Hak atas kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat merupakan salah satu hak paling dasar yang melekat pada diri setiap manusia. Di Indonesia sendiri, hak atas kebebasan berekspresi merupakan hak dasar yang sudah dijamin oleh konstitusi, tercantum dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
Pada masa lalu, platform untuk mengutarakan kebebasan berekspresi hanya bisa melalui medium yang konvensional, seperti koran atau pamflet. Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan teknologi, medium kebebasan berekspresi warga negara semakin meluas ke medium elektronik seperti radio, televisi, dan juga melalui jaringan internet.
Di era kemajuan teknologi digital yang semakin pesat, dunia maya menjadi tempat bagi miliaran warga dunia untuk mengekspresikan diri mereka. Di Indonesia sendiri, pada awal tahun 2024 lalu misalnya, ada lebih dari 220 juta pengguna Internet yang berada di tanah air (apjii.or.id, 7/5/2024).
Melalui sosial media, kita bisa melihat jutaan opini dan pendapat disampaikan setiap hari oleh para pengguna internet di Indoensia, atau yang umum disebut "netizen." Mereka menyampaikan dan mengutarakan opininya mengenai banyak hal, seperti isu politik, sosial, ekonomi, budaya pop, hingga kehidupan pribadi orang-orang tertentu, dalam bentuk berbagai format mulai dari kata-kata hingga video.
Salah satu bentuk ekspresi yang tidak jarang diutarakan oleh para pengguna internet dan media sosial di Indonesia adalah konten review makanan yang dijual oleh para pedagang dalam bentuk video, atau yang dikenal dengan nama food vlogger. Bila kita berselancar di dunia maya, kita bisa dengan mudah menyaksikan berbagai konten ulasan mengenai makanan di Indonesia.
Namanya saja ulasan, tentu tidak semua pandangan yang disampaikan dalam bentuk positif. Tidak sedikit pengulas makanan yang mengutarakan pandangan kritis mereka terhadap produk makanan dan minuman yang mereka konsumsi, seperti rasanya, tekstur, desain tempat makan, dan lain sebagainya.
Sebagaimana yang bisa diperkirakan, tidak semua pihak menanggapi fenomena kritikus atau pengulas makanan online tersebut secara positif. Tidak sedikit pihak yang mengungkapkan keresahan mereka terhadap pengulas makanan di dunia maya yang semakin hari semakin berkembang pesat.
Salah satu anggota komisi 6 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia misalnya, menyoroti fenomena banyaknya pengulas makanan online yang dianggap akan merugikan para pelaku usaha dan juga konsumen. Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan untuk mengambil langkah untuk menangani hal tersebut (kompas.com, 3/3/2025).
Tidak hanya itu, beberapa waktu lalu, tersiar kabar berita mengenai pelaporan yang dilakukan oleh salah satu pelaku usaha makanan terhadap komentar yang ditulis oleh seseorang melalui Google Review. Komentar tersebut dianggap berpotensi memberi dampak negatif terhadap pelaku usaha kuliner di Indonesia, dan maka dari itu pihak yang memberi komentar pantas untuk dilaporkan ke polisi (detik.com, 28/9/2024).
Sangat penting untuk diingat bahwa, kebebasan untuk menulis atau membuat konten ulasan makanan merupakan salah satu bentuk nyata kebebasan para konsumen untuk mengutarakan pendapat terhadap produk yang mereka pakai. Sebagai pihak yang telah mengeluarkan uang untuk menggunakan produk/jasa tertentu, tentunya para konsumen memiliki hak kebebasan berbicara untuk mengutarakan pandangannya.
Hak tersebut merupakan hak dasar yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar, dan harus dilindungi. Jangan sampai, ada konsumen yang, karena mereka merasa takut dipidana, sehingga mereka tidak berani untuk mengutarakan pendapat dan komentarnya mengenai produk barang atau jasa yang mereka gunakan.
Memang harus diakui, sebagaimana pengulas topik-topik lainnya, seperti topik terkait politik, kondisi ekonomi, dan lain-lain, tidak semua ulasan memiliki kualitas yang setara. Ulasan atau komentar yang diberikan oleh mereka yang memiliki keahilian misalnya, tentu akan jauh lebih berkualitas dan mendalam dibandingkan dengan komentar yang diberikan oleh orang biasa.
Tidak bisa dipungkiri juga bahwa, konsumen dan para pengulas juga merupakan manusia biasa, dan bukan tidak mungkin ada sebagian dari mereka yang memiliki niat baik untuk memberikan komentar atau ulasan yang sesuai dan berbobot. Bisa jadi, karena didorong oleh satu atau hal lainnya, pengulas kuliner tersebut memang dari awal memiliki niat tidak baik, atau memang menjadikan komentar negatif tidak berbobot sebagai citra publiknya untuk mendapatkan atensi dan uang.
Namun, bukan berarti lantas karena hal ini, menjadi tepat bagi pemerintah untuk turun tangan untuk mengatur bagaimana seorang konsumen bisa mengeluarkan atau mengekspresikan mengenai produk yang mereka beli dna gunakan. Bila pemerintah, misalnya dalam hal ini melalui Kementerian Perdagangan, sebagaimana yang disampaikan oleh salah satu anggota komisi 6 Dewan Perwakilan Rakyat, maka tentunya hal ini berpotensi bisa menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Bila ada pelaku usaha yang memang secara terbukti dirugikan karena adanya komentar yang terbukti tidak benar atau fitnah dari seseorang, maka sebaiknya hal tersebut ditempuh melalui jalur hukum perdata dan bukan pidana dengan melaporkannya ke polisi. Urusan terkait pencemaran nama baik misalnya, seharusnya diselesaikan secara pribadi melalui kesepakatan ganti rugi, dan bukan penjara.
Selain itu, terkait dengan mereka yang memang menjadikan konten ulasan makanan sebagai mata pencaharian, niscaya juga akan disaring oleh pasar, dalam hal ini oleh para penontonnya. Pembuat konten atau ulasan tulisan mengenai makanan yang tidak sesuai dengan yang semestinya misalnya, pasti seiring berjalannya waktu akan ditinggalkan dan karyanya tidak akan dibaca atau disaksikan oleh para pembaca atau penonton.
Sebagai penutup, hak konsumen untuk bebas mengeluarkan opini, pendapat, dan komentar mengenai pengalaman mereka menggunakan produk barang atau jasa tertentu meruapakan salah satu bagian penting dari kebebasan berbicara yang harus dilindungi, dan termasuk tentunya termasuk juga produk kuliner. Jangan sampai, kebebasan ini tercederai dengan adanya kejadian di mana konsumen yang memberi komentar atau opini ditangkap oleh aparat penegak hukum, sehingga hal ini bisa membuat banyak konsumen lainnya menjadi takut memberi komentar atau opini.
Referensi
https://apjii.or.id/berita/d/apjii-jumlah-pengguna-internet-indonesia-tembus-221-juta-orang
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI