Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum

2 (dua) Perbuatan yang Belum Masuk Katagori Korupsi

27 Maret 2023   09:13 Diperbarui: 27 Maret 2023   09:32 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Illicit Enrichment (Pengkayaan Tidak Sah).

Illicit enrichment (pengkayaan tidak sah) adalah istilah hukum yang mengacu pada peningkatan kekayaan seseorang secara tidak sah atau tidak wajar yang tidak dapat dijelaskan dengan sumber pendapatan yang sah. Pengkayaan tidak sah terjadi ketika seseorang memperoleh harta secara tidak wajar atau tidak sah, misalnya dengan menerima suap, menyelewengkan dana publik, atau melakukan tindakan korupsi lainnya.

Dalam beberapa negara, pengkayaan tidak sah dianggap sebagai tindakan pidana (korupsi) dan dapat dikenakan sanksi hukum, seperti denda, pidana penjara, atau pengembalian harta yang tidak sah tersebut. Tujuannya adalah untuk mencegah korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya serta memastikan bahwa kekayaan yang dimiliki oleh individu dan perusahaan didapatkan dengan cara yang sah dan adil.

Apabila di Indonesia sudah ada aturan yang mengatur pekayaan yang tidak sah sebagai perbuatan korupsi, maka kewajiban Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) akan menjadi pintu masuk bagi aparat memproses tindak pidana korupsi atas perbuatan pengkayaan tidak sah. Jadi LHKPN bukan hanya sekedar perbuatan administratip saja, sebagaimana selama ini berlaku. Adanya data transaksi mencurigakan senilai 347 triliun rupiah oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) dapat dijadikan sebagai bahan berharga untuk bertindak cepat dan efektif oleh penegak hukum.

Trading In Influence (Perdagangan Pengaruh)

Walau Indonesia telah meratifikasi UNCAC pada 18 April 2006 melalui UU No. 7 tahun 2006, namun soal perdagangan pengaruh belum diatur dalam UU tindak pidana korupsi. Hal ini akhirnya menjadi bahan pembelaan para tersangka kasus korupsi dengan mengatakan perdagangan pengaruh tak terdefinisikan dengan jelas di hukum Indonesia.

Namun, perdagangan pengaruh erat kaitannya dengan suap atau gratifikasi. Inilah sebabnya delik suap dan gratifikasi dapat digunakan untuk menjerat para pelaku korupsi bermoduskan perdagangan pengaruh.

Namun tentunya kalau menggunakan pasal suap dan gratifikasi akan membutuhkan waktu relatif lama karena aparat menempuh jalan yang berbelok dan terjal. Sulit bagi aparat menjangkau pejabat yang melakukannya karena pejabat tersebut tidak terlibat langsung.

Meskipun perdagangan pengaruh dan suap terkait erat, tapi sifat keduanya berbeda. Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam kajiannya berjudul "Implementasi Aturan Trading in Influence dalam Hukum Nasional" menjabarkan perbedaan keduanya.

Salah satu perbedaan mendasar adalah jumlah pelakunya. Perdagangan pengaruh bisa melibatkan dua hingga tiga orang pelaku. Dua orang pelaku berasal dari sisi pengambil kebijakan, termasuk si penjual pengaruh yang tidak mesti pejabat publik atau penyelenggara negara. Sedangkan seorang lainnya adalah si pemberi yang menginginkan keuntungan dari pejabat publik atau penyelenggara negara.

Misalnya, seorang ketua partai didekati oleh pengusaha agar bisa melobi kadernya yang duduk di legislatif untuk menghasilkan kebijakan yang memuluskan usahanya. Pengusaha tersebut menjanjikan keuntungan sekian persen dari penjualan produknya. Dalam hal ini, ketua partai telah memperdagangkan pengaruhnya untuk bisa melobi kadernya tersebut.

Berbeda dengan perdagangan pengaruh, penerima suap adalah penyelenggara negara karena terdapat unsur penyalahgunaan kekuasaan dalam jabatan. Pemberi suap bisa berasal dari penyelenggara negara maupun swasta yang berinteraksi langsung dengan penyelenggara negara.

Menurut penilain Wuryono (ahli hukum), perdagangan pengaruh adalah pelanggaran etik dari jabatan penyelenggara negara dan erat kaitannya dengan benturan kepentingan atau conflict of interest. Para penyelenggara negara tersangka korupsi biasanya memiliki kedekatan dengan pelaku perdagangan pengaruh, seperti kawan, keluarga, atau kolega satu organisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun