Oleh: Hadi Tanuji
Ada banyak seni dalam hidup, dan salah satu yang paling mendasar adalah komunikasi. Ia bukan sekadar kemampuan berbicara, tetapi juga seni menyampaikan, memahami, memengaruhi, bahkan membaca situasi.Â
Komunikasi juga seni bertahan hidup. Tanpa komunikasi yang baik, banyak hal sederhana bisa jadi rumit. Banyak niat baik bisa jadi disalahpahami. Banyak rencana besar bisa gagal hanya karena tak bisa dikomunikasikan dengan tepat.
Saya percaya, komunikasi itu bukan hanya soal kalimat. Tapi bagaimana memilih nada, kapan menyampaikan, siapa lawan bicaranya, dan sejauh mana kita bisa membaca konteks. Kadang kita berpikir sudah menyampaikan dengan jelas, tapi ternyata tidak dipahami sebagaimana mestinya. Di situlah seni komunikasi diuji---apakah kita bisa menyesuaikan cara kita berbicara dengan siapa yang kita ajak bicara.
Belajar dari Obrolan Bapak-Bapak Kampung
Suatu waktu, saya ikut acara aqiqah cucu dari kakak saya. Acara sederhana, khas kampung. Tetangga-tetangga diundang, kira-kira satu RT. Saya bukan warga situ. Sebagai tamu dari luar kota, saya datang lebih awal, duduk di ruang tamu, beralas tikar, bersama para bapak kampung yang sedang ngobrol sebelum acara dimulai. Saya hanya jadi pendengar.
Obrolan mereka terasa hangat, asyik, dan cair. Alami sekali. Saya yakin tak ada teori komunikasi, tak ada pelatihan teknik bicara. Tapi saya menikmati setiap gurauan, sindiran halus, dan cara mereka menyampaikan maksud dengan bahasa yang penuh rasa.
Salah satu obrolan yang saya dengar begini:
"Mas Ada, wingi aku lewat ngarep omahmu. Iku neng gorong-gorong ngarepan tak delok ono duit seket ewu. Arep tak jupuk wedi nek konangan, dadi tak jarke. Sesuk coba prikso, mugo-mugo iseh ono." Kata seorang bapak, yang saya tebak adalah Pak RT di daerah situ.
Kalau diterjemahkan:
"Mas Ada, kemarin saya lewat depan rumahmu. Di gorong-gorong saya lihat ada uang lima puluh ribu. Mau saya ambil tapi takut ketahuan, jadi saya biarkan. Coba besok periksa, semoga masih ada."
Saya yang mendengar itu awalnya kaget. Serius? Ada uang lima puluh ribu di gorong-gorong?