Mohon tunggu...
Hadi Tanuji
Hadi Tanuji Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan, Analis Data, Konsultan Statistik, Pemerhati Hal Remeh Temeh

Aktivitas sehari-hari saya sebagai dosen statisika, dengan bermain tenis meja sebagai hobi. Olah raga ini membuat saya lebih sabar dalam menghadapi smash, baik dari lawan maupun dari kehidupan. Di sela-sela kesibukan, saya menjadi pemerhati masalah sosial, mencoba melihat ada apa di balik fenomena kehidupan, suka berbagi meski hanya ide ataupun hanya sekedar menjadi pendengar. Sebagai laki-laki sederhana moto hidup pun sederhana, bisa memberi manfaat kepada sesama.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Komunikasi Itu Rasa, Bukan Hanya Kata

25 April 2025   21:36 Diperbarui: 25 April 2025   21:36 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seni komunikasi ((Sumber: radarjabar.com)

Oleh: Hadi Tanuji

Ada banyak seni dalam hidup, dan salah satu yang paling mendasar adalah komunikasi. Ia bukan sekadar kemampuan berbicara, tetapi juga seni menyampaikan, memahami, memengaruhi, bahkan membaca situasi. 

Komunikasi juga seni bertahan hidup. Tanpa komunikasi yang baik, banyak hal sederhana bisa jadi rumit. Banyak niat baik bisa jadi disalahpahami. Banyak rencana besar bisa gagal hanya karena tak bisa dikomunikasikan dengan tepat.

Saya percaya, komunikasi itu bukan hanya soal kalimat. Tapi bagaimana memilih nada, kapan menyampaikan, siapa lawan bicaranya, dan sejauh mana kita bisa membaca konteks. Kadang kita berpikir sudah menyampaikan dengan jelas, tapi ternyata tidak dipahami sebagaimana mestinya. Di situlah seni komunikasi diuji---apakah kita bisa menyesuaikan cara kita berbicara dengan siapa yang kita ajak bicara.

Belajar dari Obrolan Bapak-Bapak Kampung

Suatu waktu, saya ikut acara aqiqah cucu dari kakak saya. Acara sederhana, khas kampung. Tetangga-tetangga diundang, kira-kira satu RT. Saya bukan warga situ. Sebagai tamu dari luar kota, saya datang lebih awal, duduk di ruang tamu, beralas tikar, bersama para bapak kampung yang sedang ngobrol sebelum acara dimulai. Saya hanya jadi pendengar.

Obrolan mereka terasa hangat, asyik, dan cair. Alami sekali. Saya yakin tak ada teori komunikasi, tak ada pelatihan teknik bicara. Tapi saya menikmati setiap gurauan, sindiran halus, dan cara mereka menyampaikan maksud dengan bahasa yang penuh rasa.

Ilustrasi komunikasi santai bapak-bapak di kampung (Dokpri)
Ilustrasi komunikasi santai bapak-bapak di kampung (Dokpri)

Salah satu obrolan yang saya dengar begini:

"Mas Ada, wingi aku lewat ngarep omahmu. Iku neng gorong-gorong ngarepan tak delok ono duit seket ewu. Arep tak jupuk wedi nek konangan, dadi tak jarke. Sesuk coba prikso, mugo-mugo iseh ono." Kata seorang bapak, yang saya tebak adalah Pak RT di daerah situ.

Kalau diterjemahkan:

"Mas Ada, kemarin saya lewat depan rumahmu. Di gorong-gorong saya lihat ada uang lima puluh ribu. Mau saya ambil tapi takut ketahuan, jadi saya biarkan. Coba besok periksa, semoga masih ada."

Saya yang mendengar itu awalnya kaget. Serius? Ada uang lima puluh ribu di gorong-gorong?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun