4. Setelah Banjir:
Dalam Al-Qur’an, kisah berakhir dengan penyelematan orang beriman, dan bumi menjadi bersih dari kaum yang zalim. Tidak ada cerita negatif tentang Nuh setelah itu, dan beliau disebut dengan penuh kemuliaan di banyak surat.
Dalam Al-Kitab, setelah banjir, Nuh menjadi petani, menanam anggur, dan mabuk (Kejadian 9:20–21). Dalam kondisi mabuk dan telanjang, anaknya Ham melihatnya, dan kemudian Ham dikutuk. Ini adalah bagian yang menuai kritik moral.
Kesimpulan: Al-Qur’an menjaga kehormatan kenabian Nuh, sedangkan Al-Kitab memuat kisah yang berpotensi merusak citra kenabian.
Penutup:
Kisah Nabi Nuh AS dalam Al-Qur’an adalah kisah dakwah panjang, kesabaran luar biasa, ujian keluarga, dan kemuliaan akhlak nabi.
Sedangkan dalam Al-Kitab, kisah Nuh lebih seperti narasi sejarah purba, dengan tekanan pada keselamatan fisik dan sisi teknis peristiwa, tanpa banyak dimensi spiritual.
Kesimpulan utama:
Al-Qur’an menyampaikan kisah Nabi Nuh dengan pesan moral, tauhid, dan keteladanan spiritual yang kuat, sedangkan Al-Kitab lebih bersifat naratif historis yang kurang fokus pada pesan akidah.
Jelas kan, bahwa Al-Qur'an tidak menjiplak, tapi menyampaikan versi yang khas dan lebih kuat nuansa dakwah serta pelajaran moral-spiritualnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI