Mohon tunggu...
Handy Fernandy
Handy Fernandy Mohon Tunggu... Dosen - Pelaku Industri Kreatif

Dosen Teknik Informatika Universitas Nahdatul Ulama Indonesia (Unusia) Pengurus Yayasan Gerakan Indonesia Sadar Bencana (Graisena)

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Para Penjaga Peradaban Kopi di Kaki Gunung Slamet

24 April 2019   12:00 Diperbarui: 24 April 2019   14:40 2247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani Kopi Kaki Gunung Slamet (Dokpri)

Bumijawa, Tegal berada di ketinggian 800-1300 meter dpl. Tak heran di wilayah yang masuk dalam kawasan kaki Gunung Slamet ini memiliki udara yang relatif dingin dan menjadi daerah penghasil tanaman dataran tinggi seperti sayur-sayuran, buah-buahan, teh, kayu, getah pinus dan kopi.

Di antara banyak komoditas alam yang dihasilkan wilayah ini, kopi tidak terlalu populer bila dibandingkan dengan teh yang produknya sudah dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia. Teh yang dimaksud adalah teh Poci yang aroma dan rasanya yang khas.

Padahal, di kawasan ini terdapat jenis kopi bernama Kopi Lereng Gunung Slamet yang merupakan kopi arabica yang memiliki cita rasa yang nikmat dan menjadi kopi khas nusantara dan masuk sebagai salah  satu dari banyak kekayaan milik Indonesia.

Meski kurang populer, namun beberapa petani di wilayah ini mencoba untuk "hijrah" dengan memulai untuk menanam kopi. Meski sebelumnya memiliki pengalaman buruk di masa lalu.

Salah satu petani bernama Ulinnuha yang kebetulan merupakan enterpreneur dengan mendirikan Kafe Salkopi yang terletak di Komplek Pondok Pesantren TQ Salsabila, Dukuh Babakan Desa Tuwel Kecamatan Bojong, Tegal,  Jawa tengah itu mengatakan bahwa kopi sempat menjadi salah satu hasil tani populer saat ia kecil, namun sempat memudar ketika dirinya memasuki masa SMP.

Pria yang akrab dipanggil dengan Gus Lik itu menceritakan bagaimana kakeknya pernah menjadi petani kopi dan diolah untuk dijual di pasar atau dikonsumsi sendiri, namun ia mengaku tidak menemukan praktet tersebut dalam waktu yang cukup lama sebelum akhirnya pria yang juga merupakan seorang tenaga pengajar itu akhirnya menghidupkan kembali tradisi lama keluarganya; menanam kopi.

"Setelah diingat-ingat ternyata di daerahku itu sudah ada kopi. Cuma ada semacam missing link. Zaman aku kecil, mbahku itu sering metik kopi di kebun, kemudian diolah jadi minuman, kemudian setelah SMP hal itu udah gak ada," ungkap Ulil.

"Jadi sebenarnya di daerahku punya sejarah kopi. Tapi karena ada missing link, sekarang kita seolah-olah mulai dari awal," sambungnya.

Menurutnya, tak hanya kakeknya yang meninggalkan kopi. Tetapi juga penduduk sekitar rumahnya yang mayoritas merupakan petani. Mereka akhirnya menanam sayur dan buah. Mereka menganggap kopi tidak memiliki masa depan saat itu.

Ranggie Ragatha dan Ulinnuha  (Dokpri)
Ranggie Ragatha dan Ulinnuha  (Dokpri)

"Dua tahun terakhir (2017, red), sebelum mainan kopi gue kan riset kecil-kecilan dengan nanya ke beberapa petani yang sukses. Lalu gue tanya 'kenapa gak mau menanam kopi?' menurut gue, kopi adalah komoditas yang menjual. Ternyata dari jawaban mereka gue merasa sedikit banyak karena ada unsur trauma," ujar Ulil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun