencana (Graisena)

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Para Penjaga Peradaban Kopi di Kaki Gunung Slamet

24 April 2019   12:00 Diperbarui: 24 April 2019   14:40 2247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani Kopi Kaki Gunung Slamet (Dokpri)

"Jadi pada zaman dahulu kala dianggap gak memiliki masa depan. Padahal kalo kita menanam kopi di dekat sayuran, biasanya sayuran yang dikorbankan, dalam arti sayuran itu akan ternaungi, terhalangi dari mendapat pancaran cahaya, padahal pohon kopi-kan tinggi-tinggi pohonnya, ini ngomongin pohon kopi yang lawas, otomatis sayur harus dikorbankan. Tapi kopi itu gak ada nilai jualnya sama sekali.

"Kopi masuk titik jenuh yang menyebabkan, yaudah gitu. Gak ada harganya. Itu yang menjadi sebabnya," sambungnya.

Saat ini diakui oleh Ulil sudah banyak petani yang kembali menanam kopi. Alasannya lantaran kopi kini tengah populer reputasinya dengan bermunculan karya seperti buku, lagu, bahkan film yang membahas kopi.

"Sejauh yang gue lihat sih, keterbatasan informasi. Karena kehidupan di desa beda dengan di kota, kita gak tau kalo kopi di kota punya nilai ekonomi. Orang di desa gak tahu kalo kopi yang gak ada merk-nya itu gak laku dijual. Sesuatu yang sangat-sangat salah," kata Ulil.

"Pertama karena common sense itu kopi 'sachetan', karena rasanya  beda dengan kopi 'sachetan',   orang gak mau beli, ih rasanya aneh dan lain sebagainya. Sebanyak apapun supply kalo gak ada demand yah kacau. Nah, itu yang menyebabkan beberapa penanam kopi trauma untuk disuruh menanam kopi lagi.

"Di kelurahan saya itu sekarang udah beberapa yang menanam. Yang menanam kopi yang biasanya sudah open minded, mereka yang udah tahu dunia luar. Karena dulunya pernah hidup di kota jadi mau menanam kopi," sambungnya.

Sementara petani kopi lainnya, Yanto mengatakan bahwa menanam kopi juga sebagai penjaga peradaban. Ia menganggap kopi sebagai tanaman tumpang sari membuat orang yang ingin menanam kopi harus juga melestarikan tumbuhan sekitarnya.

Yanto mencontohkan kopi yang ditanamkan di hutan pohon pinus. Semakin banyak pohon pinus maka hal tersebut bisa menyerap air sehingga bencana seperti longsor atau banjir tidak mendekati tempat tinggalnya.

"Kopi untuk mencegah erosi, karena lahan di sini sudah banyak yang gundul. Jadi yang paling bagus itu kopi," imbuh Yanto.

Yanto mengatakan bahwa daeerah seperti Tegal dan Brebes atau wilayah di sekitar kaki Gunung Slamet bisa menjadi lumbung kopi nasional, asal semua bisa saling mendukung. Khususnya pemerintah setempat.

"Cuma banyak tengkulaknya sih mas," keluh Yanto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun