Mohon tunggu...
Haiqal Arifianto
Haiqal Arifianto Mohon Tunggu... -

Mahasiswa FISIP UIN Jakarta .. aktif di Forum Kajian Sosiologi (KASOGI) dan Indonesian Culture Academy (INCA)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Distorsi Politik Korbankan Masyarakat

9 Juni 2014   20:52 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:31 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: M. Haiqal Arifianto

Kita berada dalam masa kekosangan, caci maki, dan upaya pembentukkan opini oleh sebuah pihak dalam balutan pemilihan Presiden 2014. Setidaknya itulah sekelumit deskripsi yang bisa di rasakan oleh saya atau mungkin oleh orang yang peka dalam melihat situasi politis yang kuat dalam masa peralihan kekuasaan yang sebentar lagi akan kita hadapi. Entah menganggap ini terlalu berlebihan atau tidak, paling tidak inilah yang saya rasakan sehingga perlu rasanya menulis ini.

Pemilihan Presiden yang sebentar lagi akan kita hadapi dan masa kampanye yang sudah berlangsung sekarang ini tentu saja menjadi pembicaraan masyarakat di berbagai lapisan masyarakat. Tidak hanya pemain politik yang sibuk kesana-kesini demi meraih banyak dukungan, sekali lagi masyarakat di ajak atau mungkin di paksa untuk mencari pemimpin terbaik bangsa yang mampu membawa kebaikan Indonesia lima tahun kedepan setelah kita mencari wakil rakyat pada pemilihan umum pada 9 April lalu.

Kondisi inilah yang nyatanya harus di ambil oleh masyarakat kita,  gegap gempita politik sekali lagi tidak di iringi pendidikan politik yang mempuni. Lagi-lagi kepentingan kelompok dan basis ekonomi kuat menjadi panglima penentu kekuatan calon presiden.  Sehingga efek dari kondisi ini sangat signifikan terlihat dan terjadi dalam masyarakat kita.

Tentu saja terdapat efek domino yang terjadi dalam masa adu kekuatan politik (minim gagasan) pada perhelatan pilpres 2014.  Pertama, terjadi kekosangan pemerintahan ketika memasuki masa peralihan kekuasaan ini. Pemerintah seakan fokus pada pemilihan Presiden kali ini, seolah ingin mengamankan posisinya nanti dalam pemerintahan yang baru. Posisi mentri seakan kosong, meski Presiden SBY yang sebentar lagi habis masa jabatannya dengan cepat merotasi posisi menteri tapi akan sama saja hasilnya. Pergantian posisi menteri yang sebentar lagi selesai tidak akan optimal, apa yang ingin dilakukan ketika hanya sebentar saja menjadi menteri. Tentu saja hanya ingin mengisi kursi tanpa ada kinerja yang optimal, alasannya sederhana sebentar lagi akan di ganti seiring terpilihnya Presiden baru dan kabinetnya yang baru.

Kedua, kita seakan terjebak pada suasana caci maki. Ini juga merupakan dampak dari calon Presiden kita hanya Cuma dua pasangan setelah disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Keberpihakan terhadap calon presiden semakin terlihat, Capres kandidat no 1 atau 2. Kedua kubu pun akan semakin jelas memetakan lawan dan kawan meski dalam politik lawan dan kawan menjadi abstrak. Para pendukung dan simpatisan merupakan elemen yang memainkan peran penting dalam politik caci maki atau dalam bahasa Anas Urbaningrum “Sadisme Politik”. Metode politik ini sangatlah buming sehingga tak heran masyarakat pun larut dalam suasana caci maki tersebut. Menjatuhkan kubu yang satu untuk tidak lain tujuannya untuk meraup dukungan yang sebanyak-banyaknya.

Kemudian yang ketiga, adalah pembentukkan opini masyarakat dengan media yang menggiring informasi masyarakat ke arah yang di inginkan oleh media. Lagi-lagi masyarakat menjadi korban untuk melancarkan jurus-jurus politik masyarakatnya. Media banyak di tunggangi oleh kelompok politik demi mengamankan posisi dan kedudukan kelompok politik tersebut. Tidak heran bahwa dukungan seseorang dalam pendirian politiknya di pengaruhi dari media massa apa yang mereka konsumsi tiap harinya.

Media berperan besar dalam menentukan arah pendirian politik seseorang dengan menjual informasi sesuai permintaan client. Paling tidak itulah yang kian berkembang dalam kampanye politik Indonesia sekarang ini Peralihan metode signifikan. Adem ayem di keadaan nyata dan ramai di media sosial. Masyarakat lebih banyak menjangkau media masa sebagai bahan pembaruan informasi.

Setidaknya kondisi-kondisi tersebut yang disebutkan di atas akan terus berlangsung menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2014. Dan yang akan menjadi korban dari semua ini adalah masyarakat di masa peralihan kekuasaan. Sekali lagi masyarakat butuh pendidikan politik yang mempuni, bukan di jadikan alat untuk kepentingan politik semata.

Politik bukan sekedar kekuasaan, yaitu hidup untuk politik bukan hidup dari politik. (Max Weber)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun