Tak lama lagi langit akan berubah semburat jingga. Saat itu matahari berada di bawah cakrawala, di mana sinarnya menembus lebih banyak lapisan atmosfer Bumi. Itu menyebabkan cahaya matahari yang merambat akan menghamburkan spektrum warna jingga yang indah memenuhi angkasa.
Orang-orang menyengaja menuju suatu tempat agar leluasa menyaksikan sunset yang tiba sesaat. Bagi orang lainnya, matahari terbenam adalah sandikala. Peralihan waktu antara terang dan gelap.
Menjelang petang menuju batas terang dan gelap itu, Banu mempercepat langkah kaki, tak ingin tertinggal suasana saat mentari tenggelam di bawah ufuk. Seperti sebelumnya Banu akan duduk di sofa lembut, menyaksikan lanskap Kuta lewat dinding kaca lebar private villa di bukit Mandalika. Sudah tiga hari ini dia bersama Sandra menghabiskan waktu di pulau Lombok.
Jalan naik menuju perbukitan itu meskipun cukup landai, tetapi cukup menguras tenaga pejalan kaki. Banu mengisi waktunya berlari-laun sekadar melihat-lihat sekitar vila. Sekaligus menjaga kebugaran tubuh agar tak lemah di hadapan Sandra.
"Ayo mandi sana, sebentar lagi sunset. Aku tadi menelepon pengurus vila dan sudah dianterin wine terbaik mereka. Ini akan jadi malam paling romantis sebelum kau kembali ke Jakarta," kata Sandra setiba Banu di vila.
"Aku balik seminggu lagi," balas Banu.
"Hei, apa yang akan kau katakan pada Mbak Widia nanti, hampir 10 hari meninggalkannya. Mas, alasan meeting dan urusan kantor sudah klise, Mbak Wid akan curiga..."
Banu tersenyum, mendekati Sandra dan sejurus kemudian hendak merangkulnya. Sandra mengelak dengan wajah tak ramah namun tetap dengan gestur menggoda yang membuat senyum Banu semakin melebar.
"Aku serius Mas," ujar Sandra yang dibalas Banu dengan tingkah seperti remaja kasmaran sambil berjalan mundur menuju kamar mandi.
"Ah kau, mandilah cepat. Aku serius ingin tahu apa yang akan kau katakan pada Mbak Wid."
Selagi Banu membersihkan diri, Sandra menata meja yang dia pindahkan ke teras di balik dinding kaca tebal. Senja ini hingga malam, Sandra ingin menikmati suasana di teras vila saja. Rambutnya akan tertiup angin laut dan menerpa wajah Banu. Mengembalikan romantika lampau yang terhenti oleh jalan masing-masing.
Sepasang kekasih di antara batas gelap dan terang. Dunia yang kian hari kian samar, antara kenyataan dan kepalsuan, di tengah manusia yang takluk di dalam ruang-ruang gelap dan terang zaman baru. Teknologi semakin jauh melaju sementara kemanusiaan semakin diam tertinggal.
Interaksi antarmanusia di tengah kemajuan ini semakin runyam. Anak-anak muda tenggelam dalam mimpi perjudian digital. Para ibu yang baru kemarin sore melahirkan anak-anak mereka, tiba-tiba membuka diri di bilik-bilik media sosial. Suami istri membanting harga atas nilai rumah tangga mereka.
Sandra dan jutaan orang lain tak akan menyangka teknologi mesin dan dunia digital yang mereka kira mereka maklumi, sesungguhnya sangat jauh melampaui apa yang kita semua ketahui. Sebuah rahasia tersembunyi yang nanti akan disingkap oleh Banu.
Sementara Sandra, masih menata meja kayu di teras batu.
Dan ini waktu terakhir mereka di Lombok. Sandra sendiri harus kembali ke Bali tempat dia menetap selepas kuliah di Jakarta.
Banu dan Sandra satu kampus saat mereka di universitas. Keduanya bertemu kembali dan menjalin hubungan di mana Banu yang terus mencari cara mengelabui Widia. Sejak itu mereka semakin acap bertemu dan selalu di luar kota. Setidaknya Banu dan Sandra bertemu tiga hari atau paling lama empat hari dalam tiga bulan.
Sebuah perselingkuhan selalu saja dijalani dengan cara yang sama meski motif berbeda-beda. Akan tetapi perselingkuhan sudah pasti merenggut kebebasan. Sungguh aneh, perasaan merdeka yang berharga itu lebih sering direnggut oleh keinginan mengendalikan sesuatu, bukan oleh kontrol sesuatu pada diri manusia.
Sandra baru saja memikirkan perasaan merdeka dari belenggu perselingkuhan ini. Sudah lama dia menagih sikap Banu, meminta menemukan cara mengakhiri hubungan gelap itu dengan jalan yang lebih mulia.
Setiap ditanya perihal itu Banu selalu saja diam, lama. Kalau sudah seperti itu, canda gurau mereka biasanya akan terhenti. Keduanya jadi salah tingkah dan berakhir dengan pulang ke kota masing-masing. Atau Banu akan kembali ke Jakarta jika mereka bertemu di Bali. Oh, perselingkuhan yang ditempuh dalam waktu yang panjang selalu tak menemukan jalan pulang.
Tetapi baru kali ini Banu seakan-akan hendak memberi jawaban, sewaktu tadi Banu bersikap lebih enteng sambil tersenyum. Dalam hati Sandra berkata, tumben Banu mengatakan akan bersamanya lebih lama ketika diingatkan Banu sudah tiga hari meninggalkan rumah.
Di tengah gemuruh pikiran Sandra dengan asumsi-asumsi yang menggenangi otaknya, sekonyong-konyong Banu muncul. Merangkulnya dari arah belakang. Sandra gugup karena kali ini dia tiba-tiba tak ingin membalas kemesraan itu.
"Aku serius Mas. Apa yang akan kau katakan pada Mbak Wid..."
Sandra melonggarkan kedua tangan Banu yang menempel di pinggangnya. Tatapan mata keduanya menancap cakrawala yang merona di atas ufuk laut Kuta. Semburat yang kali ini berwarna lebih merah dari jingga.
"Oh hooo... nggak perlu sengit Dra. Sekarang aku dan kamu bisa bareng kapan saja, berdua berlama-lama. Bahkan selama-lamanya," Â kata Banu dengan wajah lebih serius daripada Sandra.
"Aku tak mau kau menceraikan Mbak Widia," balas Sandra.
"Aku tak melakukan itu. Aku cuma mau bilang selama-lama yang kita mau. Tak perlu lagi bikin jadwal tiga hari, empat hari. Lamaaaaaaaa.... kalau mau."
Widia diam. Dia tak tahu arah pembicaraan Banu.
"Begini Dra. Kau siap mendengar ini? Kalau siap, aku teruskan," ucap Banu lagi.
"Ini dimulai ketika aku meeting rencana project di New York. Sudah lama sekali, akhir tahun 90-an. Tahun 98, aku tak lupa. Aku juga mengajak Widia karena aku punya urusan lain selain rencana project itu. Tentu pada orang kantor aku punya alasan menambah waktu tinggal karena mengajak Widia," kata Banu yang disimak penuh hasrat oleh Sandra.
"Ini akan terdengar aneh Dra, tapi ini nyata. Kau tak akan menyangka mesin modern dan dunia digital yang kita kira kita sudah tahu semua perkembangannya ini, sesungguhnya sangat jauh melampaui apa yang kita semua ketahui. Jauh Dra, jauh sekali."
Sandra mengerut kening. Namun tetap antusias menyimak meski semakin tak tahu arah pembicaraan Banu.
"Usai meeting aku bertemu sebuah tim yang aku ketahui dari agen mereka di Jakarta. Kelompok ini berhasil melakukan human cloning. Mereka berhasil menciptakan organisme yang identik secara genetik. Mereka bikin manusia, Dra..."
"Saat akan bertemu mereka itu, aku meneninggalkan Widia di Guggenheim Museum. Dia ingin sekali melihat karya seni instalasi seniman Hongkong yang dipamerkan di museum itu. Ah, aku lupa nama seni yang dipamerkan itu. Mmmm...., ya, ya, Can't Help Myself. Itu namanya,"
"Aku memang tak mengetahui cerita di Guggenheim itu dari Widia. Widia tak menceritakan apa-apa yang dilihatnya. Aku tahu dari ulasan artikel yang aku baca di New York Times," kisah Banu yang membuat Sandra semakin bingung.
"Itu seni instalasi mengenai paradoks kehidupan manusia yang ingin digambarkan dua seniman Hongkong Su Yuan dan Peng Yu. Sebuah lengan robotik yang......"
Sandra menyela.
"Aku tahu Can't Help Myself. Apa hubungannya dengan Mbak Wid, apa yang akan kau katakan padanya....?"
"Aku meninggalkan Widia cukup lama di Guggenheim. Aku hendak menjadi bagian human cloning project kelompok itu, Dra. Tapi waktu itu, dua puluhan tahun lalu, aku batalkan. Dan Dra, baru belakangan ini aku sanggupi. Sudah berjalan lebih setahun. Aku punya kloning Dra...," cerita Banu dengan wajah sangat serius.
"Lalu kau meninggalkan kembaranmu bersama Widia di rumah, dan kau Mas, bisa ke mana saja  tanpa perlu membuat alasan apapun pada Mbak Widia, begitu Mas yang ingin kau katakan...? Nggak masuk akal Mas Banu, mengada-ada. Ayolah bicara yang serius...."
"Kau ingin bukti...?" balas Banu bersungguh-sungguh.
Sandra bergeming.
"Baiklah Dra, tapi sebelum aku tunjukkan bukti yang pasti akan membuat kau terkejut. Aku ingin mengatakan, aku bisa meninggalkan rumah cukup lama. Bisa sekitar dua mingguan. Setelah itu aku harus kembali memerika kloning terutama mencegah lowbatt. Kalau nggak, kloning akan mematung dan terdengar bunyi bip berkali-kali sampai kembali di-charge..."
Usai menjelaskan hal itu Banu kemudian memperlihatkan CCTV di rumahnya dari ponsel. Terlihat dirinya yang lain sedang menikmati makan malam bersama Widia di meja makan mereka di Jakarta. Banu berhasil meyakinkan Sandra video real-time itu.
Sandra tak mau percaya begitu saja, dia mencoba menelpon nomer ponsel Banu selain nomer yang selalu dia hubungi. Berdering. Dada Sandra berdegup kencang, membuat Sandra mematung sewaktu Banu yang lain itu menjawab telepon yang dia saksikan dengan mata kepala sendiri di video CCTV.
"Halo Pak, mmmhhhh baik Pak," jawab Banu yang lain itu di telinga Sandra, seperti gelagat Banu biasanya saat menjawab Sandra di nomor yang sangat jarang dia hubungi itu.
Sandra terkesiap..! Tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Lama dia memandangi laut yang gelap dengan tatapan kosong sebelum akhirnya mengatakan sesuatu pada Banu.
"Kau tega menipu Mbak Widia dengan cara sangat kejam seperti ini, Mas. Aku pulang ke Bali besok. Kau silakan di sini sendiri sampai kapanpun atau di mana aja yang kau kehendaki.... Aku pulang..."
Keduanya jadi salah tingkah dan berakhir dengan pulang ke kota masing-masing.
***
Banu menyesal telah mengungkap rahasia itu pada Sandra. Di taksi bandara yang mengantarnya menuju rumah dari Soekarno-Hatta, pikirannya gelisah. Bukankah lebih baik dia jalani saja waktu-waktu seperti semula, walaupun selama itu mereka merasa terbelenggu.
Banu menikmati hubungan intim bersama Sandra yang sama kualitasnya dengan kencan bersama Widia, namun dengan sensasi yang berbeda. Sensasi yang berlainan pada dua orang yang berbeda itu hanya karena kedalaman perasaan yang tak sama.
Hubungan seks bersama Widia terasa nikmatnya tiada henti di benak Banu meskipun sedang tak melakukannya. Sedangkan kenikmatan seks yang dibangun Banu bersama Sandra, terasa terus-menerus sampai mereka melakukannya kembali.
Ah, fantasi Banu berkelana kian kemari, tak disadari taksi yang mengantarnya pulang sebentar lagi akan tiba di rumah. Untuk sementara waktu Banu bisa melupakan Sandra. Tak lama mereka akan bertemu lagi. Kini Banu hendak kembali pada Widia.
Cukup lama Banu menunggu hari gelap untuk masuk ke dalam rumah. Dia telah menyiapkan pintu masuk untuk menggantikan dirinya kembali dengan Banu lain yang selama ini menenemani Widia. Lalu semua di dalam rumah itu berjalan normal kembali setelah dirinya yang lain disimpan di gudang tersembunyi.
Usai memeriksa rekaman aktivitas Banu yang lain selama ditinggal, Banu mengetahui semua peran dirinya dijalankan sangat normal dan natural. Banu merasa puas, dia lalu keluar dari gudang hendak menemui Widia yang sejak Banu tiba dilihatnya tertidur di kamar.Â
Berusaha membangunkannya dengan lembut. Mengusap tengkuk Widia perlahan-lahan seperti biasanya dia menginginkan hubungan intim apabila Widia lebih dulu menuju tempat tidur.
"Wid.... Widia....."
Widia tak bereaksi. Diam tak bergerak.
"Wid... Widia...."
Berkali-kali dia berusaha membangunkan Widia, tapi tetap saja istrinya diam mematung. Denyut di pergelangan tangan diperiksa, di sekitar leher, tak ada detak. Banu mencoba memaksa membuka mata Widia, kembali terkatup. sekali lagi Banu memeriksa denyut nadi... Astaga..... tak ada reaksi.
Tapi tubuh Widia masih terasa hangat. Bahkan lebih hangat dari biasanya.Â
Banu panik, semua organ tubuhnya terasa kaku, dan kini wajah Banu memucat. masih terus berusaha menggerakkan tubuh istrinya dengan kedua tangan. Widia diam mematung. Sama sekali tak bergerak.
Seperti tersambar petir, Banu benar-benar terperanjat bercampur tegang, perasaanya tak menentu. Samar-samar dia mendengar bunyi dari sekitar tubuh Widia. Banu semakin gugup, mencoba mendekatkan telinga ke arah dada Widia.
"Bip.... bip.... bip.... bip....."Â []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H