Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengumbar Kekecewaan di WAG, Apakah Guru Sudah Bercermin?

3 Desember 2022   19:55 Diperbarui: 4 Desember 2022   20:06 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi(KOMPAS.com/ Galuh Putri Riyanto)

Setelah ujian berakhir, baik itu Penilaian Tengah Semester (PTS) maupun Penilaian Akhir Semester (PAS), tentu saja, ada dua pihak yang khawatir perihal nilai-nilai peserta didik.

Pihak pertama adalah orangtua murid. Mereka sebagai pihak yang paling bertanya-tanya tentang hasil belajar putra-putri mereka. Padahal, kalau melihat dan membandingkan, di masa saya belia, peserta didik yang harap-harap cemas. Takut tidak naik kelas.

Sekarang? Anak-anak zaman now malah santai. Tanpa beban. Belajarnya pun asal-asalan. Kebanyakan dari mereka yakin tetap naik kelas dan lulus meskipun nilai-nilai mereka buruk atau semenjana.

Pihak kedua yang paling khawatir adalah guru, baik itu guru kelas maupun guru bidang studi. Rendahnya nilai mayoritas peserta didik bisa mencoreng kredibilitas dan kompetensi guru-guru tersebut.

Terbukti, Andre (bukan nama sebenarnya), salah seorang guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) di salah satu SMP di Samarinda , tidak bisa menahan gundah gulananya.

Saya melihat pesan WA Andre di smartphone Leo (nama samaran), murid les saya, beberapa minggu yang lalu. Bunyinya, "Sedih saya lihatnya masih ma banyak nilai di bawah KKM."

Kening saya berkerut.

Terasa aneh saja melihat seorang guru mengumbar kekecewaan di WhatsApp Group (WAG) yang berisi anggota peserta didik kelas VIII SMP dan sang guru itu sendiri.

Kenapa aneh?

Karena menurut saya, tidak ada gunanya menyatakan rasa kecewa setelah melihat kebanyakan peserta didik memperoleh nilai Penilaian Tengah Semester (PTS) mata pelajaran PJOK dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), sehingga para peserta didik harus mengikuti remedial.

Pentingnya melihat faktor-faktor lain

Memang, tak pelak lagi, peserta didik punya kesalahan, punya andil dalam kegagalan mereka. Namun melimpahkan seluruh kesalahan kepada peserta didik tidaklah bijak. Ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi anjloknya prestasi peserta didik.

Menurut kacamata saya, ada 3 (tiga) faktor penyebab penurunan nilai siswa.

1. Keluarga dan lingkungan pergaulan peserta didik

Bicara soal keluarga, bicara soal garda terdepan dalam pendidikan. Keluargalah yang sebenarnya menentukan berhasil atau gagalnya generasi penerus di masa mendatang.

Selama ini kebanyakan orangtua (dan mungkin juga beberapa guru) menganggap bahwa pendidikan itu sepenuhnya berada di tangan lembaga penyelenggara pendidikan, yaitu pihak sekolah.

Mayoritas peserta didik yang "bermasalah" di sekolah mempunyai orangtua yang tidak menerapkan pendidikan dan disiplin pada anak di rumah.

"Kan saya kerja, mana sempat ngajarin dan perhatiin anak saya!"
"Anak banyak. Sibuk di rumah. Pendidikan di tangan sekolah saja."

Saya menemui berbagai orangtua dengan pendapat seperti dua contoh diatas. Kebanyakan orangtua seperti itu, menurut survei tidak resmi dari saya sewaktu masih mengajar bahasa Inggris di berbagai Sekolah Dasar di Samarinda.

Tak pelak lagi, keluarga adalah koentji keberhasilan peserta didik, karena sejak lahir sampai dewasa, waktu peserta didik bersama keluarga lebih banyak dibanding di sekolah dan lembaga pendidikan lainnya.

Mungkin Anda tidak asing lagi dengan pepatah yang mengatakan "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya". Pepatah ini menggambarkan bahwa perilaku dan karakter anak tidak akan jauh berbeda dengan ayah dan ibunya. Ibarat kata, anak adalah "salinan" dari kedua orangtuanya.

Jadi, daripada menimpakan kesalahan sepenuhnya kepada peserta didik, kenapa guru tidak berkomunikasi dengan orangtua murid untuk mengetahui permasalahan yang sebenarnya? Kondisi rumah yang tidak nyaman dan orangtua yang kurang peduli pada pendidikan sangat mempengaruhi motivasi belajar dan karakter anak.

Lingkungan pergaulan dengan teman juga menjadi poin penting, baik itu pergaulan dengan anak-anak seusia di seputar rumah atau teman-teman sekelas di sekolah. Pemantauan orangtua seharusnya ada, karena pergaulan yang buruk akan merusak kebiasaan yang baik, dan guru juga harus menyadari akan hal tersebut.

2. Banyaknya jumlah mata pelajaran beserta tugas-tugasnya

Sudah terang benderang, bukan rahasia lagi kalau jumlah mata pelajaran di sekolah-sekolah Indonesia sangatlah banyak. Seakan menyandang jargon "memberikan bekal sebanyak-banyaknya untuk peserta didik".

Leo, yang sudah kita kenal di awal tulisan, mempunyai berbagai tugas yang deras mendera tak henti-hentinya. Di kelas delapan SMP, setiap hari dia dan teman-temannya mendapat PR dari para guru.

Misalnya, hari Senin, Leo mendapat PR IPS sejumlah 20 nomor dengan perincian sepuluh nomor Pilihan Ganda (PG) dan sepuluh nomor Uraian (U). Hari Selasa, PR IPA dan Matematika sudah menanti. Hari Rabu, guru PJOK dan Bahasa Inggris juga tidak mau ketinggalan untuk memberikan "bekal" kepada peserta didik untuk dikerjakan di rumah.

Hari Kamis dan Jumat juga begitu. PR segunung titipan dari para guru. Cuma hari Sabtu yang nirPR.

Kalau melihat jadwal pelajaran di mana ada Bahasa Indonesia, Agama, PPKn, IPA, IPS, Bahasa Inggris, SBdP, Matematika, PJOK, TIK dan IT Preneur; maka total jenderal ada sebelas mata pelajaran (mapel) yang Leo dan kawan-kawannya harus pelajari di kelas delapan SMP.

Anda bisa bayangkan betapa capeknya peserta didik zaman now. Pulang sekolah sekitar pukul 14.00 atau 14.30. Belum lagi menempuh perjalanan pulang yang memakan waktu kalau rumah jauh dari sekolah.

Menyantap makan siang yang terlambat di jam tiga; tidur sebentar barang satu jam; les privat di jam empat lewat beberapa menit; dan mengerjakan PR yang seakan tidak ada habisnya. Setelah makan malam, badan sudah letih. Mau belajar bahan mata pelajaran untuk esok hari? Otak sudah terlalu lelah untuk berpikir.

Akibatnya sudah jelas nyata: Peserta didik menganggap belajar sebagai beban, bukan persiapan untuk menggapai masa depan yang cemerlang.

3. Becermin pada diri sendiri selaku pendidik

Nah, setelah melihat faktor eksternal, sekarang tengoklah ke diri sendiri, sesuai dengan judul tulisan ini. Becermin pada diri sendiri selaku pendidik. Tanyakan beberapa pertanyaan di bawah ini dan jawab dengan jujur.

Apakah saya sudah merancang program pengajaran dengan baik?
Apakah saya sudah sepenuh hati dalam mengajar?
Apa tujuan saya dalam mengajar?
Apa saja langkah-langkah yang saya tempuh supaya proses belajar mengajar bisa menjadi menarik dan menyenangkan?

Tulis pertanyaan-pertanyaan di atas kertas dan jawab secara tertulis pula.

Apakah cukup dengan menulis segala pertanyaan dan jawaban? Tentu saja tidaklah cukup. Harus ada action, tindakan untuk mewujudkan, dan tidak lupa, evaluasi tindakan dari hasil pencapaian peserta didik.

Kalau nilai-nilai Penilaian Tengah Semester (PTS) dan Penilaian Akhir Semester (PAS) peserta didik sangat rendah di bawah Standar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM); selain faktor peserta didik, orangtua, lingkungan pergaulan, dan banyaknya jumlah mata pelajaran beserta tugas-tugasnya; peran pendidik juga vital, karena pendidik menyampaikan materi ajar yang menjadi tolak ukur penilaian penguasaan mata pelajaran pada peserta didik.

Guru harus becermin, mengevaluasi dirinya sendiri. 

Apakah saya menggunakan metode mengajar yang kurang tepat sehingga peserta didik tidak tertarik untuk belajar?
Apakah saya kurang melakukan proses pendalaman materi kepada peserta didik? 
Apakah saya sudah menjabarkan kisi-kisi soal dengan jelas kepada peserta didik?

Dan, akan lebih baik lagi jika sang guru, selain berdiskusi dengan orang tua atau wali peserta didik seperti yang sudah disebut di faktor pertama, juga berkonsultasi dengan pengawas yang mempunyai wewenang untuk membina para guru binaannya.

Sayangnya, sejauh mata memandang, sepengetahuan saya selama ini, saya jarang melihat rekan guru yang berinisiatif menemui pengawas untuk berkonsultasi perihal kemajuan atau kemunduran peserta didik, baik dari segi proses belajar mengajar maupun penilaian.

Apakah karena sang pengawas sibuk, sehingga tak punya waktu untuk membimbing guru-guru binaannya?

Apakah guru merasa diri sudah sangat berpengalaman sehingga tidak perlu bimbingan?

Apakah guru takut nilai kompetensinya berkurang karena "minus"-nya terkuak di mata pengawas?

Entah mana yang menjadi alasan para rekan guru. Biarlah Anda dengan jujur menjawabnya sendiri. 

Lihat dari berbagai sisi

Jadi, kegagalan peserta didik dalam bidang akademik bukan semata kesalahan mereka. Ada faktor-faktor lain di luar diri murid yang juga turut mempengaruhi kemajuan atau kemunduran prestasi, seperti peran orangtua dan lingkungan pergaulan peserta didik, banyaknya jumlah mata pelajaran beserta tugas-tugasnya, serta faktor dari pendidik itu sendiri.

Melihat dari satu sisi, yaitu peserta didik saja, tentu tidaklah tepat. Dan mengumbar kekecewaan di WAG, menyudutkan para peserta didik, semua itu tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi malah akan menimbulkan problem baru.

"Becermin" adalah koentji utama bagi pendidik, supaya pendidikan bisa berjalan dengan sukses dan mencapai tujuan seperti yang diharapkan.

Jadi, apakah Anda sudah becermin?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun