Mohon tunggu...
Fathul Hamdani
Fathul Hamdani Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Tak penting dimana kita terhenti, namun berikanlah penutup/akhir yang indah

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Wajah AS Pasca Kasus George Floyd: Tinjauan Kritis terhadap Duduk Perkara yang Terjadi

4 Juni 2020   16:00 Diperbarui: 4 Juni 2020   16:16 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Munshots/Unsplash)


Oleh : Fathul Hamdani & Ana Fauzia

Pasca kematian Goerge Floyd seorang pria Afrika-Amerika oleh oknum polisi Minneapolis akhirnya membuat Amerika Serikat kini dilanda protes keras dari masyarakat selama delapan hari terakhir dan bahkan protes tersebut diwarnai kerusuhan di beberapa tempat.

Dikutip dari CNN Internasional pada pekan lalu, setidaknya ada tiga negara bagian yang sudah menyatakan status darurat. Selain itu, 40 kota juga dikabarkan menerapkan jam malam. Bahkan Presiden AS Donald Trump memerintahkan setidaknya 17.000 militer Garda Nasional untuk turun ke jalan.

Adapun kronologinya sebagaimana ditulis oleh AFP, yakni bermula saat Floyd ditangkap karena diduga melakukan transaksi memakai uang palsu senilai US$ 20 (Rp 292 ribu). 

Laporan itu disampaikan pada 25 Mei siang ketika Floyd membeli sebungkus rokok dari sebuah toko kelontong, Cup Foods. Dalam sebuah video yang menjadi viral, ketika penangkapan terjadi, sang polisi bernama Darek Chauvin menekan leher Floyd dengan lututnya. Padahal ia dalam keadaan sedang diborgol dan menelungkup di pinggir jalan, selama kurang lebih tujuh menit.

Beberapa masyarakat yang berada di lokasi kejadian meminta Chauvin untuk melepaskan lututnya dari leher Floyd namun sayangnya permintaan tersebut tidak diindahkan. Saat Floyd tidak lagi bergerak dan merintih, ia langsung dibawa ke rumah sakit dengan mobil ambulan. Sesampainya dirumah sakit Hennepin Caunty Medical Center, ia dinyatakan meninggal dunia.

Kasus tersebut kemudian memicu kemarahan publik, khususnya warga kulit hitam dan akhirnya membangkitkan problem "rasisme" di AS. Namun apakah permasalahan ini merupakan sebuah rasisme? Patut untuk dibahas. Dalam catatan BBC, memang ada beberapa peristiwa kematian warga AS keturunan Afrika yang melibatkan  polisi di Minnesota, tetapi untuk mengatakan hal tersebut sebagai sebuah rasisme juga harus di tinjau berdasarkan duduk perkaranya.

Seperti yang kita ketahui, saat ini begitu banyak perbincangan di sosial media terkait Kampanye #BlackLivesMatter, bagaimana kampanye ini kemudian memperjuangkan hak orang-orang berkulit hitam untuk bisa menegakkan keadilan dan memperoleh perlakuan yang sama dengan orang berkulit putih. Sejarah panjang telah mencatat beberapa kasus yang terjadi terkait kriminalisasi terhadap orang-orang berkulit hitam mengenai ketidakadilan yang dialami oleh mereka. Namun, pembahasan dalam artikel ini lebih kepada mendudukan perkara yang terjadi dalam kasus ini dan mengetahui bagaimana permasalahan tersebut akhirnya di blow up sebagai bentuk rasisme atau tidak, serta meninjau bagaimana kaitannya dengan sistem hukum yang berlaku di AS.

Duduk Perkara

Secara umum, dari kronologi yang ada bahwa nampak sekilas memang Chauvin menekan leher Floyd dan menahannya dengan lutut selama kurang lebih 9 menit, dan bahkan sempat terdengar bagaimana Floyd mengeluh bahwa dia tidak bisa bernafas. Begitulah kemudian penilaian orang secara sepintas saat ini setelah melihat video tersebut. Namun sebelum jauh kesana, kita bisa melakukan peninjauan terkait indikasi kemungkinan yang bisa saja terjadi. Mengapa dikatakan indikasi, karena memang jelas, penafsiran terhadap video ini belum ada putusan inkracht dan valid yang benar-benar bisa menerka video tersebut secara pasti.

Sejauh mana tingkat perlawanan dari Floyd dan kemungkinan dia disebut taat hukum atau lebih tepatnya tidak ada perlawanan

Perlu diketahui, sebelum kejadian tersebut, penangkapan itu terjadi bukan tanpa sebab, akan tetapi ada aksi-reaksi di antara kedua belah pihak. Pada saat penangkapan itu terjadi, Floyd sempat melakukan perlawanan walaupun memang tidak besar, tapi pertanyaannya? Sejauh mana orang tersebut bisa dikatakan tidak ada perlawanan dan murni tidak melawan atau tidak ada perlawanan memang karena di bawah ancaman dan tidak memiliki kekuatan lebih.

Apa yang terjadi di video mungkin secara gamblang memperlihatkan bagaimana perlawanan itu terjadi ketika Floyd melakukan penolakan untuk diborgol oleh Thomas Lane. Padahal, secara jelas, Lane telah menodongkan pistol agar Floyd tidak melakukan perlawanan. Secara jelas memang disini seharusnya sebagai tersangka, Floyd secara wajib harus mengikuti aturan sebagai wujud warga yang taat hukum dan prosedur. Namun secara wajar juga, tidak ada orang yang dituduh sebagai tersangka langsung menerima begitu saja tanpa ada refleks perlawanan.

Artinya, Floyd bisa dimungkinkan untuk melakukan perlawanan lebih jauh ketika pada saat itu dia membawa senjata dan tidak di bawah ancaman besar. Kesimpulannya, Floyd belum tentu bisa dikatakan secara murni tidak melawan, karena bisa saja hal tersebut terjadi, memang karena Floyd juga tidak sama-sama membawa senjata dan tidak berdaya pada saat itu.

Pemicu polisi Chauvin melakukan tindakan tegas yang belebihan

Hingga saat ini, sebenarnya video tersebut belum bisa menjadi bukti valid apakah memang benar Floyd terbunuh karena polisi tersebut, atau semacam ada aksi-reaksi di antara keduanya. Peninjauan yang bisa dilihat kemudian dari video ini adalah bagaimana dari sisi psikologis dari polisi Chauvin tersebut, hingga kemudian dia melakukan tindakan yang melebihi batas. Apakah hal ini memang ada rasa amarah hingga kemudian tidak sengaja melakukan pembunuhan terhadap Floyd atau memang sengaja melakukan pembunuhan terhadap Floyd.

Sederhananya, jika kita melihat hukum kita sendiri pun, dalam Hukum Pidana, jika memang tidak ada niat untuk membunuh, maka dia tidak bisa dikategorikan sebagai tindak pidana pembunuhan, kaitannya yakni bagaimana adanya mens rea dan actus rea di dalamnya.

Pertanyaan sederhananya, apakah memang polisi tersebut berniat melakukan pembunuhan terhadap Floyd? Netralnya, jika ada aksi maka pasti ada reaksi, jika kita dipukul oleh seseorang, maka tentunya kita pasti akan membalas pukulan itu karena pengaruh refleksitas dalam diri kita yang merasa tersakiti dengan apa yang di lakukan. Namun persoalannya, sejauh mana Floyd melakukan perlawanan terhadap Chauvin? Karena yang sempat mendapatkan perlawanan adalah pada saat polisi Lane yang memberikan borgol pertama, yang seharusnya pergolakan itu terjadi antara Lane dengan Floyd bukan Chauvin dengan Floyd.

Pertanyaan sederhananya lagi, apa hal yang mendasari Chauvin melakukan hal berlebihan seperti itu? Apakah karena Floyd berkulit hitam, ataukah memang Chauvin memliki riwayat psikologis demikian? Karena memang jelas terlihat tidak ada perdebatan sengit antara Chauvin dengan Floyd yang memicu Chauvin melakukan tindakan tegas. Pemanggilan ambulans tetap tidak merepresentasikan bagaimana toleransi terhadap perlakuan Chauvin kepada Floyd, karena pemanggilan ambulans pun dilakukan ketika Floyd sudah tidak bisa bergerak dan bangun  yang kemungkinan bisa saja terjadi adalah dia meninggal sebelum ambulans datang.

Setelah kita melihat analisa kronologis dari video tersebut, sejenak kita akan melihat bagaimana rasisme itu berjalan seperti yang dikatakan oleh banyak orang saat ini terkait kasus Floyd. Tak ayal, banyak orang melihat apa yang dilakukan oleh Chauvin terhadap Floyd adalah kasus rasisme.

Namun bukan tidak mungkin, hal ini dipicu justru dari sisi psikologis Chauvin yang memiliki sisi emosionalitas yang tinggi terhadap segala sesuatu hal yang kecil. Seorang mantan pemilik klub El Nuevo Rodeo bernama Maya Santamaria pernah mempekerjakan Chauvin sebagai satpam di luar dinas dan bahkan juga pernah berada dalam satu instansi dengan Floyd di klub itu dimana Floyd berprofesi sebagai satpam. Maya mengatakan bahwa Polisi Chauvin ini selalu mudah untuk marah dan membesar-besarkan masalah yang memang menurutnya tidak perlu untuk dibesarkan (https://www.kompas.com/global/read/2020/05/30/070000070/george-floyd-dan-polisi-derek-chauvin-pernah-bekerja-bersama-di-sebuah?page=2). Walaupun memang belum merepresentasikan secara penuh terkait sisi psikologis Chauvin, namun ada indikasi dan kemungkinan bahwa memang ada yang berbeda dari sisi emosionalitas dari Chauvin itu sendiri.

Tambahan lagi, Chauvin memiliki beberapa rekam jejak terkait keterlibatannya dalam kasus penembakan oleh polisi. Dalam artian disini dapat kita analisa, bahwa apa yang dilakukan Chauvin bukan karena siapa, tapi memang karena bagaimana, bukan karena siapa yang dia bunuh dan dia siksa, tapi lebih kepada bagaimana hal yang mendasari Chauvin melakukan hal tersebut karena memang kebiasaannya seperti itu, artinya terlepas dari siapa yang dia hadapi dan dia lawan, baik yang dia hadapi itu berkulit putih atau berkulit hitam.

Dikutip dari Kompas.com pada 30 Mei 2020, Chauvin pernah terlibat dalam kasus kematian dan penembakan yang pernah terjadi sebelumnya. Bahkan, hal ini bisa dibuktikan dari beberapa fakta empirik terkait kebiasaan polisi Chauvin yang memang selalu terlibat dalam kasus penikaman. 

Sebagaimana kasus yang terjadi dari tahun 2006 terkait penembakan terhadap Wayne Renes dan Ira Latrell Toles dan tahun 2011 terhadap Leroy Martinez dengan berbagai macam alasan yang didasarkan pembelaan oleh Chauvin dan rekannya saat itu sebagai bentuk tanggung jawab hukum. Bahkan, pada tahun 2008, Chauvin pun mendapatkan penghargaan medali atas keberaniannya menghadapi insiden pria bersenjata. 

Artinya, memang secara gamblang Chauvin ini memiliki sosok tegas dan emosionalitas tinggi dalam rekam jejaknya dan secara jelas bukan didasarkan atas perbedaan warna kulit dan secara jelas pun terlihat bahwa bukan tidak mungkin juga Chauvin akan melakukan hal yang sama terhadap apa yang dilakukannya terhadap Floyd kepada orang yang juga berkulit putih sama dengannya.

Persoalan rasisme hanya bisa dilihat secara batin, bukan secara fisik karena orang kulit putih membunuh orang kulit hitam, persoalan itu tidak bisa kemudian direpresentasikan hanya dengan melihat secara kelembagaan atau secara general berdasarkan beberapa kasus pembunuhan dan penyiksaan oleh kepolisian sebelumnya, namun melihat bagaimana memangnya konteks kasus yang terjadi.

Rasisme itu sendiri memiliki berbagai macam perspektif dan bersifat subjektif, tidak ada alasan objektif untuk kemudian memberikan justifikasi terhadap rasisme. Hanya dengan melihat pembunuhan tersebut terjadi antara orang berkulit putih dan orang berkulit hitam, maka itu rasisme. Tentu saja tidak, hal tersebut belum bisa merepresentasikan semuanya. Terlebih lagi, dasar dari tindakan tegas Chauvin pun dalam melakukan tindakan tegas terhadap Floyd juga tidak ada yang tahu didasari dengan hal apa.  

Sejatinya, rasisme memang tidak bisa diidentifikasi secara gamblang hanya karena kulit putih membunuh orang berkulit hitam, karena rasisme adalah persoalan implisit yang notabennya menjadi latar belakang seseorang melakukan suatu tindakan. Sebagian orang berpendapat rasisme karena berkaca dari beberapa kasus yang terjadi terkait penyiksaan terhadap orang berkulit hitam dan ditinjau karena adanya diskiriminasi perlakuan antara orang berkulit putih dan berkulit hitam. Padahal, secara jelas definisi dari diskriminasi dan rasisme pun juga berbeda.

Apa yang dilakukan oleh Floyd tidak bisa dibenarkan, mengingat Floyd pun juga memiliki rekam jejak kriminal atas kasus perampokan di Houston pada tahun 2007 dan divonis 5 tahun penjara pada tahun 2009 sekaligus juga pernah ditangkap atas penangkapan Kokain, dan secara alamiah, tidak ada yang bisa menilai kapan memang seseorang bisa dikatakan benar-benar tidak akan melakukan kesalahan kriminal lagi walau sekecil apapun dan tidak ada yang bisa menjamin terkait hal tersebut.

Berkilas balik dengan kasus George Floyd, tentunya kita tidak bisa hanya menyudutkan kepada salah satunya saja. Pemikiran sederhana sangat diperlukan untuk bagaimana kita berpikir sebagai pihak yang netral. Kedua orang ini sama-sama memiliki refleks dengan porsi dan posisi yang berbeda, tidak bisa dipungkiri nantinya ketika Floyd memiliki senjata, maka dia juga ada kemungkinan untuk melakukan perlawanan lebih daripada di video. Begitupun dengan polisi tersebut, perlakuannya terhadap Floyd juga tidak bisa dibenarkan, sikap tindakan berlebihan terhadap tersangka yang masih belum ada putusan inkracht dari pengadilan juga bukanlah sepenuhnya wewenangnya.

Beberapa perlawanan memang diperbolehkan untuk diberi tindakan tegas, namun bukan berarti tindakan tersebut dapat digeneralisir ke semua jenis perlawanan oleh tersangka, kecuali memang disaat tertentu polisi dalam kondisi terdesak dan mau tidak mau melakukan tindakan tegas. Sementara dalam video tersebut, Floyd tidak memberikan ancaman yang bersifat membahayakan petugas kepolisian yang ada pada saat itu.

Beberapa hal yang harus kita lihat adalah bagaimana kita menyesuaikan penilaian berdasarkan konteks kasus satu per satu, bukan satu untuk semua kasus. Dalam artian, bagaimana ketika kita sedang dihadapkan pada satu kasus, maka kita tidak bisa merepresentasikan kasus tersebut dengan kasus yang pernah terjadi sebelumnya. 

Perlu sekali untuk kemudian menganalisa kasus dan difokuskan hanya pada satu kasus tersebut, bukan kemudian membandingkan kembali dengan kasus sebelumnya dimana secara jelas kasus tersebut tidak sama kondisi dan konteks kejadiannya. Apa yang terjadi antara Chauvin dan Floyd tidak bisa dilihat secara kelembagaan namun lebih kepada dilihat secara personal (person to person) yakni bagaimana kita melihat siapa yang terlibat dan apa yang dilakukan di dalamnya, bukan apa lembaganya dan bagaimana kasus sebelumnya.

Terlihat lagi secara jelas, tidak semua polisi melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh Chauvin dan tidak semua orang berkulit putih pun tidak pernah mendapatkan perlakuan kasar seperti apa yang dialami Floyd. Apa yang dilakukan oleh Chauvin tidak bisa dibenarkan dan apa yang terjadi pada Floyd juga tidak bisa dijustifikasi sepenuhnya bahwa ini karena rasisme hanya karena persoalan yang membunuh ini secara kebetulan adalah orang berkulit putih. Padahal, bukan tidak mungkin kemudian orang berkulit hitam pun yang berprofesi sebagai polisi juga bisa saja ada indikasi melakukan hal kasar seperti Chauvin.

Duduk perkara dari kasus ini bukan untuk memihak salah satu diantaranya, melainkan untuk meluruskan bahwa persoalan kasus ini memang bukan persoalan rasisme, tapi persoalan karakter dan sikap batiniah dari seseorang. Tidak ada yang bisa menjadikan kulit seseorang menandakan orang itu baik atau jahat, kemungkinan dan indikasi itu masih bisa terjadi, ketika memang orang berkulit putih melakukan penyiksaan terhadap orang berkulit hitam, maka bukan tidak mungkin orang berkulit hitam melakukan penyiksaan juga terhadap orang berkulit putih.

Tinjauan terhadap hukum yang berlaku di AS dan kasus yang pernah terjadi sebelumnya

Sejak kasus ini mencuat, kasus ini akhirnya kembali memunculkan perdebatan terkait Qualified Immunity atau kekebalan yang memenuhi syarat. Dalam sistem hukum federal Amerika Serikat terdapat doktrin hukum yang melindungi pejabat pemerintah agar tidak dituntut atas tindakan diskresi yang dilakukan dalam kapasitas resmi mereka yang disebut sebagai Qualified Immunity atau kekebalan yang memenuhi syarat. Maksud dari "Tidak dituntut atas tindakan diskresi yang dilakukan dalam kapasitas resmi" adalah apabila tindakan tersebut dilakukan atas dasar kapasitasnya sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan tersebut, bukan karena melanggar hukum federal atau hak konstitusional yang "jelas".

Di bawah doktrin Qualified Immunity atau kekebalan yang memenuhi syarat, pejabat publik dapat dimintai pertanggungjawaban hanya sejauh mereka melanggar hak-hak yang "ditetapkan dengan jelas" berdasarkan hukum kasus yang ada. Standar ini melindungi penegakan hukum, khususnya, dari pelanggaran konstitusional yang tak terhitung jumlahnya setiap tahun. 

Dalam Undang-Undang Hak Sipil 1871 (juga dikenal sebagai Ku Klux Klan Act), Kongres memberi orang Amerika hak untuk menuntut pejabat publik yang melanggar hak hukum mereka. Dalam Bagian 1983 dari Kode AS (the modern analogue of the 1871 Civil Rights Act), Kongres mengatakan bahwa "jika seorang pejabat publik melanggar hak-hak Anda, apakah melalui kebrutalan polisi, penggeledahan ilegal, atau penangkapan yang melanggar hukum, Anda dapat mengajukan gugatan dan meminta pejabat publik bertanggung jawab secara finansial atas tindakannya". Bahasa yang digunakan Kongres sangat tegas: "Setiap" pejabat negara yang menyebabkan "perampasan hak apa pun" yang dijamin oleh Konstitusi dan undang-undang "akan bertanggung jawab kepada pihak yang dirugikan."

Awalnya, Mahkamah Agung AS mengakui penerapan langsung undang-undang ini. Dalam hal ini Monroe v. Pape misalnya, keluarga kulit hitam, Monroe, menggugat polisi Chicago yang pada pagi hari, masuk ke rumah mereka tanpa surat perintah, mengumpulkan mereka, membuat mereka berdiri telanjang di ruang tamu, dan menggeledah setiap kamar, mengosongkan laci dan merobek selimut kasur. 

Para petugas kemudian menangkap James Monroe, sang ayah, dan menahan serta menginterogasinya selama berjam-jam. Dalam pendapat yang ditulis oleh Hakim William Douglas, Mahkamah Agung mengakui bahwa Undang-Undang Hak Sipil mengizinkan Monro untuk menuntut para petugas karena melanggar hak konstitusional mereka. Mahkamah menjelaskan bahwa tujuan dari Undang-Undang Hak Sipil adalah untuk memberikan pemulihan kepada pihak-pihak yang dirampas hak konstitusional, hak istimewa, dan kekebalan dengan penyalahgunaan pejabat atas posisinya.

Mahkamah Agung menciptakan Qualified Immunity atau kekebalan yang memenuhi syarat pada tahun 1967, dan menggambarkannya sebagai pengecualian sederhana bagi pejabat publik yang telah bertindak dalam "itikad baik" dan percaya bahwa perilaku mereka disahkan oleh hukum. Lima belas tahun kemudian, di Harlow v. Fitzgerald, Pengadilan memperluas pemaknaaan secara drastis. 

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Amir H. Ali dan Emily Clark bahwa perlindungan yang diberikan kepada pejabat publik tidak lagi menghidupkan apakah pejabat itu bertindak dengan "niat baik." Sebaliknya, bahkan pejabat yang melanggar hak-hak rakyat secara jahat akan kebal kecuali jika korban dapat menunjukkan bahwa haknya "ditetapkan dengan jelas." Sejak keputusan Harlow, pengadilan telah membuat para korban kesulitan untuk memenuhi standar ini. Untuk menunjukkan bahwa undang-undang itu "ditetapkan dengan jelas" kata Pengadilan, seorang korban harus menunjuk ke kasus yang diputuskan sebelumnya yang melibatkan "konteks spesifik" dan "perilaku tertentu" yang sama.

Dari doktrin tersebut dan beberapa kasus yang pernah terjadi dan akhirnya melepaskan polisi dari gugatan hukumnya. Maka menengok kasus yang terjadi kepada George Floyd, bukan menjadi suatu hal yang tidak mungkin bagi pejabat tertentu salah satunya yakni oknum polisi untuk bertindak secara leluasa atas korbannya dan merasa aman atas tindakan yang dilakukan. 

Oleh karena itu, adanya Qualified Immunity dapat dikatakan sebagai faktor eksternal dari pejabat polisi untuk melakukan tindakan secara leluasa terhadap tersangka dan beberapa kesulitan dari penggugat untuk menang ketika mengajukan perkara. Maka, yang menjadi persoalan sejauh ini adalah bagaimana undang-undang yang ada diberlakukan seperti halnya Undang-Undang tentang Hak Sipil dan bagaimana kode etik kepolisian itu mampu menjadi pedoman bagi para Polisi untuk melakukan penegakan hukum dan tidak melanggar hak konstitusional warga negara.

Diperlukan eksistensi dari penguatan internalisasi kelembagaan yang tidak lain adalah dari etika kepolisian. Hal yang perlu ditinjau yakni limitasi bentuk perlawanan dari tersangka yang diperbolehkan untuk diberi tindakan tegas dan tidak boleh diberi tindakan tegas, optimalisasi peningkatan pengawasan dalam segi situasi mendesak terkait kapan polisi hanya terbatas semacam menodongkan senjata atau menembakkan senjata ke atas sebagai bentuk ancaman, peningkatan ketegasan sanksi administratif terkait pemecatan tidak hormat jika melakukan tindakan tegas yang berlebihan dan pelaporan pertanggungjawaban setiap bulannya terhadap Kepala Departemen Kepolisian usai dari hasil tangkapannya terhadap tersangka.

Urgensi etika kepolisian terkait bagaimana pembentukan kelembagaan terdekat yang memliki dampak lebih langsung terhadap polisi daripada perbaikan peraturan dalam ranah pengadilan atau perbaikan aturan yang dikeluarkan oleh MA AS, karena dengan penguatan optimalisasi dari kelembagaan terdekat, maka etika kepolisian sendiri dapat menjadi kontrol sosial paling intens. Hal ini mengingat dari segi jangkauannya sendiri untuk departemen kepolisian dapat memberikan pengawasan secara langsung kepada anggota kepolisian daripada bergantung dari ranah pengadilan. 

Etika kepolisian ini juga berfungsi sebagai penguatan penegasan sanksi yang lebih efisien, cepat, dan efektif karena bisa langsung dilaksanakan seketika itu juga, dan persoalan pidana serta pelanggaran hukum terhadap warga negara tetaplah menjadi tanggung jawab pengadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun