Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Merayakan Kepulangan Liga Italia ke RCTI, Merayakan Kembali Romantisme Masa Kecil

7 November 2019   17:03 Diperbarui: 7 November 2019   17:13 1888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
soccerticketsonline.com

Tetapi rupanya, pelan-pelan saya mulai menyadari, bahwa saya tidak sebegitu mencintai Milan seperti yang saya kira sebelumnya. Saya memang bersorak kegirangan ketika Milan menang, namun itu bukan karena saya merayakan kemenangan Milan, tetapi karena saya tergila-gila dengan senyum Ayah.

Ayah jarang memiliki waktu untuk saya, kecuali saat kami nonton bola. Ayah orang yang teramat baik, sebuah role model suami dan ayah idaman, namun saya jarang melihatnya tersenyum di rumah. Saya tidak bisa menceritakan alasannya di sini. Terlalu pribadi. Terlalu menguras emosi dan air mata saya. Itulah mengapa, momen nonton bola bersama Ayah, selalu menjadi sesuatu yang tak pernah saya lewatkan. Se-ngantuk apapun saya.

Seiring waktu, saya mulai jatuh cinta dengan salah satu musuh bebuyutan Milan, Juventus. Awal menyukainya pun bisa dibilang kebetulan, ketika saya dan Ayah menonton laga Milan, yang kebetulan akan menghadapi Juve. Ketika itu, saya melihat salah satu striker Juve yang penampilannya nyentrik sekali. Rambutnya penuh uban, badannya gempal, tidak bisa lari cepat, namun selalu dilanggar oleh pemain lawan. Dialah Fabrizio Ravanelli.

Hidup memang sebuah rangkaian kebetulan dan ketidak-sengajaan. Saya ingat dulu Ayah pernah bilang, 'Pemain jago, pasti banyak yang curangin.' Nah, Ravanelli ini hampir setiap pergerakannya selalu ditempel oleh sedikitnya dua orang pemain Milan. Saya yang awalnya menyukai Milan, secara tak sengaja menjadi berubah kesal, ketika pemain-pemainnya mengasari Ravanelli. Maka mulai hari itu, saya membelot, menjadi pendukung Juve. Dan Ayah, senang bukan main, karena punya bahan ledekan di rumah, yakni saya, rivalnya.

Rivalitas Juve dan Milan ternyata membawa banyak perubahan besar di rumah. Ayah jadi rajin membeli koran Bola, Go, kadang sesekali membeli Majalah Liga Italia. Ayah ingin saya selalu update dengan perkembangan berita Juve dan Milan.

Kami juga menjadi sering bercanda, Ayah sering meledek saya karena bisa-bisanya suka dengan klub, yang warna seragamnya mirip tempat orang menyebrang jalan. Sementara secara sportif, ia juga tak keberatan tiap kali saya balik meledek Milan yang seragamnya bersponsorkan Oplet (plesetan dari merk mobil asal Jerman, Opel).

Saat Juve dan Milan bertemu, tentu jadi momen paling menyenangkan bagi saya dan Ayah. Euphoria ledek-ledekannya bahkan sudah berlangsung sejak seminggu sebelumnya. Tak jarang, Ayah sering meledek saya sampai saya menangis. Ayah memang suka kebablasan kalau sudah bercanda dan ledek-ledekan. Namun satu hal yang berubah saat itu, saya jadi menyadari, inilah pertama kalinya Ayah menjadi lebih sering tersenyum di rumah kami.

Tahun-tahun bergerak cepat, hingga pada akhirnya, saya dan Ayah terpisahkan oleh keadaan. Beberapa hal yang selama ini menahan senyum Ayah, mulai tak terobati dengan keseruan kami nonton bola berdua. Ayah kembali murung, hingga pada akhirnya Ayah memutuskan menyerah untuk memperjuangkan keluarga kami. Tepat ketika kuliah saya menginjak semester 2, Ayah dan Ibu saya berpisah. Saya tak menyalahkan Ayah. Saya sangat bisa memahami keputusannya. Namun saya memilih berada di samping Ibu, sebuah pilihan yang nyatanya sangat membuat Ayah kecewa.

Semenjak Ayah pergi, saya mulai kehilangan kesenangan dalam menikmati sepakbola. Hampir setiap laga Juve melawan Milan selalu saya lewatkan, saya mulai tak tertarik menyaksikan Liga Italia.

Sedih rasanya tiap kali saya menyalakan televisi, melihat seragam putih-hitam dan merah-hitam saling berjibaku di atas lapangan, saya justru teringat teriakan Ayah, menggoblok-gobloki pemain Milan yang gagal menceploskan bola. Begitupun jika Juve menang, saya sudah tak punya alasan lagi berteriak-teriak kegirangan, karena sudah tak ada lagi Ayah di samping saya.

Pagi ini saya membaca kabar di linimasa Twitter, bahwa RCTI berencana akan kembali menanyangkan siaran langsung Liga Italia. Sedikit tak percaya, saya sampai melakukan kroscek ke salah seorang teman yang bekerja di sana, dan jawabannya ternyata memang benar. Saya senang bukan kepalang!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun