Mohon tunggu...
Hana Amanda
Hana Amanda Mohon Tunggu... Mahasiswa Hubungan Internasional

Sedang belajar menjadi jack of all trades walaupun (masih) mastering none.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Disaster Capitalism: Ketika Krisis Iklim Menjadi Komoditas

28 April 2025   15:17 Diperbarui: 28 April 2025   15:17 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dunia saat ini tengah menghadapi krisis iklim yang kian mengkhawatirkan. Cuaca ekstrem, kenaikan permukaan air laut, kebakaran hutan, dan berbagai bencana alam lain yang semakin sering terjadi menimbulkan kepanikan di berbagai negara. Di tengah krisis yang mengancam keberlangsungan hidup banyak manusia, situasi ini justru dimanfaatkan sebagai peluang bisnis baru oleh korporasi-korporasi besar. 

Fenomena ini dikenal sebagai Disaster Capitalism, sebuah konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh Naomi Klein dalam bukunya, The Shock Doctrine (2007). Teori ini menjelaskan bahwa para pelaku bisnis besar dan elit politik menggunakan momen-momen krisis, seperti bencana alam, kudeta, perang, atau krisis ekonomi, di mana masyarakat berada dalam kondisi panik, takut, dan rentan, untuk mencari celah memperluas pasar dan mengeruk keuntungan sebanyak mungkin. 

Situasi-situasi krisis tersebut dinilai sebagai momentum yang tepat, karena pada saat itu masyarakat sering kali tidak akan sadar apabila kehilangan hak-hak dasar melalui privatisasi dan deregulasi yang dilakukan korporasi. Sehingga di kemudian hari, masyarakat baru akan menyadari dan menjadi semakin menderita, serta kesulitan untuk recovery. 

Salah satu manifestasi paling nyata dari disaster capitalism adalah praktik greenwashing. Istilah ini merujuk kepada upaya yang dilakukan oleh korporasi untuk menciptakan citra ramah lingkungan yang pada nyatanya justru menyesatkan, sembari tetap melanjutkan operasi bisnis yang merusak lingkungan. Menurut penelitian Union of Concerned Scientists, banyak perusahaan yang menghabiskan dana lebih besar untuk menggalakkan kampanye pemasaran hijau, daripada benar-benar mengurangi jejak karbon dalam operasi dan produksi yang mereka lakukan. 

Contoh nyata lain dapat ditemui pada industri bahan bakar fosil. Laporan dari InfluenceMap (2023), mengungkapkan bahwa sebanyak lima perusahaan minyak terbesar di dunia, telah menghabiskan lebih dari $750 juta untuk mengiklankan dan mencitrakan diri sebagai pionir energi bersih dalam tiga tahun terakhir. Ironisnya, hanya 12% dari total investasi mereka yang benar-benar dialokasikan untuk transisi energi. 

Mekanisme lain yang patut diwaspadai adalah carbon offset. Secara teori, program ini memungkinkan perusahaan untuk mengimbangi produksi emisi karbon mereka dengan mendanai proyek penyerapan karbon di tempat lain, seperti proyek penanaman pohon atau pengembangan energi terbarukan di negara berkembang. 

Namun, dalam praktiknya, menurut studi dari University of California (2023), menunjukkan bahwa 78% dari proyek carbon offset gagal dalam memberikan manfaat iklim yang signifikan. Fakta yang terjadi justru perusahaan-perusahaan besar mendapatkan "lisensi" untuk terus mencemari, sementara masyarakat lokal di negara berkembang kehilangan akses terhadap sumber daya alam mereka. 

Transisi energi, yang seharusnya menjadi solusi utama krisis iklim, juga tidak luput dari cengkeraman disaster capitalism. Perusahaan-perusahaan energi terbarukan besar kini justru mendominasi pasar dengan model bisnis yang tidak jauh berbeda dengan pendahulu mereka di industri fosil. Data dari International Labor Organization (2023), menunjukkan bahwa upah pekerja di sektor energi terbarukan rata-rata 30% lebih rendah dibandingkan sektor energi tradisional. 

Di beberapa negara, proyek energi bersih justru mengakibatkan penggusuran masyarakat adat dari tanah leluhur mereka. Kasus pembangkit listrik tenaga angin di Kenya adalah salah satu contoh nyata bagaimana transisi energi bisa berubah menjadi bentuk baru dari kolonialisme, jika tidak dikelola dengan prinsip keadilan dan hanya mengedepankan bisnis. 

Pasca bencana iklim, disaster capitalism sering kali muncul dalam bentuk privatisasi sumber daya dan layanan publik. Industri rekonstruksi pasca-bencana yang bernilai $120 miliar pada 2023 (menurut Grand View Research) telah menjadi lahan subur bagi praktik bisnis yang merugikan masyarakat. Investigasi ProPublica mengungkap bahwa setelah Badai Katrina melanda Amerika Serikat pada 2005 silam, sekitar 40% dari dana rekonstruksi berakhir di kantong kontraktor melalui praktik markup harga. Sementara perusahaan asuransi menaikkan premi hingga 400% di daerah-daerah yang rentan terhadap bencana iklim, membuat perlindungan menjadi semakin tidak terjangkau oleh masyarakat biasa. 

Di negara-negara Global South, dampak dari disaster capitalism terasa lebih parah. Di Afrika misalnya, perusahaan-perusahaan Eropa telah menguasai lebih dari 10 juta hektar lahan untuk proyek-proyek yang diklaim sebagai "penyimpanan karbon". Di Amerika Latin, skema carbon offset mengancam kedaulatan pangan masyarakat adat. Sementara di Asia Tenggara, proyek-proyek energi bersih justru meningkatkan ketergantungan teknologi pada negara-negara maju. Pola-pola ini menunjukkan bagaimana disaster capitalism dalam krisis iklim tidak hanya gagal menyelesaikan masalah, tetapi justru memperdalam ketidakadilan global. 

Selain dampak lingkungan, disaster capitalism juga menciptakan ketimpangan sosial yang semakin lebar. Di banyak negara berkembang, proyek-proyek energi terbarukan sering kali tidak melibatkan masyarakat lokal dalam prosesnya. Akibatnya, manfaat ekonomi dari proyek-proyek tersebut jarang dirasakan oleh penduduk setempat. Sebuah studi dari Oxfam (2023) menemukan bahwa 80% dari pekerjaan di sektor energi terbarukan di Global South justru diisi oleh tenaga kerja asing, sehingga berdampak pada angka pengangguran dan kemiskinan di tingkat lokal. 

Kondisi tersebut tidak lepas dari peran pemerintah yang ambivalen. Pemerintah di banyak negara berkembang sering kali terjebak dalam dilema antara melindungi kepentingan publik atau menarik investasi asing. Di satu sisi, mereka perlu memenuhi target pengurangan emisi karbon, sementara di sisi lain, tekanan dari korporasi multinasional membuat kebijakan yang dibuat cenderung menguntungkan pelaku bisnis besar. 

Menghadapi kondisi ini, muncul berbagai alternatif yang menawarkan pendekatan berbeda. Uni Eropa mulai menerapkan regulasi ketat terhadap klaim-klaim hijau perusahaan yang akan berlaku mulai tahun 2024. Di tingkat komunitas, model kepemilikan bersama atas proyek energi terbarukan, seperti yang dikembangkan di Denmark, menunjukkan bahwa transisi energi bisa dilakukan secara lebih demokratis. Pendekatan ekonomi sirkular lokal juga berkembang sebagai alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada korporasi besar. 

Pada akhirnya, disaster capitalism dalam krisis iklim bukanlah sepenuhnya kesalahan beberapa perusahaan nakal, melainkan konsekuensi logis dari produk sistem ekonomi yang menempatkan pertumbuhan dan keuntungan di atas segalanya. Tantangan terbesar kita saat ini bukan hanya mengurangi emisi karbon, tetapi juga membongkar mekanisme ekonomi yang mengubah setiap bencana menjadi peluang akumulasi modal. 

Solusi sejati mungkin hanya akan datang dari pendekatan yang menempatkan keadilan sosial dan lingkungan sebagai inti dari setiap kebijakan. Pendekatan yang lahir dari pemahaman utuh pemangku kebijakan yang memahami dengan benar kondisi yang tengah dihadapi masyarakatnya. Seperti kutipan Naomi Klein dalam bukunya, "Tidak ada yang netral dalam perubahan iklim, kita harus memilih antara keuntungan segelintir orang atau kelangsungan hidup banyak orang."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun