Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum

2 (dua) Perbuatan yang Belum Masuk Katagori Korupsi

27 Maret 2023   09:13 Diperbarui: 27 Maret 2023   09:32 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

2 (dua) Perbuatan Yang Belum Masuk Katagori Korupsi.

oleh Handra Deddy Hasan

Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Melawan Korupsi (United Nations Convention against Corruption/UNCAC) pada tanggal 9 November 2006 dan resmi menjadi negara anggota UNCAC pada 11 Desember 2006. Sebagai negara anggota UNCAC, Indonesia diwajibkan untuk menerapkan ketentuan-ketentuan dalam konvensi ini, termasuk ketentuan yang terkait dengan illicit enrichment (pengkayaan tidak sah) dan trading in influence ( perdagangan pengaruh).

UNCAC mengatur dan mengharuskan negara-negara anggotanya untuk mencegah, mendeteksi, dan mengadili tindakan korupsi, termasuk pengkayaan tidak sah dan perdagangan pengaruh, baik di sektor publik maupun swasta. Negara-negara anggota UNCAC juga diwajibkan untuk memberikan kerangka kerja hukum yang kuat, transparansi, dan akuntabilitas dalam pemerintahan dan sektor swasta guna mengurangi risiko tindakan korupsi.

Di Indonesia, tindakan pengkayaan tidak sah dan  perdagangan pengaruh katanya dapat menggunakan   aturan  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi). Padahal dalam UU Korupsi belum ada aturan rinci tentang kedua perbuatan tersebut masuk dalam katagori korupsi.


Sebagaimana disebutkan dalam azas legalitas hukum pidana yang diatur dengan jelas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dimana ditentukan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.

Dalam UU Korupsi sangat jelas bahwa perbuatan pengkayaan tidak sah dan perdagangan pengaruh tidak diatur sebagai perbuatan korupsi, sehingga kalau ada seseorang melakukannya tidak bisa dikatakan telah melakukan perbuatan korupsi. Yang diatur dalam UU Korupsi adalah perbuatan suap atau menyalah gunakan kewenangan pejabat. Jadi kalau ada dugaan seseorang kekayaannya tiba2 melonjak secara drastis tanpa bisa menjelaskan asal usulnya, bukanlah merupakan tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya bisa sekedar mencurigai sambil berusaha menyelidiki perbuatan pidana suap atau penyalah gunaan kekuasaan pejabat tersebut.

Begitu juga apabila seorang pejabat membuat kebijakan yang merugikan negara karena dipengaruhi oleh orang lain, bukanlah suatu perbuatan korupsi, lagi2 KPK hanya sekedar mencurigai dan berusaha menyelidiki apakah ada perbuatan suap (kick back) dalam hal ini.

Respons KPK atau aparat hukum lain dalam kasus2 ini (Kejaksaan, Kepolisian) hanya sebatas curiga dan menyelidiki sehingga butuh waktu relatif panjang untuk memastikan adanya pidana korupsi, sementara pelakunya telah lebih dulu melakukan pencucian uang, menghilangkan barang2 bukti dan tindakan antisipasi2 lainnya yang akan membuat perkara tuduhan korupsi menjadi gagal total.

UU Korupsi sebagai instrumen hukum korupsi masih lemah dan kurang. Sehingga dalam kondisi saat ini dimana telah terungkap adanya transaksi keuangan tidak wajar di Kementrian Keuangan mencapai jumlah 347 triliun rupiah menjadi hanya sebatas wacana dan UU Korupsi tidak berdaya menjangkaunya.

Illicit Enrichment (Pengkayaan Tidak Sah).

Illicit enrichment (pengkayaan tidak sah) adalah istilah hukum yang mengacu pada peningkatan kekayaan seseorang secara tidak sah atau tidak wajar yang tidak dapat dijelaskan dengan sumber pendapatan yang sah. Pengkayaan tidak sah terjadi ketika seseorang memperoleh harta secara tidak wajar atau tidak sah, misalnya dengan menerima suap, menyelewengkan dana publik, atau melakukan tindakan korupsi lainnya.

Dalam beberapa negara, pengkayaan tidak sah dianggap sebagai tindakan pidana (korupsi) dan dapat dikenakan sanksi hukum, seperti denda, pidana penjara, atau pengembalian harta yang tidak sah tersebut. Tujuannya adalah untuk mencegah korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya serta memastikan bahwa kekayaan yang dimiliki oleh individu dan perusahaan didapatkan dengan cara yang sah dan adil.

Apabila di Indonesia sudah ada aturan yang mengatur pekayaan yang tidak sah sebagai perbuatan korupsi, maka kewajiban Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) akan menjadi pintu masuk bagi aparat memproses tindak pidana korupsi atas perbuatan pengkayaan tidak sah. Jadi LHKPN bukan hanya sekedar perbuatan administratip saja, sebagaimana selama ini berlaku. Adanya data transaksi mencurigakan senilai 347 triliun rupiah oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK) dapat dijadikan sebagai bahan berharga untuk bertindak cepat dan efektif oleh penegak hukum.

Trading In Influence (Perdagangan Pengaruh)

Walau Indonesia telah meratifikasi UNCAC pada 18 April 2006 melalui UU No. 7 tahun 2006, namun soal perdagangan pengaruh belum diatur dalam UU tindak pidana korupsi. Hal ini akhirnya menjadi bahan pembelaan para tersangka kasus korupsi dengan mengatakan perdagangan pengaruh tak terdefinisikan dengan jelas di hukum Indonesia.

Namun, perdagangan pengaruh erat kaitannya dengan suap atau gratifikasi. Inilah sebabnya delik suap dan gratifikasi dapat digunakan untuk menjerat para pelaku korupsi bermoduskan perdagangan pengaruh.

Namun tentunya kalau menggunakan pasal suap dan gratifikasi akan membutuhkan waktu relatif lama karena aparat menempuh jalan yang berbelok dan terjal. Sulit bagi aparat menjangkau pejabat yang melakukannya karena pejabat tersebut tidak terlibat langsung.

Meskipun perdagangan pengaruh dan suap terkait erat, tapi sifat keduanya berbeda. Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam kajiannya berjudul "Implementasi Aturan Trading in Influence dalam Hukum Nasional" menjabarkan perbedaan keduanya.

Salah satu perbedaan mendasar adalah jumlah pelakunya. Perdagangan pengaruh bisa melibatkan dua hingga tiga orang pelaku. Dua orang pelaku berasal dari sisi pengambil kebijakan, termasuk si penjual pengaruh yang tidak mesti pejabat publik atau penyelenggara negara. Sedangkan seorang lainnya adalah si pemberi yang menginginkan keuntungan dari pejabat publik atau penyelenggara negara.

Misalnya, seorang ketua partai didekati oleh pengusaha agar bisa melobi kadernya yang duduk di legislatif untuk menghasilkan kebijakan yang memuluskan usahanya. Pengusaha tersebut menjanjikan keuntungan sekian persen dari penjualan produknya. Dalam hal ini, ketua partai telah memperdagangkan pengaruhnya untuk bisa melobi kadernya tersebut.

Berbeda dengan perdagangan pengaruh, penerima suap adalah penyelenggara negara karena terdapat unsur penyalahgunaan kekuasaan dalam jabatan. Pemberi suap bisa berasal dari penyelenggara negara maupun swasta yang berinteraksi langsung dengan penyelenggara negara.

Menurut penilain Wuryono (ahli hukum), perdagangan pengaruh adalah pelanggaran etik dari jabatan penyelenggara negara dan erat kaitannya dengan benturan kepentingan atau conflict of interest. Para penyelenggara negara tersangka korupsi biasanya memiliki kedekatan dengan pelaku perdagangan pengaruh, seperti kawan, keluarga, atau kolega satu organisasi.

Hal ini menyebabkan hilangnya unsur keadilan (fairness) dalam pembuatan keputusan, misalnya dalam kasus pengadaan barang dan jasa. "Tidak ada equal treatment kepada semua pihak," kata Wuryono.

Apabila kedua perbuatan Illicit Enrichment (pekayaan tidak sah) dan Trading In Influence (Perdagangan Pengaruh) telah masuk dan dirumuskan dalam suatu Undang2 sebagai tindak pidana korupsi, maka aparat bisa mempunyai senjata yang ampuh dan efektif untuk mengejar para koruptor yang masih cengengesan di media massa yang bikin masyarakat makin gemas.

Seharusnya Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sensitif dengan issue ini dengan melakukan tindakan2 populer memihak rakyat dan keadilan dengan melakukan revisi UU Korupsi atau mensahkan Undang2 Perampasan Aset dan memasukkan konten illicit enrichment dan trading in influence didalamnya.

Lucunya  DPR yang harusnya memihak rakyat dan keadilan  malah membuat aksi konyol dengan memasalahkan formalitas PPATK dan Menko  polhukam Mahfud MD  mempublikasikan transaksi mencurigakan 347 triliun sebagai perbuatan melanggar Undang2 PPATK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun