Mohon tunggu...
Jermi Haning
Jermi Haning Mohon Tunggu... Mahasiswa -

it is not about what you know, it is more about what you can tell (write)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pejabat Bagi-bagi Lahirkan Generasi Peminta-minta

7 Maret 2018   09:34 Diperbarui: 7 Maret 2018   10:03 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
nasional.kompas.com

Saya sedikit anti dan tersinggung kalau ada pejabat publik yang bagi-bagi uang publicy. Menurut saya itu penghinaan, atau kalau lebih halus itu strategi membangun ketergantungan dan membangun image bahwa dia baik. Padahal sebetulnya pejabat tsb gagal memahami perannya.

Sang pejabat sudah diamanati dengan jabatan, anggaran, fasilitas dan personel untuk melaksanakan berbagai pogram guna mengentaskan kemiskinan. Kalau dia sukses, harusnya tidak ada lagi bagi-bagi uan/barangg publicly karena sudah tidak ada kemiskinan.

Tetapi karena dia tidak mampu, maka dia bagi-bagi sebagai strategi untuk menutupi kegagalannya. tanpa sadar, dia menempatkan rakyat sebagai peminta-minta. Dan, bukankah bagi-bagi itu bisa dilakukan oleh siapa saja, bahkan anak kecil? Lalu, apa guna miliaran  rupiah untuk melahirkan seorang pejabat negara kalau hanya bisa bagi-bagi?

Bagi-bagi itu tidak baik manakala tidak jelas peruntukannya. Sebagai orangtua atau paling tidak kita pernah kecil dan kita diajari bahwa uang itu tidak selamanya baik. Anak kecil tidak boleh memiliki uang yang berkelebihan alias secukupnya. Orang tua yang sayang akan anaknya akan mengajarkal hal ini. Biasanya orang tua menerapkan aturan yang berbeda: si adik yang mungkin belum sekolah mendapat lebih sedikit uang dari pada si kakak.

Sudah terbukti banyak anak gagal dalam pendidikan bahkan kehidupan karena ketidaktepatan alokasi uang oleh orang tua. Banyak juga kisah anak-anak disayangi (baca: dimanja) oleh orangtua dengan duit tapi gagal karena kurang kasih sayang. Sebaliknya banyak anak yang sukses karena sangat paham bahwa dibalik uang ada keringat dan pengorban sehingga peruntukannya tidak boleh asal. Dan bahwa untuk memperolehnya diperlukan kerja keras, bukan minta-minta.

Banyak studi terkait program pemberdayaan masyarakat termasuk pemberian bantuan langsung tunai (BLT) membuktikan bahwa analogi ini benar. Banyak bantuan yang tidak tepat berakhir tidak jelas. Akibatnya pengentasan kemiskinan terus tidak efektif. Ada penerima yang memperoleh terlalu sedikit dan ada penerima yang memperoleh terlalu banyak dari semestinya, dan ada penerima yang tidak seharusnya menerima bantuan.


Sedihnya, banyak dana pemberdayaan itu dilihat sebagai 'uang gratis': tidak perlu serius mengelola dan tidak perlu dikembalikan. Hal ini membudaya akibat ketidakeriusan pemerintah dalam mengelola dana pemberdayaan. yang salah tetap dibiarkan salah tanpa penegakan hukum. Yang tidak serius mengelola bantuan terus saja diberi bantuan.

Ketidaktepatan alokasi adalah salah satu kunci gagal/sukses program pemberdayaan masyarakat. Tetapi juga karena masyarakat melihat dana semacam itu sama seperti uang yang dibagi-bagikan para pejabat. Banyak pejabat bangga bagi-bagi uang tetapi sesungguhnya itu menyesatkan karena melahirkan ketergantungan.

Ada satu study baru yang menemukan bahwa budaya bagi-bagidi banyak negara di Asia/Afrika adalah salah satu penyebab kemiskinan. Sebaliknya study ini menemukan bahwa budaya kerja keras, menabung dan berharap pada diri sendiri adalah penyebab kemajuan barat. Di Asia/Afrika itu bukan hanya kaya dengan sumber daya alam, tetapi juga kaya dengan bantuan.

Namun, dampaknya kemiskinan manusia tetap menjadi momok berkepanjangan karena ketergantungan yang luas pada bantuan pemerintah. Dedangkan di barat itu, khususnya yag terletak di kutub utara itu masa kerja biasanya hanya enam bulan, selebihnya musim dingin. Sehingga orang barat harus kerja keras selama enam bulan agar tetap bisa bertahan hidup saat musim dingin tiba. Budaya ini kemudian membentuk ornag barat menjadi tangguh, terbiasa menabung dan mandiri.

Benar juga bahwa barat yang maju itu mengadopsi prinsip 'welfare state'. mereka yang tidak mampu secara fisik, tidak mempunyai penghasilan dan/atau tidak memiliki penghasilan yang layak itu mendapat bantuan dasar dari negara. Kebijakan ini mirip dengan amanat UUD1945 bahwa fakir miskin dan anak terlantar ditanggung oleh negara.

Maka, kita mengenal berbagai program untuk ini sepeti bantuan langsung tunai (BLT), bantuan beras miskin (RASKIN), kartu indonesia sehat (KIS), kartu indonesia pintar (KIP), program keluarga harapan (PKH), bantuan rehabilitasi rumah, pemberian makanan tambahan bagi anak sekolah, dll.

Anggaran semua program ini dari APBN/D dan adalah amanat undang-undang. Program-program ini tidak diberikan sesuai dengan selera pribadi pejabat tertentu. Artinya, dasar pemberian, penerima manfaat dan konsekuensinya itu sangat jelas, bukan asal bagi-bagi di jalanan.

Namun pandangan saya mengenai bagi-bagi ini sedikit gugur manakala bagi-bagi uang itu punya peruntukan yang jelas dan terutama dalam rangka mendidik. Saya pernah membaca kisah seorang hakim yang dengan berat hati menghukum denda seorang nenek yang melakukan kesalahan. Si nenek ini sangat tidak mampu untuk membayar denda.

Namun demi keadilan maka hukum harus ditegakan. Tetapi kisah ini berubah menjadi haru saat si hakim yang mengambilalih beban si nenek. Dengan memakai uang pribadi, si hakim membayar denda yang ia sendiri kenakan pada si nenek. Bagi-bagi uang pribadi disini adalah untuk menegakan hukum. Kembali lagi, bahwa semuanya harus punya dasar legal.

Inilah edukasi dan contoh yang seharusnya diikuti oleh para politisi kita. bahwa kalau tidak kerja, maka tidak makan. bahwa kalau salah, maka hukuman adalah tuaiannya dan kalau benar, maka upah menanti. Bahwa hidup ini punya sisi rewards, juga sisi punishment. Demikian juga kepemimpinan itu punya sisi rewards dan sisi punishment.

Mereka yang salah itu dihukum dan mereka yang benar itu diberi rewards. Seperti hakim di atas, pemimpin bisa saja bagi-bagi, asalkan itu amanat publik dan harus siap kerja keras. Bagi-bagi cukup menjadi perangsang untuk kerja-keras, bukan strategi utama survival. Seorang pemimpim tidak takut dibenci dan tidak taku tidak dipilih saat pilkada karena tidak bagi-bagi. Jika tidak kegagalan itu sdh pasti.

Ada yg mengatakan bahwa pejabat yang gagal adalah yang mencoba menyenangkan semua orang. Pejabat ini tidak punya arah, ia terombang-ambing bagaikan sebongkah kayu kering di tengah lautan. Tidak jelas target/sasaran yang hendak ia capai.Demikian juga dengan kekuasaan, mereka yang sudah gagal adalah yang mencoba meraih kekuasaan dengan membanjiri pemilih dengan bagi-bagi.

Faktanya, saat kampanye, banyak politisi yang suka pura-pura. Pura-pura membenarkan kesalahan masyarakat demi pesta suara saat pilkada namun kemudian dengan tega menistai janji sendiri. Yang lebih jahat lagi adalah pejabat yang memberi janji surga tanpa memahami kemampuan dia (baca: APBN/D dan regulasi) untuk memenuhi janjinya.

Mereka ini bukan pemimpin, entalah apa nama yang tepat untuk mereka. Mungkin bisa disapa pemimpi, kalau sapaan pemimpin penyogok terlalu kasar. Mereka inilah politisi yang bisanya bagi-bagi; bagi-bagi jabatan, bagi-bagi proyek dan bagi-bagi fasilitas publik lainnya. Mereka bukan pemimpin yang percaya bahwa diujung rotan ada emas'.

Pejabat bagi-bagi itu tipe politisi instant yang 'tidak mau sakit terlebihi dulu agar bisa senang kemudian'. Silakan ditelurusi, bisa jadi mereka ini kaya karena mewarisi harta orangtua yang berlimpah tanpa kerja keras atau kaya karena bisnis yang tidak jelas ujung-pangkalnya. Maka wajar kalau kerja keras bukan nilai mereka.

Fokus sekarang adalah menciptakan imgae baik demi jabatan. Sehingga mereka akan fight by hook or crook alias menghalalkan segala cara. Jabatan melahirkan pejabat machiavellians: pejabat yang kelihatan baik tapi sebetulnya tidak. Karena yang mereka bagi-bagi saat berkuasa itu adalah sumber daya publik, bukan milik pribadi. Itu adalah uang (baca pajak) rakyat yang dibagi-bagi seakan-akan itu pemberiannya.

Mungkin mereka cukup disapa pejabat bagi-bagi, bukan pemimpin. Mereka hanya bisa memikirkan kemenangan di pilkada, bukan masa depan generasi pasca pilkada.  Pilkada yang dimenangi pejabat bagi-bagi akan melahirkan  generasi peminta-minta.

null

null

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun