Mohon tunggu...
Hana Amanda
Hana Amanda Mohon Tunggu... Mahasiswa Hubungan Internasional

Sedang belajar menjadi jack of all trades walaupun (masih) mastering none.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Disaster Capitalism: Ketika Krisis Iklim Menjadi Komoditas

28 April 2025   15:17 Diperbarui: 28 April 2025   15:17 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selain dampak lingkungan, disaster capitalism juga menciptakan ketimpangan sosial yang semakin lebar. Di banyak negara berkembang, proyek-proyek energi terbarukan sering kali tidak melibatkan masyarakat lokal dalam prosesnya. Akibatnya, manfaat ekonomi dari proyek-proyek tersebut jarang dirasakan oleh penduduk setempat. Sebuah studi dari Oxfam (2023) menemukan bahwa 80% dari pekerjaan di sektor energi terbarukan di Global South justru diisi oleh tenaga kerja asing, sehingga berdampak pada angka pengangguran dan kemiskinan di tingkat lokal. 

Kondisi tersebut tidak lepas dari peran pemerintah yang ambivalen. Pemerintah di banyak negara berkembang sering kali terjebak dalam dilema antara melindungi kepentingan publik atau menarik investasi asing. Di satu sisi, mereka perlu memenuhi target pengurangan emisi karbon, sementara di sisi lain, tekanan dari korporasi multinasional membuat kebijakan yang dibuat cenderung menguntungkan pelaku bisnis besar. 

Menghadapi kondisi ini, muncul berbagai alternatif yang menawarkan pendekatan berbeda. Uni Eropa mulai menerapkan regulasi ketat terhadap klaim-klaim hijau perusahaan yang akan berlaku mulai tahun 2024. Di tingkat komunitas, model kepemilikan bersama atas proyek energi terbarukan, seperti yang dikembangkan di Denmark, menunjukkan bahwa transisi energi bisa dilakukan secara lebih demokratis. Pendekatan ekonomi sirkular lokal juga berkembang sebagai alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada korporasi besar. 

Pada akhirnya, disaster capitalism dalam krisis iklim bukanlah sepenuhnya kesalahan beberapa perusahaan nakal, melainkan konsekuensi logis dari produk sistem ekonomi yang menempatkan pertumbuhan dan keuntungan di atas segalanya. Tantangan terbesar kita saat ini bukan hanya mengurangi emisi karbon, tetapi juga membongkar mekanisme ekonomi yang mengubah setiap bencana menjadi peluang akumulasi modal. 

Solusi sejati mungkin hanya akan datang dari pendekatan yang menempatkan keadilan sosial dan lingkungan sebagai inti dari setiap kebijakan. Pendekatan yang lahir dari pemahaman utuh pemangku kebijakan yang memahami dengan benar kondisi yang tengah dihadapi masyarakatnya. Seperti kutipan Naomi Klein dalam bukunya, "Tidak ada yang netral dalam perubahan iklim, kita harus memilih antara keuntungan segelintir orang atau kelangsungan hidup banyak orang."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun