Mohon tunggu...
Halilintar Putra Petir
Halilintar Putra Petir Mohon Tunggu... -

[Bukan siapa-siapa. Orang kampung dari ujung timur Madura, Sumenep. Mengabdi untuk kemanusiaan di Jogja]

Selanjutnya

Tutup

Politik

Matinya Wakil Rakyat

8 Maret 2015   10:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:59 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hakikat filosofis demokrasi adalah daulat rakyat. Tiada demokrasi tanpa kedaulatan rakyat. Persoalannya, dalam sistem perwakilan modern—dimana daulat rakyat tidak bisa diekspresikan seperti era klasik demokrasi langsung, relasi demokrasi dengan daulat rakyat menjadi sedemikian rumit. Bisa jadi, yang sedang menentukan arah dan kinerja demokrasi bukan daulat rakyat, akan tetapi daulat elit.

Daulat elit sebagai determinan wajah demokrasi dapat kita saksikan dalam transisi DPR RI, dari ujung akhir periode DPR lama ke ujung awal DPR baru periode 2014-2019. Para petinggi partai politik mengambil alih kekuasaan perorangan anggota DPR yang dipilih rakyat untuk mewakili daulat mereka dari tiap-tiap daerah pemilihan.

Mengakarnya daulat elit dalam sistem demokrasi perwakilan kita dapat dilihat dalam beberapa gejala pokok dalam politik kita, terutama sangat tingginya kekuasaan fraksi. Secara konseptual dan faktual, tidak ada demokrasi tanpa parpol. Sehingga keberadaan parpol menjadi sangat signifikan dalam implementasi mekanisme demokratis. Fraksi merupakan perpanjangan partai politik di DPR.

Menurut Tata Tertib DPR, fraksi bertugas mengoordinasikan kegiatan anggotanya dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPR, dan meningkatkan kemampuan, disiplin, keefektifan, dan efisiensi kerja anggotanya dalam melaksanakan tugas yang tercermin dalam setiap kegiatan DPR. Selain itu, Fraksi seharusnya melakukan evaluasi terhadap kinerja anggotanya dan melaporkan kepada publik pada setiap tahun sidang.

Faktanya, fraksi lebih sering merampas kehendak baik, akal sehat, dan suara anggota fraksi yang nota bene adalah wakil rakyat. Melalui fraksi, petinggi partai menjadi dalang, sedangkan wakil rakyat tak ubahnya para wayang. Kita bisa saksikan betapa dinamika DPR dalam pemilihan pimpinan DPR menggambarkan fakta tersebut. Keputusan yang diambil para wakil rakyat mengenai pimpinan mereka bukan berdasarkan hikmat-kebijaksanaan mereka dalam menjumput pilihan terbaik untuk penguatan institusi DPR dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas kinerja mereka menyerap aspirasi rakyat dan mengartikulasikannya menjadi Undang-Undang, akan tetapi atas dasar kepatuhan pada kehendak para elit partai-partai politik. Dengan demikian, dalil pokok demokrasi “suara rakyat suara Tuhan” (vox populi vox dei) sesungguhnya telah diberangus secara sistematis menjadi “suara elit parpol suara Tuhan”.

Situasi tersebut, berimplikasi pada “matinya” wakil rakyat. Apalagi, fraksi dan partai politik memiliki alat kontrol yang mengerikan bagi para legislator, yaitu pergantian antar waktu (PAW). PAW selama ini lebih sering digunakan untuk “menertibkan” anggota DPR yang tidak sendiko dawuh pada kehendak fraksi dan keinginan para petinggi partai politik. Dengan besarnya kekuasaan para petinggi parpol melalui “tangan-tangan” fraksi di DPR yang lebih sering mengarahkan bahkan menentukan suara anggota DPR, maka wakil rakyat sesungguhnya kehilangan ruh paling esensialnya sebagai wakil rakyat.

Dalam situasi demikian, rakyat tidak mungkin memasrahkan bulat-bulat suaranya kepada wakil rakyat. Konstituen di setiap daerah pemilihan harus menyediakan pengawasan rakyat (popular control) yang memadai kepada wakilnya. Kontrol publik harus sama kuatnya, atau bahkan lebih, dengan kuasa elit parpol melalui fraksi dan mekanisme PAW.

Publik harus mengawasi sesering mungkin perilaku politik (political behavior) para anggota dewan untuk memastikan, bahwa setiap fungsi politik yang mereka jalankan, di ranah legislasi, anggaran, dan pengawasan, betul-betul merepresentasikan daulat rakyat, bukan daulat elit. Jika para politisi bermaksud melakukan revisi UU KPK, rakyat harus mengawal bahwa politik legislasi di balik itu adalah untuk meningkatkan kinerja KPK untuk mewujudkan mimpi rakyat tentang Indonesia yang lebih bersih dan sejahtera. Publik tidak boleh diam jika revisi itu menumpulkan KPK, dan pada akhirnya menyelamatkan para elit itu dari jangkauan due process of law yang dilakukan KPK.

Jika mereka melaksanakan fungsi anggaran, kita harus pastikan itu semua demi pembangungan, bukan untuk menyediakan dana tunai bagi parpol melalui proyek-proyek kementerian seperti yang sering kita saksikan dalam sepuluh tahun terakhir. Jika mereka melakukan pengawasan, rakyat harus menjamin hal itu berorientasi untuk mencegah penyelewengan proyek eksekutif, bukan untuk membalaskan dendam politik para elit, apalagi untuk menjegal agenda kerakyatan dalam program-program pemerintah.

Jika rakyat gagal menyediakan kontrol publik yang memadai, maka kita sesungguhnya sedang membiarkan wakil rakyat menjemput “kematiannya”. []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun