Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menhir di Sumatera Barat: Nisan dari Masa Islam atau Menhir Prasejarah?

22 April 2017   23:50 Diperbarui: 6 Desember 2017   11:41 5825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menhir di Sumatera Barat, Sumber: wisatasumbar.net

'Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati', sepenggalan kutipan dari ayat suci Al-Qur'an yang menyatakan bahwa setiap makhluk yang bernyawa, baik tumbuhan, hewan, dan manusia mau tidak mau akan mengalami suatu proses yang namanya 'kematian'. Dalam agama Islam, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian adalah sebuah jalan yang ditempuh oleh manusia untuk menuju suatu 'alam keabadian' yang disebut dengan 'akhirat'. Manusia yang telah mati-dalam wujud rohani-akan menerima balasan dari sang Pencipta dari apa yang diperbuatnya selama hidup di dunia. 

Manusia dengan kadar kebaikan lebih banyak dari kejahatan akan menerima ganjaran kenikmatan tiada terhingga dan dimasukkan ke dalam kampung Surga, sementara manusia dengan kadar kejahatannya lebih banyak dari kebaikan akan menerima ganjaran kesengsaraan dalam lembah berapi yang disebut neraka.

Adanya peristiwa alamiah kematian yang dipadu dengan ideologi mengenai ketuhanan (konsepsi religi) mewujudkan suatu kebudayaan yaitu: tata cara penguburan dan budaya bendawi seperti batu nisan. Jauh sebelum agama Islam, bahkan sejak permulaan peradaban manusia, manusia telah mengenal sistem penguburan. Di Indonesia pada masa prasejarah dikenal dua sistem penguburan, yaitu penguburan primer dan penguburan sekunder (Soejono, 1977). 

Penguburan primer (langsung) merupakan suatu cara penguburan di mana 'si mati' langsung dikuburkan di dalam tanah (atau tempat-tempat tertentu seperti sarkofagus, waruga, gua), baik dengan menggunakan wadah (seperti tempayan) atau tidak, dengan mayat diletakkan dalam berbagai posisi seperti berlipat, membujur, dimiringkan, atau mengarah pada orientasi tertentu. Sistem penguburan semacam ini berlaku juga dalam agama Islam, Kristen, Yahudi dengan berbagai perbedaan tata laksana.  

Penguburan Sekunder (tidak langsung) merupakan penguburan di mana tulang belulang atau abu 'si mayit' dikuburkan dengan dimasukkan dalam wadah baik dari tanah liat (tempayan) atau dari batu besar yang dipahat dalam berbagai bentuk sebagai wadahnya. 

Pada masa prasejarah di Indonesia, baik penguburan primer maupun penguburan sekuder disertai dengan bekal kubur seperti berbagai wadah dari tanah liat (tempayan, kendi, buli-buli, dan sebagainya), anting-anting dari perunggu, nekara, mata panah, beliung persegi, alat obsidian, manik-manik, pisau, dan koin. Jejak penguburan primer ditemukan di berbagai situs di Indonesia seperti di situs Padang Sepan, Bengkulu dan Situs Muara Payang (Indriasturi, 2010), situs Bawah Parit (Yondri, 2014), Situs Guguk (Triwurjani, 2016). Sementara itu, jejak penguburan sekunder ditemukan di situs kubur tempayan Lolo Gedang (Budisantosa, 2011), situs kubur tempayan Siulak Tenang (Budisantosa, 2015) dan berbagai situs lainnya di Indonesia. 

Van-Heekeren (1958) menyebutkan bahwa sistem penguburan pada masa prasejarah berhubungan dengan kebudayaan megalitik. Sebagai contohnya, di tengah lokasi situs kubur tempayan Muara Betung Sumatera Selatan ditemukan batu besar datar yang disebut Dolmen, Situs kubur Tempayan Lolo Gedang juga berasosiasi dengan tinggalan megalitik berupa batu Silindrik (Budisantosa, 2015). Contoh lain megalit-megalit dijadikan sebagai wadah menaruh mayat ataupun tulang belulang mayat seperti temuan sarkofagus di wilayah Pasemah dan Bali, maupun waruga di wilayah Sulawesi Utara. Namun, kebudayaan megalitik yang sangat berbeda dijumpai di wilayah Sumatera Barat. 

Kebudayaan megalitik yang paling menonjol di Sumatera Barat berupa menhir yang umumnya berbentuk seperti gagang keris atau pedang dengan berbagai ornamen (geometris, sulur-suluran) ataupun tanpa hiasan (polos). Situs-situs megalitik Sumatera Barat tersebar di wilayah 50 koto di antaranya Situs bawah parit, Situs Mahat, Situs Guguk, Situs Bukit Apar (lihat Triwurjani, 2016 dan Yondri, 2014) dan di wilayah Tanah Datar terdapat di situs Gudam (lihat, Miksic, 2004). Penelitian di situs menhir Bawah Parit berhasil menemukan tujuh rangka manusia pada kedalaman 125 cm hingga 195 cm di bawah menhir (Yondri, 2014). 

Data-data yang diungkapkan oleh Yondri dari hasil penelitian sangat menarik di antaranya: (1) rangka manusia yang terkubur merupakan ras Mongoloid; (2) adanya jejak liang lahat; (3) tidak ditemukan bekal kubur; (4) orientasi kepala ke arah barat laut sementara kaki ke arah tenggara. Yondri menyimpulkan bahwa sistem penguburan semacam ini sangat berbeda dengan sistem penguburan prasejarah di wilayah Indonesia lainnya bahkan sangat mirip dengan sistem penguburan Islam walaupun berbeda orientasinya (pemakaman Islam saat ini beriorientasi Utara-Selatan), Yondri berpendapat bahwa komunitas tersebut pada masa lalu pernah bersentuhan dengan kebudayaan Islam kemudian menyingkir ke pedalaman, mereka menyerap sistem penguburan yang ada dalam Islam. 

Hal serupa juga ditemukan oleh Triwurjani (2016) di Situs Guguk, Hasil ekskavasi berhasil menemukan dua rangka manusia ras Mongoloid pada kedalaman sekitar 160-180 cm di bawah menhir. Selain itu juga diungkapkan (1) adanya jejak liang lahat dalam penguburan, (2) rangka manusia dalam posisi terbujur dan dimiringkan dengan rusuk kanan berada di bawah, (3) tidak adanya bekal kubur, (4) orientasinya dalam arah barat laut-tenggara. Temuan ini sangat mirip dengan temuan di situs bawah parit yang mengindikasikan mirip sistem penguburan Islam. 

Rangka Manusia di Situs Guguk, Sumber: Triwurjani, 2016
Rangka Manusia di Situs Guguk, Sumber: Triwurjani, 2016
Dari data tersebut sangat jelas bahwa fungsi menhir di Sumatera Barat digunakan sebagai penanda makam atau nisan bahkan masyarakat setempat menyebutnya sebagai batu mejan (bahasa lokal untuk nisan). Namun, yang menjadi pertanyaan apakah makam tersebut merupakan makam Islam atau makam prasejarah? Dari data yang diungkapkan oleh Yondri (2014) di situs Bawah Parit dan Triwurjani (2016) di situs Guguk dan dengan membandingkan dari cara penguburan masa prasejarah yang ada di Indonesia, penulis berasumsi bahwa makam-makam yang ada di situs Bawah Parit adalah makam dari orang-orang Islam.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun