Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Catatan ke Tiga: Menyikapi Klaim Kepemilikan atas Gunung Kerinci

20 Februari 2018   12:38 Diperbarui: 20 Februari 2018   12:48 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya kira tulisan ke dua saya tentang masalah klaim kepemilikan atas Gunung Kerinci (lihat di sini) sudah sangat jelas dan tidak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lagi, jikalau dibaca dengan baik dan pikiran jernih. Tetapi kenyataannya tidak, melalui tulisannya yang ke dua, Giovani kembali memberikan tanggapan atas artikel saya tersebut (lihat di sini). Oleh sebab itu, melalui ulasan ke tiga ini saya akan memberikan penjelasan lebih lanjut dari tulisan-tulisan sebelumnya.

Pertama, masalah penamaaan "Gunung Berapi Hilir". Giovani tampaknya bersikukuh bahwa penamaan yang benar dari  Gunung Berapi adalah "Gunung Berapi Hilir".  walaupun faktanya di lapangan bahwa Gunung Berapi (Gunung Kerinci) posisi geografisnya tidaklah di hilir baik dilihat dari Kerinci mupun dari Solok Selatan. Gunung Berapi posisinya tetaplah di mudik (di hulu sungai) karena Batang Sangir yang melintasi wilayah Solok selatan berhulu di kaki Gunung Kerinci, begitu pula di wilayah Kerinci, Gunung Berapi posisinya juga di mudik karena hulu-hulu dari anak sungai yang bermuara di Batang Merao juga berada di sekitar kaki Gunung Kerinci. Jadi, gunung berapi Hilir yang dimaksud Giovani ini adalah gunung berapi yang mana?

Oleh sebab itu, dari fakta empiris di lapangan, saya berinterpretasi bahwa klausa "Sehingga kaki Gunung Berapi Hilir" yang tertulis dalam teks naskah TK 171 maksudnya adalah Gunung berapi ke arah hilir. Dalam hal ini Hilir yang dimaksud adalah hilir dari sungai-sungai yang ada di Kerinci mengingat naskah piagam ditujukan kepada Depati yang ada di Kerinci. Namun, disanggah oleh Giovani yang menyatakan bahwa jika benar yang dimaksud itu adalah Gunung Berapi ke Hilir, tentu seharusnya ditulis "Gunung Berapi (ke) Hilir (nya)". Kata "seharusnya" adalah murni dari subjektivitas Giovani tanpa didukung bukti yang jelas.

Kita tak dapat menyamakan tata bahasa atau tata penulisan yang digunakan oleh orang dari tiga abad yang lalu dengan tata bahasa yang digunakan oleh orang sekarang. Yang benar adalah kita melakukan interpretasi/penafsiran terhadap teks yang ada dengan didukung oleh data pembanding yang relevan seperti data etnografi dari komunitas adat setempat dan data geografis. Fakta di lapangan adalah Gunung berapi (Kerinci) posisinya tidak di hilir (muara sungai) seperti yang saya ungkapkan di paragraf ke dua. 

Disamping itu Giovani juga mekesampingkan Laporan dari kontrouler van Indrapura W.C. Hoogkamer tertanggal 31 Desember 1876 dalam Verhandelingen van Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten En Wetenschappen. Deel XXXIX yang menyebutkan Gunung Vulkanis di wilayah Kerinci dinamakan Gunung Berapi, Gunung Kerinci atau Puncak Indrapura. Gunung Berapi tanpa ada embel-embel hilir di belakang namanya sama sekali,

Kemudian, Giovani menampilkan teks cap Mohor #661 yang berbunyi begini " Menyerahkan rakyat hingga kaki Gunung Berapi hilir hulu dari Jambi mudik".  Teks cap mohor ini tidaklah salah, yang  keliru, orang yang membacanya.  Penulisan teks-teks Jawi umumnya tidak menggunakan tanda baca koma maupun titik. sehingga sangat perlu berhati-hati dalam membaca. Oleh sebab itu, untuk memahami pembacaan teks ini kita dapat meletakkan tanda baca koma antara kata hilir dan kata hulu sehinga dibaca "Hingga kaki Gunung Berapi Hilir, Hulu dari Jambi Mudik", (Hingga  Kaki Gunung Berapi ke Hilir, Hulu dari wilayah Jambi Mudik).

Sehingga teks ini menegaskan bahwa rakyat yang diserahkan oleh Sultan Abdul Jalil kepada Raja Jambi adalah rakyat Minangkabau yang berada di kawasan  Hilir Gunung Berapi, dan Hulu dari Jambi Mudik.  Untuk memahami peristiwa apa yang melatarbeakangi hal ini, saya menyarankan Giovani membaca buku berjudul "Hidup Bersaudara: Sumatra Tenggara Pada Abad ke XVII dan XVIII M" oleh Barbara Watson Andaya, edisi terjemahan, terbit tahun 2016. Yang jelas 'teks' cap mohor tersebut sama sekali tak menyebut pemberian lahan, tanah  kepada Sultan Jambi, tetapi menyerahkan rakyat yang berada dalam kawasan yang disebutkan dalam teks cap mohor. Itulah pentingnya membaca teks secara keseluruahan dan tidak dipenggal-penggal.

Terlebih lagi Giovani mengatakan "Pada Cap Mohor #669 jika mengikut pula pada interpretasi saudara penulis maka tidak diperlukan pula kata-kata "sampai" dalam cap mohor tersebut". Sekali lagi saya katakan, gaya bahasa yang digunakan oleh orang dari tiga abad yang lalu tidak samadengan gaya bahasa yang digunakan sekarang. Saya kira cap 661 menyatakan bahwa rakyat yang diserahkan itu berada di antara kaki Gunung Berapi ke hilir dan hulu dari Jambi Mudik (rakyat Minangkabau di Huluan Jambi), sementara cap 669 mencakup kawasan yang lebih luas yaitu dari kaki Gunung Berapi ke hilir sampai ke laut batas kawasannya, di mana Anak Minangkabau diserahkan pengawasannya kepada Sultan Mahmudsyah dari Johor meliputi kawasan tersebut. (tentu saja saya tidak bisa memaparkan 418 halaman lebih tulisan andaya dalam artikel ini, saya harapkan Giovani membaca buku tersebut agar memahami geopolitik Jambi di abad-abad yang lalu). 

Kemudian Giovani mengemukakan Tambo yang berbunyi "Laras Koto Piliang iyalah sehingga Tanjung Padang Mudik, hinggak guguk sikaladi mudik, hingga lawik nan sedidih, hingga gunung berapi hilir".  Giovani sama sekali tak menyebut sumber dari kutipan teksnya ini. Yang jelas kevalidan dan kualitas tambo berada di bawah Naskah Piagam (agaknya Giovani perlu membaca tulisan-tulisan arkeolog dan filolog terkait mengkategorikan kualitas sebuah naskah, ada naskah/prasasti yang ditulis sezaman dengan peristiwa berlangsung, ada naskha/prasasti yang ditulis kemudian hari, ada naskah sifatnya legenda/fiksi dll). Di sisi lain, yang dimaksud Gunung Berapi dalam tambo ini adalah Gunung Berapi/marapi yang ada di wilayah Minangkabau bukan Gunung Berapi di Kerinci. Jadi Gunung Berapi Hilir dalam konteks ini adalah wilayah sehiliran sungai yang berhulu ke Gunung Marapi.  

Saya tak mengerti landasan yang digunakan oleh Giovani untuk menyebut Gunung Berapi Kerinci berada di hilir Gunung Berapi yang di Minangkabau. Acuan kata hulu dan hilir adalah sungai, jadi sungai mana yang berhulu di Gunung Marapi dan bermuara di Sekitar Gunung Kerinci?

Lebih Lanjut, Giovani mempersoalkan kata tersekut yang ada dalamTK 173. Bahwa kata tersekut maksudnya adalah tertahan/tertumbuk/tertumpu. oleh sebab itu agaknya Giovani perlu membedakan kata Sekut dan kata Sangkut. Kalau sangkut (Sangkuik, minang) memang dalam bahasa Kerinci artinya tertahan tapi kalau sekut sudah berbeda maknanya, dalam konteks bahasa Kerinci sekut berarti  mencakup atau meliputi. sehingga kata tersekut Gunung Berapi berarti tercakup/terlingkup Gunung Kerinci.

Kedua, Giovani kembali mempersoalkan masalah Rantau XII Koto dan Sungai Pagu. di tulisan sebelumnya sudah saya katakan bahwa persoalan mendasar dalam kasus klaim kepemilikan atas Gunung Kerinci bukanlah masalah di mana kedudukan YDP Marajo Bungsu, sudah melenceng jauh. masalahnya adalah adakah tambo-tambo dari Rantau XII Koto maupun Sungai Pagu yang secara eksplisit menyebutkan Gunung Berapi sebagai salah satu wilayahnya sebagaimana dalam naskah piagam di Kerinci?sejauh referensi yang saya baca tidak ada! toh kata "Baruak Kahujanan" masih dipertanyakan lokasinya di mana oleh Giovani sendiri, apakah  tempat yang dinamakan Baruak Kehujanan (Beruk Kehujanan) sama dengan Gunung Berapi (Kerinci)? kalau begitu mari dinamakan Gunung Berapi sebagai "Gunung Beruk Kehujanan". 

Karena Giovani menyinggung-nyinggung masalah pendapat saya tentang kedudukan dari YDP Marajo Bungsu Bagumbak Putih Bajanggut Merah yang mula-mula berkedudukan di Koto Tuo, Banuaran kemudian gelarnya itu kemudian diwariskan pada tokoh penguasa di Rantau XII Koto. Agaknya Giovani tidak memencet link yang sudah saya berikan dalam tulisan kedua. sehingga akan saya sajikan di sini: (1) perihal adanya raja-raja di Sungai Pagu periode awal yang menggunakan gelar "Bagumbak Putih Bajanggut Merah" seperti yang dimuat oleh mozaik minang yang bersumber dari Tambo Alam Surambi Sungai Pagu yang ada pada buku kenang-kenangan IKASUPA Jakarta 2004.

Dikatakan adanya gelombang kedua kedatangan nenek Moyang ke Sungai Pagu dari arah hilir memudiki Batang Hari. Kelompok ini belum memiliki suku dan mendirikan sebuah kerajaan dengan Raja yang bergelar "Bagomak Putiah Bajangguik Merah" (gelar ini dalam Tembo Kerinci juga disandang oleh YDP Marajo Bungsu) tiga dari kali berturut-turut yang bermukim di Koto Tuo, Banuaran (Alam pauah Duo), yang diantaranya; (a) Niniak Nan Kawi Majo Ano (b) Niniek Duano Gaja Gilo (c) Niniak Parendangan, Wilayah Kerajaan ini meliputi; Kisaran Camin Tolam ke Rantau 12 Koto, Koto Ubi, Koto Hilalang, Langkok Kadok Langkok Jarang, Batu Angek Batu Kangkuang, sampai ka Limun Batang Asai, lapeh ke Rejang Lebong-Bengkulu, tahantak ka Gunuang Medan, manyisir ka Lubuak Pinang Lako, sarato Lubuak Pinang Malam, lalu ka Talao Aia Sirah. Legenda berikutnya diceritakan bahwa setelah niniak Sutan Parendangan, jabatan Raja di Sungai Pagu mengalami kekosongan hingga kemudian diisi kembali oleh tokoh-tokoh sebagaimana cerita berikut:

Dimano meningganyo dan kamano painyo baliau indak dikatahui, indak tantu kabanyo jikok mati, batahun-tahun lamonyo Sungai Pagu kahilangan Rajo atau indak mampunyoi Rajo. Mako tampilah ka Istano lnyiak Majolelo, dan langsuang mangumumkan pado masyarakat bahaso beliau Rajo Sungai Pagu, karano indak mamanuhi syarat, mako ditolak dek rakyat. Kamudian barangkek maninggakan Sungai Pagu utusan Niniak kurang Aso Anam Puluah sabanyak 5 urang pai ka nagari Iskandar Alam/Kedudukan Raja Besar nan Dipertuan Rajo Alam, dan manarimo titah ditabuahkan memakai sako kabasaran, yaitu: Daulat Yang Dipertuan Bagindo Sultan Besar Tuanku Rajo Disambah/Rajo Alam (manjunjuang mahkota kuala Qamar), Yang Dipertuan Tuanku Rajo Bagindo/Rajo Adat, Yang Dipertuan Tuanku Rajo Malenggang/mangurus Hak Daciang, Yang Dipertuan Tuanku Rajo Batuah/Rajo Ibadah (lihat di sini). 

Menariknya adalah gelar YDP Marajo Bungsu (yang dalam Tembo Kerinci --bukan dalam naskah piagam --disebut dengan tambahan Gelar Bagumbak Putih Bajanggut Merah) merupakan gelar yang digunakan di rantau XII Koto seperti dalam De talen en letterkunde van midden-sumatra, 1881 (p. 160).  Bahkan dalam tulisan itu diceritakan bagaimana perjalanan nenek moyang Sutan Bandarodari Bukit Siguntang-Guntang dan Rajo Putih  mula-mula mendapat ke Gunung Nilam Hijau,turun ke Bulai Duo, dari Bulai Duo ke Koto Tuo, dari Koto Tuo ke Pasimpai.Sangat jelas bahwa Tambo Sungai Pagu dan Tambo Rantau XII Koto ini saling berkaitan.

Walaupun tambo ini tidak menceritakan bagaimana asal usul YDP Marajo Bungsu memiliki kekuasaan di wilayah tersebut, tetapi sangat jelas adanya keterkaitan dua tambo tersebut. Oleh sebab itu, saya perlu menanyakan kepada Giovani tentang asal usul Tokoh YDP  Marajo Bungsu di Lubuk Gadang ini?Walaupun bukan hal yang subtansial terkait topik yang awal. Toh tambo Rantau XII Koto sama sekali tak membunyikan Gunung Kerinci sebagai wilayahnya. 

Melalui tulisan ini saya menantang Giovani untuk mengemukakan data naskah tambo yang kuno yang ada di XII Koto yang teksnya secara eksplisit menyatakan Gunung Berapi/Gunung Kerinci sebagian dimiliki oleh YDP Marajo Bungsu. sekali lagi Gunung Berapi/Kerincinya, bukan wilayah/kawasan di 'kaki' Gunung Kerinci apalagi di bagian sebelah Utara.  

Agaknya, Giovani salah tanggap dalam memahami artikel saya seperti dalam tulisannya hingga menyatakan "semua wilayah di kawasan gunung kerinci adalah milik masyarakat adat yang berdiam di kabupaten kerinci sekarang".  Karena Giovani menambahkan kata "kawasan"saya perlu menanyakan secara detail kawasan mana yang dimaksud, soalnya artikel-artikel saya sebelum ini sama sekali tidak membahas kawasan Gunung Kerinci tetapi hanya tentang Gunung Kerinci semata.  Penutup kembali saya tegaskan, bahwa Gunung Kerinci secara utuh, di bawah pengelolaan masyarakat adat yang ada di wilayah Kerinci.  Kalau wilayah di kawasan kaki Gunung Kerinci bagian Utara, lain ceritanya dan mungkin akan dibahas di dalam artikel lain. Bukan dalam tulisan ini. 

Pengakhir kata, pepatah tak hanya sekedar retorika yang dibunyikan dilidah tetapi juga dipedomani dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam menulis.

Referensi yang digunakan sebelumnya, silakan lihat tulisan-tulisan di bawah ini:

Tulisan pertama tentang klaim kepemilikan Gunung Kerinci (lihat di sini)

Tanggapan Giovani I (lihat di sini)

Tulisan ke dua tentang klaim kepemilikan Gunung Kerinci (lihat di sini)

Tanggapan Giovani II (lihat di sini)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun