Fanatisme, kebencian dan provokasi, merupakan hal yang masih marak terjadi saat ini. Bibit negatif itu muncul dan terus menguat, seiring masifnya propaganda radikalisme di dunia maya.Â
Praktek ini terjadi seiring menguatnya simpatisan radikalisme di Indonesia. Kelompok teroris ISIS sempat menggunakan pol aini, untuk menguasa dunia maya. Dan tanpa disadari, pola yang sama telah menjalar ke banyak orang di dunia, termasuk di Indonesia.
Sadar atau tidak, mungkin diantara kita saat ini begitu cepat sekali merespon sebuah informasi atau kebijakan pemerintah, dengan sudut pandang personal. Tak jarang kita memaki, mengumpat dan karena tak kuat menahan emosi, menuangkan kekesalan dan kebenciannya ke media sosial.Â
Pada titik inilah, tanpa disadari kita sudah melakukan praktek provokasi. Kok bisa? Seseorang yang sudah dilandasi kebencian, logika dan literasi umumnya dikesampingkan. Tidak perlu data, yang penting adalah menyampaikan kekesalan pribadinya.Â
Ironisnya, tak jarang umpatan dan kekesalan tersebut justru dilakukan oleh oknum tokoh politik, tokoh masyarakat, bahkan tokoh masyarakat. Akibatnya, masyarakat yang tingkat literasinya rendah akan mudah terpapar dan terprovokasi.
Di bulan suci Ramadan ini, saya coba mengingatkan, bahwa penting untuk melakukan perenungan dan introspeksi. Segala bentuk fanatisme, kebencian dan provokasi, tidak tepat jika terus diterapkan di Indonesia. Selain akan mendekatkan diri pada bibit radikalisme, hal ini juga berpotensi memicu terjadinya konflik di tengah masyarakat.Â
Ramadan tidak hanya mengandung pesan keagamaan, tapi juga mengandung semangat kebangsaan. Karena pada 17 Agustus 1945, tepat ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, tepat pada 9 Ramadan 1364 H. Ramadan juga bisa menjadi bulan kemerdekaan. Tidak hanya merdeka dari penjajahan, tapi juga merdeka dari hawa nafsu, egoism, fanatisme, kebencian dan provokasi.
Hawa nafsu harus dilepaskan karena lebih cenderung mengarah pada keburukan. Dalam Al Quran disebutkan, ketika manusia dikuasai oleh hawa nafsu, maka disitulah segalanya akan ditutup oleh-Nya. Baik itu dari sisi penglihatan, pendengaran, bahkan dibiarkan sesat segala pengetahuannya.Â
Pada titik inilah pentingnya belajar agama secara benar dan bisa melihat berdasarkan konteksnya. Dan melalui puasa di bulan Ramadan ini, menjadi momentum untuk pelan-pelan mengendalikan dan menghilangkan hawa nafsu yang bisa mengarah pada hal negatif.