Mohon tunggu...
Fathul Hamdani
Fathul Hamdani Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Tak penting dimana kita terhenti, namun berikanlah penutup/akhir yang indah

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Wajah AS Pasca Kasus George Floyd: Tinjauan Kritis terhadap Duduk Perkara yang Terjadi

4 Juni 2020   16:00 Diperbarui: 4 Juni 2020   16:16 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Munshots/Unsplash)

Terlihat lagi secara jelas, tidak semua polisi melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh Chauvin dan tidak semua orang berkulit putih pun tidak pernah mendapatkan perlakuan kasar seperti apa yang dialami Floyd. Apa yang dilakukan oleh Chauvin tidak bisa dibenarkan dan apa yang terjadi pada Floyd juga tidak bisa dijustifikasi sepenuhnya bahwa ini karena rasisme hanya karena persoalan yang membunuh ini secara kebetulan adalah orang berkulit putih. Padahal, bukan tidak mungkin kemudian orang berkulit hitam pun yang berprofesi sebagai polisi juga bisa saja ada indikasi melakukan hal kasar seperti Chauvin.

Duduk perkara dari kasus ini bukan untuk memihak salah satu diantaranya, melainkan untuk meluruskan bahwa persoalan kasus ini memang bukan persoalan rasisme, tapi persoalan karakter dan sikap batiniah dari seseorang. Tidak ada yang bisa menjadikan kulit seseorang menandakan orang itu baik atau jahat, kemungkinan dan indikasi itu masih bisa terjadi, ketika memang orang berkulit putih melakukan penyiksaan terhadap orang berkulit hitam, maka bukan tidak mungkin orang berkulit hitam melakukan penyiksaan juga terhadap orang berkulit putih.

Tinjauan terhadap hukum yang berlaku di AS dan kasus yang pernah terjadi sebelumnya

Sejak kasus ini mencuat, kasus ini akhirnya kembali memunculkan perdebatan terkait Qualified Immunity atau kekebalan yang memenuhi syarat. Dalam sistem hukum federal Amerika Serikat terdapat doktrin hukum yang melindungi pejabat pemerintah agar tidak dituntut atas tindakan diskresi yang dilakukan dalam kapasitas resmi mereka yang disebut sebagai Qualified Immunity atau kekebalan yang memenuhi syarat. Maksud dari "Tidak dituntut atas tindakan diskresi yang dilakukan dalam kapasitas resmi" adalah apabila tindakan tersebut dilakukan atas dasar kapasitasnya sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan tersebut, bukan karena melanggar hukum federal atau hak konstitusional yang "jelas".

Di bawah doktrin Qualified Immunity atau kekebalan yang memenuhi syarat, pejabat publik dapat dimintai pertanggungjawaban hanya sejauh mereka melanggar hak-hak yang "ditetapkan dengan jelas" berdasarkan hukum kasus yang ada. Standar ini melindungi penegakan hukum, khususnya, dari pelanggaran konstitusional yang tak terhitung jumlahnya setiap tahun. 

Dalam Undang-Undang Hak Sipil 1871 (juga dikenal sebagai Ku Klux Klan Act), Kongres memberi orang Amerika hak untuk menuntut pejabat publik yang melanggar hak hukum mereka. Dalam Bagian 1983 dari Kode AS (the modern analogue of the 1871 Civil Rights Act), Kongres mengatakan bahwa "jika seorang pejabat publik melanggar hak-hak Anda, apakah melalui kebrutalan polisi, penggeledahan ilegal, atau penangkapan yang melanggar hukum, Anda dapat mengajukan gugatan dan meminta pejabat publik bertanggung jawab secara finansial atas tindakannya". Bahasa yang digunakan Kongres sangat tegas: "Setiap" pejabat negara yang menyebabkan "perampasan hak apa pun" yang dijamin oleh Konstitusi dan undang-undang "akan bertanggung jawab kepada pihak yang dirugikan."

Awalnya, Mahkamah Agung AS mengakui penerapan langsung undang-undang ini. Dalam hal ini Monroe v. Pape misalnya, keluarga kulit hitam, Monroe, menggugat polisi Chicago yang pada pagi hari, masuk ke rumah mereka tanpa surat perintah, mengumpulkan mereka, membuat mereka berdiri telanjang di ruang tamu, dan menggeledah setiap kamar, mengosongkan laci dan merobek selimut kasur. 

Para petugas kemudian menangkap James Monroe, sang ayah, dan menahan serta menginterogasinya selama berjam-jam. Dalam pendapat yang ditulis oleh Hakim William Douglas, Mahkamah Agung mengakui bahwa Undang-Undang Hak Sipil mengizinkan Monro untuk menuntut para petugas karena melanggar hak konstitusional mereka. Mahkamah menjelaskan bahwa tujuan dari Undang-Undang Hak Sipil adalah untuk memberikan pemulihan kepada pihak-pihak yang dirampas hak konstitusional, hak istimewa, dan kekebalan dengan penyalahgunaan pejabat atas posisinya.

Mahkamah Agung menciptakan Qualified Immunity atau kekebalan yang memenuhi syarat pada tahun 1967, dan menggambarkannya sebagai pengecualian sederhana bagi pejabat publik yang telah bertindak dalam "itikad baik" dan percaya bahwa perilaku mereka disahkan oleh hukum. Lima belas tahun kemudian, di Harlow v. Fitzgerald, Pengadilan memperluas pemaknaaan secara drastis. 

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Amir H. Ali dan Emily Clark bahwa perlindungan yang diberikan kepada pejabat publik tidak lagi menghidupkan apakah pejabat itu bertindak dengan "niat baik." Sebaliknya, bahkan pejabat yang melanggar hak-hak rakyat secara jahat akan kebal kecuali jika korban dapat menunjukkan bahwa haknya "ditetapkan dengan jelas." Sejak keputusan Harlow, pengadilan telah membuat para korban kesulitan untuk memenuhi standar ini. Untuk menunjukkan bahwa undang-undang itu "ditetapkan dengan jelas" kata Pengadilan, seorang korban harus menunjuk ke kasus yang diputuskan sebelumnya yang melibatkan "konteks spesifik" dan "perilaku tertentu" yang sama.

Dari doktrin tersebut dan beberapa kasus yang pernah terjadi dan akhirnya melepaskan polisi dari gugatan hukumnya. Maka menengok kasus yang terjadi kepada George Floyd, bukan menjadi suatu hal yang tidak mungkin bagi pejabat tertentu salah satunya yakni oknum polisi untuk bertindak secara leluasa atas korbannya dan merasa aman atas tindakan yang dilakukan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun