Betapa luas kasih-Mu, ya Allah,
sementara hatiku kerap sempit oleh keluh.
Sejak fajar membuka mata,
setiap hembusan napas adalah anugerah-Mu,
denyut jantung adalah karunia-Mu,
dan setiap langkah tak lepas dari tuntunan-Mu.
Rahmat-Mu terus mengalir deras,
namun sering aku lalai menampungnya dalam syukur.
Lidahku kaku untuk memuji,
hatiku beku untuk berterima kasih.
Kucoba menghitung nikmat-Mu,
tapi tak pernah mampu kuselesaikan.
Syukurku hanyalah butir pasir,
sementara nikmat-Mu seluas samudera.
Sungguh aku malu, ya Rabb,
sebab ma’siatku lebih sering,
kelalaianku lebih banyak daripada ingat.
Engkau telah berfirman:
"Jika kamu menghitung nikmat Allah,
niscaya kamu takkan mampu menghitungnya."
(QS. Ibrahim: 34)
Ayat itu mengetuk jiwaku.
Di setiap doa aku meminta,
di setiap hajat aku merintih,
di setiap takut aku merayu.
Namun ketika Engkau beri, aku sering lupa.
Ketika Engkau kabulkan, aku mudah lalai.
Betapa kecil diriku di hadapan-Mu,
betapa hina bila Engkau menutup pintu ampunan.
Ya Rabb,
andaikan Engkau membalas setiap kelalaian,
niscaya binasalah aku tanpa sisa.
Jika Engkau menutup jalan ampunan,
tak ada lagi harapan bagi jiwa yang lemah ini.
Namun Engkau penuh kasih,
selalu membuka jalan taubat,
meski aku datang berulang kali,
membawa dosa yang sama.
Hari ini aku bersujud panjang,
menyeka air mata penyesalan.
Aku ingin sujudku bukan sekadar gerakan.
Aku ingin syukurku bukan hanya kata.
Aku ingin dzikirku benar-benar hidup,
bukan sekadar bunyi di bibir.
Ampunilah langkah yang tersesat,
ampunilah hati yang lalai,
ampunilah jiwa yang rapuh.
Maka lirih kuucap doa:
“Ya Allah, ampunilah dosaku yang lalu dan yang akan datang,
yang kuperbuat dalam terang maupun dalam sepi.
Jadikan aku hamba yang pandai bersyukur,
tabah dalam sabar,
dan istiqamah dalam taat.
Terimalah sujudku yang lemah ini,
dan jadikan sisa umurku penuh syukur dan ampunan.”
Karena hanya kepada-Mu aku kembali,
dalam kasih-Mu aku berharap,
dengan rahmat-Mu aku ingin tenang,
dan dalam ampunan-Mu aku ingin pulang.