Dunia saat ini tengah menghadapi krisis iklim yang kian mengkhawatirkan. Cuaca ekstrem, kenaikan permukaan air laut, kebakaran hutan, dan berbagai bencana alam lain yang semakin sering terjadi menimbulkan kepanikan di berbagai negara. Di tengah krisis yang mengancam keberlangsungan hidup banyak manusia, situasi ini justru dimanfaatkan sebagai peluang bisnis baru oleh korporasi-korporasi besar.Â
Fenomena ini dikenal sebagai Disaster Capitalism, sebuah konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh Naomi Klein dalam bukunya, The Shock Doctrine (2007). Teori ini menjelaskan bahwa para pelaku bisnis besar dan elit politik menggunakan momen-momen krisis, seperti bencana alam, kudeta, perang, atau krisis ekonomi, di mana masyarakat berada dalam kondisi panik, takut, dan rentan, untuk mencari celah memperluas pasar dan mengeruk keuntungan sebanyak mungkin.Â
Situasi-situasi krisis tersebut dinilai sebagai momentum yang tepat, karena pada saat itu masyarakat sering kali tidak akan sadar apabila kehilangan hak-hak dasar melalui privatisasi dan deregulasi yang dilakukan korporasi. Sehingga di kemudian hari, masyarakat baru akan menyadari dan menjadi semakin menderita, serta kesulitan untuk recovery.Â
Salah satu manifestasi paling nyata dari disaster capitalism adalah praktik greenwashing. Istilah ini merujuk kepada upaya yang dilakukan oleh korporasi untuk menciptakan citra ramah lingkungan yang pada nyatanya justru menyesatkan, sembari tetap melanjutkan operasi bisnis yang merusak lingkungan. Menurut penelitian Union of Concerned Scientists, banyak perusahaan yang menghabiskan dana lebih besar untuk menggalakkan kampanye pemasaran hijau, daripada benar-benar mengurangi jejak karbon dalam operasi dan produksi yang mereka lakukan.Â
Contoh nyata lain dapat ditemui pada industri bahan bakar fosil. Laporan dari InfluenceMap (2023), mengungkapkan bahwa sebanyak lima perusahaan minyak terbesar di dunia, telah menghabiskan lebih dari $750 juta untuk mengiklankan dan mencitrakan diri sebagai pionir energi bersih dalam tiga tahun terakhir. Ironisnya, hanya 12% dari total investasi mereka yang benar-benar dialokasikan untuk transisi energi.Â
Mekanisme lain yang patut diwaspadai adalah carbon offset. Secara teori, program ini memungkinkan perusahaan untuk mengimbangi produksi emisi karbon mereka dengan mendanai proyek penyerapan karbon di tempat lain, seperti proyek penanaman pohon atau pengembangan energi terbarukan di negara berkembang.Â
Namun, dalam praktiknya, menurut studi dari University of California (2023), menunjukkan bahwa 78% dari proyek carbon offset gagal dalam memberikan manfaat iklim yang signifikan. Fakta yang terjadi justru perusahaan-perusahaan besar mendapatkan "lisensi" untuk terus mencemari, sementara masyarakat lokal di negara berkembang kehilangan akses terhadap sumber daya alam mereka.Â
Transisi energi, yang seharusnya menjadi solusi utama krisis iklim, juga tidak luput dari cengkeraman disaster capitalism. Perusahaan-perusahaan energi terbarukan besar kini justru mendominasi pasar dengan model bisnis yang tidak jauh berbeda dengan pendahulu mereka di industri fosil. Data dari International Labor Organization (2023), menunjukkan bahwa upah pekerja di sektor energi terbarukan rata-rata 30% lebih rendah dibandingkan sektor energi tradisional.Â
Di beberapa negara, proyek energi bersih justru mengakibatkan penggusuran masyarakat adat dari tanah leluhur mereka. Kasus pembangkit listrik tenaga angin di Kenya adalah salah satu contoh nyata bagaimana transisi energi bisa berubah menjadi bentuk baru dari kolonialisme, jika tidak dikelola dengan prinsip keadilan dan hanya mengedepankan bisnis.Â
Pasca bencana iklim, disaster capitalism sering kali muncul dalam bentuk privatisasi sumber daya dan layanan publik. Industri rekonstruksi pasca-bencana yang bernilai $120 miliar pada 2023 (menurut Grand View Research) telah menjadi lahan subur bagi praktik bisnis yang merugikan masyarakat. Investigasi ProPublica mengungkap bahwa setelah Badai Katrina melanda Amerika Serikat pada 2005 silam, sekitar 40% dari dana rekonstruksi berakhir di kantong kontraktor melalui praktik markup harga. Sementara perusahaan asuransi menaikkan premi hingga 400% di daerah-daerah yang rentan terhadap bencana iklim, membuat perlindungan menjadi semakin tidak terjangkau oleh masyarakat biasa.Â
Di negara-negara Global South, dampak dari disaster capitalism terasa lebih parah. Di Afrika misalnya, perusahaan-perusahaan Eropa telah menguasai lebih dari 10 juta hektar lahan untuk proyek-proyek yang diklaim sebagai "penyimpanan karbon". Di Amerika Latin, skema carbon offset mengancam kedaulatan pangan masyarakat adat. Sementara di Asia Tenggara, proyek-proyek energi bersih justru meningkatkan ketergantungan teknologi pada negara-negara maju. Pola-pola ini menunjukkan bagaimana disaster capitalism dalam krisis iklim tidak hanya gagal menyelesaikan masalah, tetapi justru memperdalam ketidakadilan global.Â