Ini pulalah yang saya alami. Saya pernah menjadi dosen luar biasa di perguruan tinggi dan menjadi tenaga honorer di beberapa sekolah dan pesantren, namun saya lepas (resign) setelah berkeluarga, karena kebutuhan tak seimbang dengan jumlah penghasilan. Saya anggap sekian tahun mengajar sebagai bentuk pengabdian dan upaya mengaplikasikan ilmu yang saya peroleh.
Keputusan “gila” saya ini juga sejatinya banyak disesalkan oleh beberapa teman saya dan bahkan oleh keluarga. Namun, hidup terus berjalan dan kebutuhan tidak dapat direm/ditahan. Beruntung, teman-teman saya sesama sarjana banyak yang lulus PNS, baik melalui jalur tes maupun pendataan. Gaji tetap dengan ditopang oleh tunjangan dan sertifikasi. Tentu, jika memilih hidup sederhana dengan mengutamakan pendidikan anak-anaknya, gaji tersebut sudah dapat menyejahterakan kehidupan.
Saya adalah Sarjana Pendidikan Bahasa Arab. Namun, saya dapat dibilang “Sarjana Nyasar”. Setelah memutuskan resign, saya justru bergelut di dunia penulisan-penerbitan dan secara spesifik di dunia editing yang justru banyak bergelut dengan bahasa Indonesia yang bukan jurusan saya. Saya dihadapkan kepada tantangan harus terus mengikuti perkembangan bahasa. Sebagai contoh, dulu dikenal dengan EYD (ejaan yang disempurnakan), sekarang berkembang menjadi EBI (ejaan bahasa Indonesia). Hingga kini, saya masih terus belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Oleh karena itu, para sarjana jangan sampai menjadi “penganggur terdidik”. Mereka harus segera mengambil keputusan untuk bekerja apa pun dan menjadi apa pun. Jika belum dapat menciptakan lapangan kerja untuk orang lain, mereka harus mampu menciptakan lapangan kerja minimal untuk dirinya sendiri.
Terus menggali potensi menjadi sebuah kemestian, karena roda ekonomi terus berjalan. Tidak ada salahnya menjadi pengusaha atau sementara berjualan di pinggir jalan. Jika takdir berpihak, untuk sekian tahun ke depan Anda, wahai Sarjana, dapat memiliki ribuan karyawan.