Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Merayakan Kepulangan Liga Italia ke RCTI, Merayakan Kembali Romantisme Masa Kecil

7 November 2019   17:03 Diperbarui: 7 November 2019   17:13 1888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
soccerticketsonline.com

Ada banyak hal yang datang di kehidupan kita, yang seiring waktu, bisa berlalu dengan begitu saja. Entah terabaikan oleh kesibukan, terlewat karena rasa enggan, atau tergantikan oleh hal lain yang lebih menarik.

Waktu bergerak maju, kita menua dan melupa. Namun dari sekian banyak hal yang lekang karena waktu, tak demikian dengan romansa masa kecil. Mari, sini. saya ceritakan.

Saya tumbuh besar di sekitar akhir tahun 90-an, ketika aktivitas main bola di lapangan dan di tengah jalan, sama besar frekuensinya dengan bermain video game Sonic ataupun FIFA 97 di Sega Genesis. Saat itu, gadget paling mewah ialah Tamagotchi, game simulator merawat hewan dengan layar monokrom.

Tidak ada yang lebih menyenangkan saat itu, selain bertukar cerita dengan teman sebaya, membicarakan pertumbuhan hewan yang kami pelihara di Tamagotchi, lalu berlanjut dengan main bola bersama.

Sepakbola ketika itu sudah seperti menu 4 sehat 5 sempurna. Sekali saja saya lewatkan, maka tak sempurnalah hari saya. Walau cuma bermain di lapangan seadanya, lapangan voli, yang mesti bergantian dengan orang dewasa kalau mereka hendak latihan, tetapi tetap saja, pengalaman bermain saya ketika itu terasa sangat berkesan. Bahkan sampai hari ini.

Ngomong-ngomong soal sepakbola, Ayah adalah orang yang mengenalkan saya dengan olahraga ini. Ayah seorang Milanisti, klub yang beberapa minggu ini selalu jadi bahan tulisan saya. Dulu, kami selalu biasa nonton pertandingan Milan berdua, bahkan di "jam-jam maling berdinas" sekalipun. Tak jarang, kami bahkan sampai tak tidur sama sekali sampai keesokan harinya.

Ayah selalu tak marah, jika saya ikut begadang menonton Milan, lalu tak sekolah esok harinya. Ayah punya teman Dokter, yang biasa diajak kongkalikong membuat surat sakit.

Bagi saya, Ayah adalah salah satu orang terwoles di dunia ini. Mungkin yang nomor dua, setelah Mahatma Gandi.

Berkat Ayah, pelan-pelan saya mulai menggilai sepakbola. Menyenangkan rasanya menikmati olahraga ini. Dan tentu, bukan hanya sebagai penonton, melainkan juga sebagai orang yang memainkannya.

Saya tidak tahu padanan kata yang tepat, yang bisa melukiskan perasaan saya, ketika saya berlari kencang, berkeringat, menggiring bola, melewati hadangan teman-teman saya yang sedikit curang, lalu mencetak gol! Ah, mungkin mirip-mirip seperti perasaan, ketika kita berhasil membuat pasangan yang kita sayangi, orgasme. Ya, seperti itu kira-kira. Kalian yang jomblo tentu ga akan ngerti.

Tetapi rupanya, pelan-pelan saya mulai menyadari, bahwa saya tidak sebegitu mencintai Milan seperti yang saya kira sebelumnya. Saya memang bersorak kegirangan ketika Milan menang, namun itu bukan karena saya merayakan kemenangan Milan, tetapi karena saya tergila-gila dengan senyum Ayah.

Ayah jarang memiliki waktu untuk saya, kecuali saat kami nonton bola. Ayah orang yang teramat baik, sebuah role model suami dan ayah idaman, namun saya jarang melihatnya tersenyum di rumah. Saya tidak bisa menceritakan alasannya di sini. Terlalu pribadi. Terlalu menguras emosi dan air mata saya. Itulah mengapa, momen nonton bola bersama Ayah, selalu menjadi sesuatu yang tak pernah saya lewatkan. Se-ngantuk apapun saya.

Seiring waktu, saya mulai jatuh cinta dengan salah satu musuh bebuyutan Milan, Juventus. Awal menyukainya pun bisa dibilang kebetulan, ketika saya dan Ayah menonton laga Milan, yang kebetulan akan menghadapi Juve. Ketika itu, saya melihat salah satu striker Juve yang penampilannya nyentrik sekali. Rambutnya penuh uban, badannya gempal, tidak bisa lari cepat, namun selalu dilanggar oleh pemain lawan. Dialah Fabrizio Ravanelli.

Hidup memang sebuah rangkaian kebetulan dan ketidak-sengajaan. Saya ingat dulu Ayah pernah bilang, 'Pemain jago, pasti banyak yang curangin.' Nah, Ravanelli ini hampir setiap pergerakannya selalu ditempel oleh sedikitnya dua orang pemain Milan. Saya yang awalnya menyukai Milan, secara tak sengaja menjadi berubah kesal, ketika pemain-pemainnya mengasari Ravanelli. Maka mulai hari itu, saya membelot, menjadi pendukung Juve. Dan Ayah, senang bukan main, karena punya bahan ledekan di rumah, yakni saya, rivalnya.

Rivalitas Juve dan Milan ternyata membawa banyak perubahan besar di rumah. Ayah jadi rajin membeli koran Bola, Go, kadang sesekali membeli Majalah Liga Italia. Ayah ingin saya selalu update dengan perkembangan berita Juve dan Milan.

Kami juga menjadi sering bercanda, Ayah sering meledek saya karena bisa-bisanya suka dengan klub, yang warna seragamnya mirip tempat orang menyebrang jalan. Sementara secara sportif, ia juga tak keberatan tiap kali saya balik meledek Milan yang seragamnya bersponsorkan Oplet (plesetan dari merk mobil asal Jerman, Opel).

Saat Juve dan Milan bertemu, tentu jadi momen paling menyenangkan bagi saya dan Ayah. Euphoria ledek-ledekannya bahkan sudah berlangsung sejak seminggu sebelumnya. Tak jarang, Ayah sering meledek saya sampai saya menangis. Ayah memang suka kebablasan kalau sudah bercanda dan ledek-ledekan. Namun satu hal yang berubah saat itu, saya jadi menyadari, inilah pertama kalinya Ayah menjadi lebih sering tersenyum di rumah kami.

Tahun-tahun bergerak cepat, hingga pada akhirnya, saya dan Ayah terpisahkan oleh keadaan. Beberapa hal yang selama ini menahan senyum Ayah, mulai tak terobati dengan keseruan kami nonton bola berdua. Ayah kembali murung, hingga pada akhirnya Ayah memutuskan menyerah untuk memperjuangkan keluarga kami. Tepat ketika kuliah saya menginjak semester 2, Ayah dan Ibu saya berpisah. Saya tak menyalahkan Ayah. Saya sangat bisa memahami keputusannya. Namun saya memilih berada di samping Ibu, sebuah pilihan yang nyatanya sangat membuat Ayah kecewa.

Semenjak Ayah pergi, saya mulai kehilangan kesenangan dalam menikmati sepakbola. Hampir setiap laga Juve melawan Milan selalu saya lewatkan, saya mulai tak tertarik menyaksikan Liga Italia.

Sedih rasanya tiap kali saya menyalakan televisi, melihat seragam putih-hitam dan merah-hitam saling berjibaku di atas lapangan, saya justru teringat teriakan Ayah, menggoblok-gobloki pemain Milan yang gagal menceploskan bola. Begitupun jika Juve menang, saya sudah tak punya alasan lagi berteriak-teriak kegirangan, karena sudah tak ada lagi Ayah di samping saya.

Pagi ini saya membaca kabar di linimasa Twitter, bahwa RCTI berencana akan kembali menanyangkan siaran langsung Liga Italia. Sedikit tak percaya, saya sampai melakukan kroscek ke salah seorang teman yang bekerja di sana, dan jawabannya ternyata memang benar. Saya senang bukan kepalang!

Di kepala saya, mendadak muncul kembali kenangan-kenangan masa kecil, seperti keseruan menonton bola dengan Ayah, bermain sepakbola gawang sendal bareng teman, bahkan yang paling sulit saya percayai, ada beberapa teman yang sudah lama sekali saya lupakan, hari ini mulai saya ingat kembali satu per satu nama dan kejahilannya. Saya pun tak mengerti, berita ini bisa se-ajaib itu membawa banyak kenangan lama.

Liga Italia memang pernah sangat digemari, dulu, ketika RCTI menyuguhkan pertandingan-pertandingannya dengan tidak asal-asalan. Tak hanya live match, highlight pun mereka sajikan. Kualitas pengemasan acaranya pun luar biasa jempolan. Analisa sebelum dan sesudah pertandingan, selalu menjadi sajian yang menarik ditunggu. Favorit saya? Tentu kolabs antara Bung Olan Fatah & Bung Kusnaeni.

Lewat RCTI pula, kita semua mengenal sosok Wulan Guritno, perempuan yang di mata saya lebih dari sekadar presenter olah raga, melainkan juga perempuan pertama, yang membuat saya percaya bahwa sepakbola tidak hanya untuk dinikmati oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan.

Berkat ia juga, pendapat saya mengenai perempuan yang tidak cocok memakai jersey sepakbola, menjadi berubah. Sebab nyatanya, perempuan bisa menjadi sangat berkali-kali lebih menarik, saat mengenakan jersey sepakbola. Terlebih jika memakai jersey Juventus. Meleleh akutu...

Hari ini, semua cuitan yang muncul di linimasa saya, tengah merayakan kepulangan Serie A kembali ke RCTI. Begitupun saya, tak ingin ketinggalan momen, bahkan untuk sekadar menyapa Wulan Guritno.

Sebab seperti yang pernah saya ungkapkan di beberapa tulisan saya sebelumnya, Liga Italia bukanlah sekadar kompetisi, melainkan sebuah rangkaian romantisme. Entah pada Ayah, pada teman-teman semasa kecil, juga pada hal-hal manis lainnya, yang cukup disimpan di dalam hati.

Barangkali kamu?

***

Penulis biasa menutupi kesedihan di akun Twitter @juve_gl

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun