Mohon tunggu...
Halim Pratama
Halim Pratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - manusia biasa yang saling mengingatkan

sebagai makhluk sosial, mari kita saling mengingatkan dan menjaga toleransi antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Momentum Imlek, Jauhkan Prasangka, Hapuskan Kebencian dan Diskriminatif

29 Januari 2023   12:49 Diperbarui: 29 Januari 2023   12:57 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perayaan Imlek, Tahun baru China 2574 Kongzili dirayakan umat beragama Konghucu maupun masyarakat Tionghoa pada umumnya baik di Tiongkok sana maupun negara-negara lain dimana terdapat populasi orang-orang Tionghoa.

Perasan suka cita orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia dalam semarak perayaan Imlek masih saja dibayangi oleh perlakuan diskriminatif yang mereka terima meski mereka adalah Warga Negara Indonesia. Walau sudah berpuluh tahun, lahir dan besar di Indonesia mereka masih saja mendapatkan stereotip "orang luar". Kebencian dan Diskriminatif seolah menjadi dua hal nyata yang harus dihadapi oleh Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa. Pandemi COVID-19, yang berawal dari Cina, menjadi pemantik baru untuk menyerang etnis Tionghoa di Indonesia. Hal yang baru adalah sentimen negatif muncul di media sosial saat orang-orang ramai memperdebatkan apakah gambar pakaian adat pada uang pecahan baru Rp75.000 adalah pakaian adat Cina. 

Ketika Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 dan 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) diterpa isu rasisme, ia dirumorkan memiliki kedua orang tua keturunan Tionghoa, dan mewakili kepentingan Tiongkok di Indonesia. Mantan Walikota Solo itu pun sampai saat ini masih dianggap antek Aseng dan terkait komunis di Tiongkok. Fake news yang menyerang Jokowi hanyalah salah satu contoh saja dari maraknya sentimen anti-Tionghoa atau sinofobia yang kerap terjadi di Indonesia. Sebuah survei yang dilakukan BBC World Service pada tahun 2017 menemukan bahwa pandangan positif masyarakat Indonesia pada Tiongkok hanya 28 persen, sementara 50 persen memiliki pandangan negatif.

Di lingkungan keseharian kita, tempat kerja, tempat tongkrongan, atau keluarga sekalipun, terkadang obrolan yang menganggap Tiongkok dan etnis Tionghoa sebagai sesuatu yang perlu dicurigai masih terjadi di mana-mana. Padahal kalau kita tilik catatan sejarah, Indonesia memiliki sejumlah catatan kelam terkait kekerasan pada etnis Tionghoa, seperti Peristiwa Mangkuk Merah 1967 dan Kerusuhan Mei 1998, yang telah menelan ribuan korban jiwa orang Tionghoa.

Yang menjadi pertanyaan kenapa bias negatif terjadi pada etnis Tionghoa? Tidak terjadi kepada peranakan Jepang atau Belanda yang terang-terangan menjajah Indonesia, bahkan sampai 350 tahun. Kita mungkin tidak akan peduli bila seorang calon pemimpin keturunan Jepang atau Belanda.

Sentimen negatif terhadap etnis Tionghoa dimulai sejak Belanda masuk ke Indonesia pada abad ke-16, Belanda memilih etnis Tionghoa yang sudah ada di Indonesia sejak era Kerajaan Majapahit sebagai kelas sosial yang lebih dipercaya dibanding pribumi. Banyak etnis Tionghoa yang kemudian jadi mitra dagang, sekaligus pemungut pajak. Etnis Tionghoa pun diberi eksklusivitas oleh Belanda untuk memisahkan tempat tinggal mereka dari pribumi, menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di beberapa kota besar Hindia Belanda. Kecemburuan terhadap eksklusivitas ini masih membekas di masyarakat Indonesia, karena menjadi cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Di era Soeharto sinofobia justru semakin menguat. Di satu sisi sang Smiling General memiliki hubungan dekat dengan para pebisnis Tionghoa yang dberikan privilege terhadap akses perekonomian. Namun di sisi lain  kehidupan etnis Tionghoa pada saat itu mendapatkan diskriminasi besar akibat diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967. Di aturan tersebut, kebudayaan Tionghoa bahkan dianggap dapat mempengaruhi psikologi, mental, dan moral yang tidak wajar di Indonesia. Karena itu, pembedaan antara "pribumi" dan "keturunan Tionghoa" semakin menjadi-jadi. Politik memecah belah kolonial yang diadopsi oleh Orde Baru semakin membangun prasangka negatif dan kecemburuan terhadap etnis Tionghoa sehingga menjadi dasar perilaku rasisme.

 Sentimen anti-Cina dan politisasi kebencian terhadap yang berbau Cina seringkali direproduksi sebagai bagian dari konstruksi politik masa lalu yang terus dipertahankan hingga kini untuk memecah belah persatuan. Bagaimanapun juga, rasisme adalah sesuatu yang perlu terus kita lawan setiap hari. Praktiknya hanya akan membuat pembelahan sosial di masyarakat semakin melebar. Semoga saja, isu sinofobia tidak lagi dimainkan dalam Pemilu 2024 nanti.

Menjaga dan melindungi tanah air bisa kita lakukan dengan bijak tanpa harus menggunakan istilah-istilah provokatif yang menyakiti. Kedepankan akal pikiran daripada prasangka berlebih tanda dasar kuat. Mari sama-sama tingkatkan kesadaran bahwa persatuan dan kesatuan merupakan kunci kemajuan bangsa ini. Stop jadikan Cina sebagai komoditas untuk menyulut keonaran.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun