Mohon tunggu...
Abdul Hakim El Hamidy
Abdul Hakim El Hamidy Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Konsultan Penerbitan, Trainer, dan Motivator

Akrab disapa Aa Hakim. Adalah seorang penulis yang telah menerbitkan 30+ buku berbagai genre. Ia juga merupakan Co-Writer dan Ghost Writer dari buku "Hujan Safir", Meyda Sefira; "Gelombang Yunus" Asyirwan Yunus (Wakil Bupati Lima Puluh Kota 2010-2015); "Repihan Pendidikan", Irfendi Arbi; dan "Empat Pilar Pembangunan Kabupaten Solok". Selain menjadi penulis, penulis pendamping dan penulis bayangan, ia juga adalah trainer dan motivator yang telah berbicara pada ribuan peserta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Fenomena "Penganggur Muda dan Terdidik"

28 Juli 2022   00:02 Diperbarui: 28 Juli 2022   09:06 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: www.anakteknik.co.id

Suatu hari ada yang menginbox saya di akun FB lama yang sudah saya delete.

“Aa, ada kerjaan untuk saya? Tolong cariin kerja ya!”
“Koq minta kerja sama saya? Buat saja lapangan kerja sendiri. You ini sebenarnya pinter. Apalagi You jurusan bahasa Inggris. Bisa ‘kan buat kursus bahasa Inggris atau privat, dan lain lain."
“Aa, saya ini serius. Tolong cariin kerja buat saya.”
“Saya juga serius.”
“Tolonglah Aa..!”
“Ok. You mau nggak saya kasih kerjaan yang you nggak pakai modal duit?”
“Mau, mau Aa. Kerja apaan tuh Aa?”
“Memasarkan buku-buku saya. Nanti dapat fee lho kalau buku-bukunya terjual.”
“Ah, kalau jualan saya nggak berbakat, Aa.”
“Ya, kalau begitu, berarti belum ada lowongan kerjaan untuk You. Itu yang bisa saya kasih peluang kalau you mau bekerja.”

“Ya udah, Aa. Terima kasih sebelumnya ya.”

Demikianlah dialog saya dengan salah seorang sarjana. Ternyata gelar sarjana tidaklah menjamin seseorang untuk memiliki keberanian keluar dari kotak  Bahkan, ia hanya sibuk menunggu nasib saat lamaran demi lamaran yang ia layangkan tak kunjung ada panggilan atau saat lamaran pekerjaan ditolak. Selayaknya, seorang sarjana sebagai seorang intelektual, dengan proses yang panjang untuk mendapatkannya, memiliki mindset yang luwes, kreatif, dan inovatif. Adalah sebuah kenyataan, jumlah lapangan pekerjaan tidak seimbang dengan jumlah lulusan sarjana yang jika diakumulasikan dalam sekali lulusan dapat mencapai ratusan dan bahkan mungkin ribuan.

Menciptakan lapangan kerja sama halnya dengan turut serta membantu pemerintah. Tangan-tangan terampil lulusan perguruan tinggi sangat dibutuhkan pemerintah saat ini. Mengapa? Karena peluang kerja dari pemerintah tentu terbatas, atau lowongan pekerjaan tersedia tapi tidak sesuai dengan kualifikasi pekerjaan.

Fenomena “pengganggur muda dan terdidik” ini juga menjadi bahan kajian dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Titik Handayani dari pusat LIPI dalam penelitiannya yang bertajuk Relevansi Lulusan Perguruan Tinggi di Indonesia dengan Kebutuhan Tenaga Kerja di Era Global, dimuat pada Jurnal Kependudukan Indonesia Vol. 10 No. 1 Juni 2015, mengungkap sejumlah sarjana pencari kerja bisa menganggur.

Pertama, lulusan perguruan tinggi tidak sesuai dengan kebutuhan. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa tantangan ketenagakerjaan di era globalisasi adalah minimnya kesempatan kerja produktif akibat ketidakstabilan dan volatilitas ekonomi global. Tren pertumbuhan penganggur muda dan terdidik merupakan indikasi dari hal ini. Inilah salah satu alasan mengapa banyak lulusan yang menganggur. Berbagai faktor yang memengaruhi tingginya angka pengangguran antara lain: Terbatasnya kesempatan kerja. Kualifikasi yang tidak memadai. Kurangnya kemandirian pencari kerja untuk berwirausaha.

Kedua, efek inovasi teknologi. Terlebih lagi, situasi ini diperburuk oleh perubahan struktural, tidak hanya dalam perubahan demografis tetapi juga dalam efisiensi tenaga kerja karena inovasi teknologi, fragmentasi geografis, dan jembatan rantai global. Apalagi, era globalisasi menyebabkan mobilitas tenaga kerja antar negara semakin meningkat. Hal ini membuat persaingan semakin ketat, tenaga kerja asing akan dengan mudah masuk dan bekerja di Indonesia sesuai dengan kualifikasi dan keterampilannya. Akibatnya, kesempatan kerja yang tersedia di dalam negeri akan diisi oleh tenaga kerja asing yang jauh lebih siap daripada tenaga kerja Indonesia dalam hal kualitas, profesionalisme dan keterampilan. Isu-isu tersebut adalah isu-isu yang terkait dengan kesempatan kerja di era global dari aspek demand atau permintaan tenaga kerja.

Ketiga, minimnya lulusan sarjana yang berkualitas. Pada saat yang sama, masalah pasokan, kualitas tenaga kerja dan populasi kerja di Indonesia masih terbatas. Ini juga merupakan jawaban atas pertanyaan mengapa sarjana kesulitan mencari pekerjaan. Pihak Pemerintah dan swasta telah melakukan berbagai upaya untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas melalui pendirian Perguruan Tinggi (PT). Namun, perluasan perguruan tinggi baru di Indonesia tidak disertai dengan penyediaan infrastruktur yang memadai, bahkan ada kesan berorientasi profit. Kondisi ini hanya akan menambah jumlah lulusan yang minim kualitas. Hal ini juga yang menyebabkan banyak lulusan yang menganggur. Pasar tenaga kerja global yang ditandai dengan integrasi tenaga kerja antar negara, dan bersamaan dengan munculnya jenis pekerjaan baru sejalan dengan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi, juga meningkat untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat. Demikianlah beberapa alasan mengapa banyak sarjana yang menganggur sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa sarjan sulit berjodoh dengan pekerjaannya.

Jika saya boleh menambahkan lagi satu penyebab lain. Pekerjaan yang diperoleh berbenturan dengan sisi kebutuhan yang tak terelakkan. Oleh karena itu, boleh jadi seorang lulusan perguruan tinggi awalnya bekerja di sebuah institusi, namun ketika ia telah berkeluarga dengan tanggung jawab yang besar untuk menghidupi istri dan anak-anaknya, ia harus memutuskan untuk resign, karena gaji yang ia peroleh tidak mencukupi kebutuhan. Istilahnya, besar pasak daripada tiang.

Ini pulalah yang saya alami. Saya pernah menjadi dosen luar biasa di perguruan tinggi dan menjadi tenaga honorer di beberapa sekolah dan pesantren, namun  saya lepas (resign) setelah berkeluarga, karena kebutuhan tak seimbang dengan jumlah penghasilan. Saya anggap sekian tahun mengajar sebagai bentuk pengabdian dan upaya mengaplikasikan ilmu yang saya peroleh.

Keputusan “gila” saya ini juga sejatinya banyak disesalkan oleh beberapa teman saya dan bahkan oleh keluarga. Namun, hidup terus berjalan dan kebutuhan tidak dapat direm/ditahan. Beruntung, teman-teman saya sesama sarjana banyak yang lulus PNS, baik melalui jalur tes maupun pendataan. Gaji tetap dengan ditopang oleh tunjangan dan sertifikasi. Tentu, jika memilih hidup sederhana dengan mengutamakan pendidikan anak-anaknya, gaji tersebut sudah dapat menyejahterakan kehidupan.

Saya adalah Sarjana Pendidikan Bahasa Arab. Namun, saya dapat dibilang “Sarjana Nyasar”. Setelah memutuskan resign, saya justru bergelut di dunia penulisan-penerbitan dan secara spesifik di dunia editing yang justru banyak bergelut dengan bahasa Indonesia yang bukan jurusan saya. Saya dihadapkan kepada tantangan harus terus mengikuti perkembangan bahasa. Sebagai contoh, dulu dikenal dengan EYD (ejaan yang disempurnakan), sekarang berkembang menjadi EBI (ejaan bahasa Indonesia). Hingga kini, saya masih terus belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Oleh karena itu, para sarjana jangan sampai menjadi “penganggur terdidik”. Mereka harus segera mengambil keputusan untuk bekerja apa pun dan menjadi apa pun. Jika belum dapat menciptakan lapangan kerja untuk orang lain, mereka harus mampu menciptakan lapangan kerja minimal untuk dirinya sendiri.

Terus menggali potensi menjadi sebuah kemestian, karena roda ekonomi terus berjalan. Tidak ada salahnya menjadi pengusaha atau sementara berjualan di pinggir jalan. Jika takdir berpihak, untuk sekian tahun ke depan Anda, wahai Sarjana, dapat memiliki ribuan karyawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun