Mohon tunggu...
Hana Fauziyah
Hana Fauziyah Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

hi! I'm Student College of Community Education UNJ

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Tren Crowdfunding untuk Pendidikan Tinggi

13 November 2019   23:02 Diperbarui: 13 November 2019   23:03 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Trend pengumpulan dana atau biasa disebut crowdfunding saat ini sudah marak tersebar di dunia online, platform crowdfunding berbasis Fintech ini pun di Indonesia pun sudah banyak  seperti platform kitbisa.com, danadidik, sharebreath dan platform lainnya. Crowdfunding biasanya berbasis pada business, penggalangan dana sosial seperti dana untuk membantu masalah kesehatan ataupun penggalangan dana bencana alam, sedangkan crowdfunding untuk bidang pendidikan tinggi atau perguruan tinggi saat ini mulai menjadi tren akhir-akhir ini terlebih dengan adanya debat persoalan crowdfunding lanjut S2 yang dilakukan oleh Mahasiswi Indonesia di Universitas Oxford bernama Kay Jessica.

            Crowdfunding pada dasarnya merupakan proses mengumpulkan dana untuk memulai suatu project atau bisnis, yang sumber dananya berasal dari sejumlah besar orang (Crowd), pengumpulannya memiliki batas waktu tertentu, misalnya 30 -- 60 hari, dan prosesnya dilakukan melalui online platform. Pada crowdfunding pendidikan, terdapat 2 platform online crowdfunding yang biasa digunakan oleh mahasiswa Indonesia yaitu kitabisa.com dan Danadidik, seperti yang dilakukan Kay Jessica untuk melanjutkan kuliah S2 Hukumnya di Oxford University dengan menggunakan upaya penggalangan dana di platform kitabisa.com dengan menargetkan dana sebesar Rp. 178 Juta. Sedangkan Danadidik beroperasi dengan menggunakan sistem Student Loan dengan berbasis Crowdfunding, dimana sistem Student Loan di Indonesia belum terlalu dikenal dan belum terlalu menjadi fokus dana pendidikan mahasiswa Indonesia. Danadidik dan Kitabisa.com menjadi dua platform crowdfunding yang potensial untuk menghimpun bantuan dana pendidikan mahasiswa yang memang kekurangan dan sulit apalagi dalam kasus Kay Jessica, ia hampir tidak bisa melanjutkan kuliahnya dikarenakan  ibunya sudah hampir menjual seluruh aset keluarga. Sementara sang ayah sedang berjuang melawan kanker stadium empat. Pilihan crowdfunding pun menjadi solusi final yang terpaksa ia lakukan karena permasalahan dana pendidikan yang dialami Kay Jessica.

            Dilansir dari artikel Vice Indonesia Petisi online ini mulai ramai setelah disuarakan influencer Gustika Jusuf-Hatta (postingan awal yang memicu belasan ribu retweet dan diskusi itu telah dihapus, mengingat target bantuan dana sebesar Rp 178 juta untuk Kay telah tercapai, bahkan melebihi target). Dalam penjelasannya di situs KitaBisa.com, Kay mengaku sudah mencoba bekerja di Inggris sambil mencari pinjaman. Tapi upaya itu belum cukup melunasi biaya tesis dan semester akhir. Karena bermacam cara mentok, dia memberanikan diri meminta patungan dana. Pada kesimpulan akhir dari permasalahan pendidikan tinggi yang marak terjadi Crowdfunding ini menjadi salah satu solusi meskipun solusi ini dinilai sangat instan dan hanya membutuhkan rasa ke "Iba-an" dari si pemberi.

            Solusi yang bisa ditawarkan selain crowdfunding dalam permasalahan dana pendidikan kuliah sebenarnya sangat beragam mulai dari kerja paruh waktu (Part Time), mencari-cari seminar yang pesertanya dibayar, sampai menjalankan jiwa entrepreneur yaitu berjualan. Mahasiswa sejatinya sangatlah aktif dan solutif dalam memecahkan masalah keuangan dalam dana pendidikannya, namun lagi-lagi setiap orang memiliki effort yang berbeda-beda, kondisi yang berbeda dan pemecahan masalah yang beragam. Meskipun jika dilihat dari sudut pandang kontra pada kasus Kay Jessica, Crowdfunding ini melahirkan kesan abai pada realitas timpangnya akses pendidikan di Tanah Air, serta privilese sebagai kelas menengah atas yang sebenarnya dimiliki si penggalang dana.

            Menurut data Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, dari seluruh demografi pelajar di Tanah Air, baru 30 persen yang bisa melanjutkan studi ke jenjang strata satu. Pemicu utamanya karena ketiadaan dana. Berbagai skema beasiswa yang dikucurkan pemerintah menjangkau tak sampai 10 persen total mahasiswa dalam satu angkatan, yang rata-rata mencapai 4 juta orang saban tahun.

            Anggaran beasiswa ideal, menurut Menristekdikti Muhammad Nasir, seharusnya Rp10 triliun. Saat ini pemerintah sanggup menyediakan Rp3,5 triliun, itupun dibagi untuk beasiswa kuliah dalam negeri maupun mancanegara, di berbagai tingkatan strata. "Dibutuhkan peran dan partisipasi lembaga-lembaga swasta untuk memajukan pendidikan di Indonesia," kata Nasir saat dihubungi media beberapa waktu lalu.

            Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), yang terhitung paling agresif memberikan bantuan biaya lanjut anak muda Indonesia kuliah ke luar negeri sejak enam tahun terakhir, baru bisa mengongkosi 20.225 orang, merujuk data terbaru per Februari 2019. Artinya, pendidikan tinggi masih menjadi kemewahan tersendiri bagi banyak anak muda Indonesia, yang tak bisa diraih semata mengandalkan kemampuan akademis.

            Angka-angka tersebut belum termasuk diskusi soal keterkaitan titel sarjana dengan kemampuan mahasiswa memperoleh pekerjaan selepas lulus. Sebab, dari pengakuan Kemristekdikti, menggenjot jumlah sarjana saja tidak ideal ketika banyak mahasiswa yang terpaksa bekerja di luar bidang studinya. "Sekarang yang terjadi adalah belum terjadi dengan baik antara kurikulum yang dibangun di perguruan tinggi dengan industri," kata Nasir. Berjuang bisa kuliah di kampus idaman hanya satu dari sekian rintangan yang mengintai anak muda Indonesia akibat lemahnya integrasi pendidikan tinggi dengan industri yang menyerap angkatan kerja. Belum lagi penyediaan lapangan kerja yang sesuai bagi mahasiswa Indonesia yang beruntung bisa kuliah di luar negeri.

            Semua pihak yang merespons ajakan galang dana Kay tempo hari perlu lanjut membicarakan sekian penting yang sering terlewatkan. Topik debat ini membuka mata kita tentang parahnya ketimpangan akses terhadap pendidikan tinggi di Tanah Air, serta peluang kreatif mengatasi hambatan tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun