Mohon tunggu...
Hanom Bashari
Hanom Bashari Mohon Tunggu... Freelancer - wallacean traveler

Peminat dan penikmat perjalanan, alam, dan ceritanya

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Menuju Moa, Melintasi Hutan Tua dan Sungai-sungai nan Jernih

24 Oktober 2021   16:50 Diperbarui: 25 Oktober 2021   14:05 1516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jembatan gantung di atas Sungai Lampo, salah satu jembatan gantung yang akan dilewati ketika menuju Desa Moa,  di Sulawesi Tengah. (@Hanom Bashari)

---

Hamparan kebun kembali menyeruak. Sawah-sawah mulai muncul terhampar hijau. Beberapa gerombolan burung kekep-babi sulawesi terbang hilir mudik di atas pohon kering. Sedangkan mandar sulawesi yang bernama cantik Amaurornis isabellina, hampir saja tertabrak motor kami karena berjalan melintas.

Setengah sepuluh, kami mulai memasuki ujung Desa Moa, setelah dua setengah jam perjalanan. Jalan rabat beton mulai bagus kembali. GPS saya menunjukkan perjalanan dari Tompibugis sampai di permukiman Desa Moa sejauh 27 kilometer. Tak berapa lama, saya sudah diantar tepat di depan kantor Desa Moa.

Saya hendak turun, namun beberapa teman di depan kantor desa menyarankan untuk ke tempat menginap dahulu, di rumah Pak Agus, tak jauh dari kantor desa. Saya pun ke sana, menaruh tas dan mengganti sepatu boots dengan sandal, dan bersegera di kantor desa.

Pak Marsel, Kepala Seksi Wilayah Taman Nasional di Gimpu, segera menyambut saya dengan senyuman khasnya. Sementara Ais, rekan kami sedang sibuk mengoceh, memfasilitasi proses diskusi kelompok masyarakat di dalam ruang kantor desa yang tidak begitu luas. Saya memilih ngobrol di luar dengan beberapa teman.

Menurut catatan sejarah asal usul Desa Moa pada lampiran Keputusan Bupati Sigi 2018, tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat To Kulawi Uma di Moa, disebutkan bahwa permukiman yang ada saat ini di Moa, dulunya merupakan huaka dan dodoha bagi komunitas masyarakat adat To Kulawi Uma I Moa, atau tempat yang dimanfaatkan untuk berladang dan berburu bagi komunitas masyarakat adat Moa yang tinggal di Boku dan Haluboko. Namun saat ini, telah menjadi permukiman utama.

Permukiman saat ini tidaklah besar, sekitar 120an Kepala Keluarga. Masyarakat secara adat pun telah mengatur pola penggunaan lahan desa, dengan istilah-istilah lokal seperti pongataa atau permukiman, pampa atau kebun campur, oma atau bekas ladang, wana atau hutan yang tidak boleh diganggu, dan sebagainya.

Permukiman di Desa Moa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. (@Hanom Bashari)
Permukiman di Desa Moa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. (@Hanom Bashari)

Musyawarah di kantor desa tadi, salah satunya memutuskan untuk memperbaiki pembangkit listrik tenaga mikro hidro desa, yang telah lebih satu tahun tak berfungsi.

Saya hanya berharap mereka dapat lebih maju berusaha walaupun di desa nan jauh dari pusat kecamatan, apalagi kota. Mereka dapat berdampingan dan saling menguatkan dalam pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu, tempat hutan-hutan adat mereka juga berada. Menceritakan turun temurun keistimewaan dan kearifan pengelolaan hutan dan isinya kepada anak-anak mereka, layaknya benda pusaka.

Sayang, saya tidak menginap. Menjelang sore kami kembali ke penginapan di Tompibugis. Perjalanan lancar jaya, alhamdulillah. Keinginan kembali tetap ada, apalagi jika bisa tembus dari Desa Moa sampai ke Desa Tuare di Lore Barat sana. Semoga saja nanti. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun