Hari Anak Nasional seharusnya menjadi perayaan tentang harapan, perlindungan, dan masa depan anak-anak Indonesia. Namun, di balik seruan gembira dan jargon-jargon optimis, masih ada sekat realitas yang tak bisa diabaikan: anak-anak marjinal yang hidup di pinggiran---baik secara sosial, ekonomi, maupun geografis---masih bergelut dengan mimpi yang sangat mendasar: hak untuk bisa sekolah.
Sebagai relawan di Komunitas Sekolah Marjinal Yogyakarta, saya menyaksikan langsung wajah-wajah kecil yang haus akan pendidikan, tapi tak memiliki akses yang layak untuk menjangkaunya. Bukan karena mereka tak punya semangat, melainkan karena sistem yang belum sepenuhnya berpihak. Mereka hidup dalam lilitan kemiskinan, keterasingan, dan stigma. Beberapa di antaranya harus membantu orang tua bekerja sejak pagi, atau berpindah-pindah tempat tinggal karena tak memiliki rumah tetap. Sekolah bagi mereka bukan rutinitas, tapi kemewahan.
Anak-anak ini tidak hadir dalam statistik gemilang yang sering digaungkan dalam laporan pemerintah. Mereka adalah bagian dari "Indonesia yang tak terlihat", yang jarang masuk dalam panggung nasional, kecuali saat menjadi korban atau angka.
Hari ini, kita tidak hanya dituntut untuk merayakan anak-anak yang berhasil, tetapi merenungi mereka yang tertinggal. Pendidikan bukan sekadar hak konstitusional, tapi juga instrumen paling dasar untuk memutus rantai ketidakadilan.
Pendidikan alternatif seperti yang dilakukan Sekolah Marjinal bukan hanya tentang mengajar baca tulis. Ia adalah bentuk perlawanan, bentuk cinta, dan keberpihakan pada kemanusiaan. Kami tidak sedang menggantikan peran negara, tapi mengisi ruang kosong yang terlalu lama dibiarkan hampa.
Momentum Hari Anak Nasional harus menjadi pengingat keras bahwa anak-anak marjinal bukan beban, tetapi potensi yang tertunda. Mereka tidak butuh belas kasihan, tapi keberanian kita semua untuk membuka akses, menciptakan kebijakan yang inklusif, dan memanusiakan mereka sepenuhnya.
Karena merayakan Hari Anak bukan hanya soal senyum anak-anak yang bersekolah, tetapi juga soal mereka yang masih terdiam di balik pintu rumah kayu, berharap esok bisa belajar, walau hanya satu jam, satu buku, satu guru.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI