Mohon tunggu...
Hamdanul Fain
Hamdanul Fain Mohon Tunggu... Penulis - Antropologi dan Biologi

Membuat tulisan ringan. Orang Lombok.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Pawang Asap

1 Oktober 2019   08:46 Diperbarui: 1 Oktober 2019   09:31 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


"Cepatlah datok, ayo cepat!" ujar Syamsuddin sambil menyeret Datok Abdul Aziz.

Datok Abdul Aziz terkejut diseret paksa pemuda berhidung besar yang tumben-tumben dijumpainya.

"Sudah makan ratusan korban ini, asap semakin menggila sampai tak punya muka kita dibuat pada negara tetangga, datok harus bertindak!" pinta Syamsuddin.

Dengan motor tujuh puluh yang kinclong dan terawat, keduanya melaju menuju balai kota dengan kecepatan alakadarnya.

...

Di gerbang balai kota negeri zamrud katulistiwa, inilah satu-satunya di dunia, dua orang berkendara motor tujuh puluh atau yang biasa mereka sebut motor "ciketer" disambut ribuan jiwa dengan karpet merah.

Datok Aziz baru sadar, si hidung lebar yang membonceng ternyata walikota yang populer seantero negeri. Sempat ditawari jadi presiden tapi menolak karena tanggungjawabnya belum selesai sebagai walikota. Kurang ajar benar datok Aziz bisa-bisanya ia tak kenal walikotanya sendiri. Tapi apa mau dikata, jerih payah walikota disangka presiden saja yang berjasa.

...

"Saudaraku sekalian. Bersama saya ada Datok Abdul Aziz yang kalian yakini sebagai pawang asap. Untuk memenuhi permintaan kalian, saya jemput sendiri ke rumahnya." Syamsuddin membuka pidatonya. Tidak ingin berlama-lama, kini giliran Datok Abdul Aziz.

"Saya Abdul Aziz. Bukan pawang asap lagi. Sudah pensiun dan menjalani hidup yang lebih berkah." bicara dengan enteng.

Sontak ribuan jiwa di balai kota kaget. Kesal, sedih, kecewa campur aduk. Padahal mereka berharap supaya Datok Aziz mengusir asap sesegera mungkin.

Pupus sudah harapan mereka.

Melihat wajah-wajah lesu itu. Datok Aziz menghubungi seseorang dengan telepon genggamnya.

"Assalamu'alaikum, nak. Coba buatkan hujan di atas kota ayahmu ini ya. Supaya lenyap titik api dan hilang asap ini."

Beraneka persepsi merayap di pikiran ribuan hadirin di balai kota. Sampai sempat menyimpulkan, ilmu kepawang asapan itu telah diturunkan ke anaknya. Ada juga pikiran liar lain yang menyangka dia bukan pawang asap tapi pawang hujan.

Menyadari gelagat itu, Datok Aziz angkat bicara.

"Pawang asap ataupun pawang hujan sesungguhnya tidak ada. Mungkin kita terlalu larut dalam keyakinan salah. Contoh saja,  saya kalian yakini mampu mengusir asap. Ini keyakinan salah. Dahulu saya juga salah. Karena yakin bisa mengusir asap dan mendatangkan hujan dengan kemampuan spiritual saya. Sekarang pensiun dari semua itu, berharap kalian juga sama. Pensiunkan diri kita dari semua keyakinan salah yang melekat di hati."

"Saya juga pensiun dari mengejar kemewahan. Banyak tanah di kota ini dikuasai orang-orang luar yang bermental mengejar kemewahan. Sudah jadi penguasa tapi tidak puas kalau tidak menguasai lahan. Diolah semurah-murah dengan sengaja dibakar. Bersembunyi dari hukum lalu menyalahkan orang lain. Doakan orang-orang ini segera pensiun dari keserakahannya."

"Yang tadi saya hubungi adalah anak saya. Dia bekerja di Badan Pengkajian Teknologi. Karena dia saya pensiun. Teknologi membuat saya berpikiran lebih manusiawi. Logis. Dengan teknologi kita berusaha. Dengan doa dan pensiun dari dosa, kita mempercepat hasil usaha." imbuh Datok Aziz.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun