Di banyak organisasi, sekolah, rumah sakit, hingga kantor pemerintahan, ada satu pola yang berulang: proses pengawasan yang semestinya menjaga akuntabilitas malah membuat aktivitas utama terhenti. Bayangkan guru yang sedang mengajar di kelas, lalu tim pengawas datang. Alih-alih fokus pada murid, sang guru harus berhenti, mencari tumpukan administrasi, menyesuaikan format laporan, hingga meladeni wawancara berjam-jam. Murid terbengkalai, suasana belajar buyar.
Contoh lain yang tak kalah nyata: seorang bendahara di sebuah instansi pemerintah yang sedang memproses pembayaran tagihan. Tugasnya sederhana---memastikan vendor atau rekanan menerima pembayaran tepat waktu. Namun, ketika pengawas datang, pekerjaan terhenti. Bendahara harus menyiapkan dokumen tambahan, menyesuaikan format sesuai permintaan, dan duduk lama menjawab pertanyaan pemeriksa. Akibatnya, pembayaran terlambat, vendor dirugikan, dan reputasi instansi ikut tercoreng.
Fenomena ini menggambarkan paradoks pengawasan. Alih-alih memperkuat sistem, cara pengawasan yang ribet sering kali justru menghambat roda organisasi.
1. Pengawasan Seharusnya Tidak Mengganggu
Esensi pengawasan adalah memastikan standar tetap terjaga, bukan menghentikan pekerjaan utama. Idealnya, pengawas bisa seperti referee dalam olahraga: hadir, mengawasi, tapi tidak menghentikan permainan kecuali benar-benar ada pelanggaran serius. Michel Foucault, filsuf Prancis, pernah mengangkat konsep panopticon, metafora pengawasan yang efektif karena tidak terasa menginterupsi. Sayangnya, yang sering terjadi justru sebaliknya: pengawasan menjadi serangkaian prosedur yang membebani dan menguras energi.
2. Cukup Akses Data, Jangan Rebut Waktu
Di era digital, mestinya pengawas tidak perlu repot meminta dokumen berkali-kali. Jika sistem informasi dibangun transparan, cukup dengan akses data, pengawas bisa melihat perkembangan kapan saja tanpa harus menghentikan aktivitas orang lain. Contohnya, di Inggris National Audit Office (NAO) sudah memiliki akses penuh ke pengeluaran publik melalui basis data daring. Mereka tidak lagi membebani unit kerja dengan fotokopi dokumen manual. Prinsipnya jelas: trust the system, not the paperwork.
3. Saat Pengawas Kurang Menguasai Substansi
Realita lain: ada pengawas yang tidak memahami detail teknis bidang yang diawasi. Bukan karena niat buruk, tetapi karena latar belakang berbeda. Hasilnya, mereka kerap salah menilai atau menyoroti hal yang sebenarnya sudah sesuai aturan. Peter Drucker, pakar manajemen, pernah menegaskan: "So much of what we call management consists of making it difficult for people to work." Ungkapan ini cocok menggambarkan bagaimana pengawasan yang tidak didukung pemahaman mendalam justru menambah kesulitan, bukan memperbaiki kualitas.
4. Pentingnya Pemahaman Batas Toleransi
Seorang pengawas yang baik bukan hanya tahu teks aturan, tetapi juga memahami konteksnya. Pengawas yang pernah merasakan dinamika lapangan biasanya tahu batas antara kesalahan administratif kecil yang bisa ditoleransi dengan penyelewengan serius yang berpotensi merugikan. Pemahaman ini penting karena hukum tertulis tidak selalu mampu menangkap seluruh variasi kondisi nyata. Dengan bekal pengalaman, pengawas bisa lebih adil dalam menilai: mana yang hanya kekakuan prosedur, dan mana yang benar-benar penyimpangan yang harus ditindak.