Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Negeri Pemuja Isi Kepala

18 Juni 2022   12:17 Diperbarui: 19 Juni 2022   00:31 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari Shutterstock via KOMPAS.com

Pembelajaran tatap muka bisa dilaksanakan seratus persen tentu menjadi hal yang menggembirakan. Meskipun durasi pembelajaran belum sepenuhnya normal seperti sebelumnya, namun paling tidak, tanggung jawab mendidik dan mengajar kembali ke tangan guru (mendidik tetap tanggungjawab utama orangtua, tapi banyak orangtua yang tidak tahu kewajibannya).

Harapan peserta didik mendapatkan proses belajar mengajar yang menyenangkan? Sepertinya masih belum menjadi kenyataan.

Brian (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu peserta didik yang merasakan kalau "ternyata" proses belajar mengajar tetap membosankan dan sarat dengan tugas atau pekerjaan rumah (PR).

Murid les yang berstatus pelajar kelas tujuh di salah satu SMP di Samarinda ini, seakan tidak punya pilihan lain setelah pulang sekolah. PR sudah menumpuk. Parahnya, esok hari, PR harus sudah diserahkan kepada guru mata pelajaran yang bersangkutan.

Seperti contohnya, pada hari Selasa, 24 Mei 2022, saya mengajar Brian pada jam 13.30 Waktu Indonesia Tengah (WITA). PR Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sudah menanti. Jumlahnya sekitar empat puluh soal, gabungan dari Pilihan Ganda (PG) dan Uraian.

Dua jam lebih mengerjakan. Melelahkan.

Esok hari, Rabu, 25 Mei 2022, saya menanyakan perihal seabrek tugas yang dituntaskan sehari sebelumnya.

Apakah Anda bisa menebak apa jawaban Brian?

"Gurunya tidak bisa ngajar, Pak. Cuma kasih tugas. Bilangnya, ada urusan," jawab Brian singkat.

"PR kemarin tidak dikumpul ?" tanya saya lagi. 

"Nggak," jawab Brian.

Saya cuma bisa geleng-geleng kepala.

Di kemudian hari, tugas tersebut juga tidak dikumpul, karena sang guru tidak meminta para peserta didik untuk menyerahkan.

Rupanya metode mengajar "menghabiskan materi" menjadi pegangan Bu Dina (nama samaran), guru IPA di SMP dimana Brian bersekolah. 

Apakah manusia sebatas isi kepala?

Meskipun banyak pujian dan dukungan yang ditujukan pada kurikulum merdeka belajar, saya masih meragukan isi dan pelaksanaannya. Tapi keraguan yang terbesar adalah apakah kurikulum ini tetap diteruskan, meskipun kelak menteri pendidikan diganti.

Yah, katakanlah tetap berlanjut dengan beberapa perbaikan, saya masih berpendapat kalau kurikulum merdeka belajar sama seperti kurikulum-kurikulum sebelumnya. Bagus di judul dan penjabaran di atas kertas, tapi nihil di pelaksanaan.

Sampai saat mata memandang di masa sekarang, saya melihat kebanyakan guru di berbagai sekolah tetap dengan proses mengajar yang sama, yaitu menjelaskan materi dengan sistem satu arah alias ceramah, metode yang sudah sangat mereka kuasai.

Setelah itu guru melontarkan pertanyaan "klasik" di akhir jam pelajaran, "Ada pertanyaan?" yang terkesan hanya basa-basi belaka dengan penampakan muka datar, terlihat jelas lelah dan ingin segera beranjak ke ruang guru. Mungkin sepiring gorengan dan secangkir kopi sudah terbayang di benak.

Sebagai penutup, guru memberikan segebung PR kepada peserta didik. Ritual yang tidak pernah berubah.

Ujian tertulis di akhir semester masih menjadi acuan keberhasilan pembelajaran. Apakah manusia sebatas isi kepala? Apakah nilai gemilang sudah mencerminkan pemahaman peserta didik?

Apa yang sebaiknya pendidik lakukan?

Tentu saja, kesuksesan manusia tidak terbatas pada isi kepala. Terkadang malah orang-orang yang "tidak terlalu berprestasi" atau "tidak berprestasi" dalam hal akademik di sekolah, mereka justru meraih sukses dalam kehidupan nyata di luar lembaga pendidikan yang mereka lalui sebelumnya.

Intelligence Quotient (IQ) bukanlah segalanya. Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ) juga turut menentukan keberhasilan seseorang dalam kehidupan yang keras ini.

Oleh karena itu, paradigma "nilai bagus, kesuksesan, prestasi gemilang ditentukan oleh isi kepala" sudah seharusnya tidak lagi menjadi pegangan, sadar atau tidak sadar.

Menurut saya, ada 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan oleh para pendidik, baik itu guru di sekolah, maupun orangtua di rumah.

1. Bukan sekadar "menyuapi"

"Anda mengajar seperti biasa aja. Tidak usah yang aneh-aneh!"

Saya mengingat kembali komentar salah satu rekan guru, Bu Sofia (bukan nama sebenarnya) yang memberikan kritik tentang cara saya mengajar yang berbeda dari "pakem" yang sudah ada beberapa tahun yang lalu.

"Pakem" yang sudah ada menurut Bu Sofia (dan kebanyakan guru pada umumnya) adalah mengajar seperti biasa. Menghabiskan materi yang ada di buku pelajaran.

Mau jadi apa negara ini kalau pendidikan lebih menitikberatkan pada "menyuapi" peserta didik dengan segebung teori?

Kebanyakan peserta didik dan murid les terlihat lesu setelah pulang sekolah. Tanpa perlu bertanya, saya sudah dapat menebak kalau proses belajar mengajar yang mereka hadapi di sekolah sangatlah tidak menyenangkan.

Dan memang begitulah adanya. Keluhan capek sekolah ditambah dengan PR yang berjibun sudah memperlihatkan kalau kebanyakan guru masih "menyuapi" peserta didik.

Ketidakpercayaan kalau peserta didik sudah paham tentang materi ajar menjadi alasan utama.

Memang, tidak bisa dipungkiri, kebanyakan peserta didik zaman now mengalami kecanduan gawai, sehingga fokus, konsentrasi mereka kepada suatu kegiatan yang membutuhkan perhatian yang penuh dan lama menjadi berkurang.

Saya melihat mayoritas peserta didik dan murid les mengalami kesulitan untuk belajar dalam jangka waktu yang lama. Game online dan YouTube telah 'membius' mereka.

Tapi, terlepas dari menyalahkan internet sepenuhnya, guru harus mengevaluasi diri, menyadari, kalau diri mereka tidak sebatas mengajar (dibaca: menyuapi) tapi juga mendidik, membentuk karakter peserta didik menjadi pribadi-pribadi yang berilmu, terampil, dan tangguh.

2. Pendidik perlu "berbenah", terus belajar, dan mengaplikasikan

Zaman sudah berubah. Sesuatu yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Begitu yang sering kita dengar.

Mengajar dengan cara "menyuapi", seperti yang sudah dibahas sebelumnya, seharusnya tidak menjadi satu-satunya cara dalam mengajar. Kebanyakan rekan guru yang saya kenal melakukan cara ini. Bertahun-tahun sampai pensiun menyapa. 

Berbenah. Itu yang seharusnya pendidik lakukan. Apalagi saat pandemi covid-19 masih mengganas dalam dua tahun sebelumnya yang memorakporandakan sistem pendidikan. Keluhan "belajar daring tidak bagus" menunjukkan sempitnya wawasan. Menggunakan sepenuhnya metode ceramah ke dalam pembelajaran secara daring tentu saja tidaklah bijak karena situasi dan kondisinya tidak sama dengan belajar secara tatap muka dimana pendidik bisa mengetahui secara langsung "perasaan" peserta didik selama proses belajar mengajar berlangsung.

Sebagai guru, harus juga memberikan contoh kepada peserta didik. Bukan sekadar omongan biasa. Diri menyarankan murid untuk rajin belajar, tapi malah dianya malas. Setiap hari sepulang mengajar, malah rajin menatap layar televisi dan ponsel pintar.

Konten yang ditonton adalah gosip terbaru para artis dan berbagai tayangan hiburan lain. Tidak ada tayangan yang berhubungan dengan peningkatan kompetensi guru sama sekali.

Sadar bahwa jabatan guru bukanlah sembarangan, Guru, digugu dan ditiru. Apa yang diucapkan dan dilakukan oleh guru menjadi contoh dan panutan bagi peserta didik.

Belajar metode pengajaran yang baru dan berhubungan dengan disiplin ilmu. Dan jangan hanya menimbun informasi, tapi harus mengaplikasikan dalam menjalankan tugas mendidik.

3. Ujian tertulis tidak melukiskan gambaran menyeluruh

Layaknya kalau perusahaan ingin merekrut seorang karyawan yang sangat mereka butuhkan untuk mengisi jabatan strategis tertentu, mereka tidak bisa hanya mengandalkan ujian tertulis.

Sang kandidat akan menjalani serangkaian tes yang lain, seperti tes wawancara (interview), psikotes, dan lain sebagainya.

Seperti Anda lihat, ujian tertulis tidak melukiskan gambaran menyeluruh tentang kemampuan dan kepribadian calon karyawan. Makanya, untuk mendapatkan pegawai yang benar-benar dibutuhkan, perusahaan memberikan berbagai tes selain tes tertulis untuk memastikan keunggulan karyawan dibanding pesaing-pesaing pencari kerja yang lain.

Sayangnya, di kebanyakan lembaga pendidikan formal saat ini, ujian tertulis seperti menjadi alat ukur utama. Hal-hal yang bersifat "praktik" memang berjalan, seperti misalnya praktik start jongkok di mata pelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (PJOK), praktik penampilan drama fabel dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, praktik memainkan rekorder di mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya (SBdP), dan masih ada beberapa lagi yang lain.

Meskipun guru-guru memberikan beberapa praktik untuk mendapatkan nilai "keterampilan" disamping nilai "pengetahuan" di rapor peserta didik, namun terkesan "sambil lalu", sekadar memberikan nilai, tanpa adanya standar nilai dan proses dalam menentukan nilai akhir keterampilan.

Ujung-ujungnya? Tetap ujian tertulis yang menjadi andalan, karena kebanyakan guru menganggap soal-soal ujian tertulis sudah sesuai dengan kurikulum. Sudah baku dan standar, serta jauh dari "nilai perasaan".

Tapi, memang di negeri ini, isi kepala lebih diakui daripada nilai-nilai "tak kasatmata", seperti keterampilan. Nilai rapor bagus, Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi dihargai sangat tinggi.

Pertanyaannya: Apakah nilai-nilai aduhai tadi berbanding lurus dengan keterampilan yang dipunyai dalam diri?

Saya rasa, Anda sudah tahu jawabannya.

Isi kepala bukan segalanya

Akhir kata, isi kepala bukan segalanya. Kurikulum berubah setiap pergantian menteri, tapi cuma berbeda sampul dan isi saja. Pelaksanaan tetap sama. 

Kebanyakan guru hanya "menyuapi", sekadar menjalankan tugas mengajar. Tak heran, Doni (bukan nama sebenarnya), seorang pengusaha yang menjadi kenalan, pernah berkata, "Negeri ini tidak akan maju kalau memuja isi kepala belaka. Harus ada terobosan, transformasi supaya guru tidak sekadar mentransfer isi buku ke dalam otak peserta didik.

"Kalau pendidikan tetap seperti sekarang, cap negeri pemuja isi kepala tetap akan melekat."

Kata-kata bermakna dari seorang lulusan SMP, tetapi mampu menyediakan lapangan kerja buat banyak orang yang lulusannya lebih tinggi daripadanya.

Negeri pemuja isi kepala.

Apakah Anda setuju dengan pendapat Doni?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun