Juga pada kejuaraan Thailand Grand Prix Gold Indonesia merebut juara di ganda putera setelah pasangan Berry Angriawan/Rian Agung Saputro menang atas Takuto Inoue/Yuki Kaneko  (Jepang) 17-21 21-14 21-18.
Namun demikian, di tengah keberhasilan tersebut, agaknya Pengurus dan Pelatih perlu terus melakukan evaluasi terhadap kondisi perbulutangkisan Indonesia. Terutama setelah kegagalan beruntun di empat turnamen super series dan super series premier.
Sebagai seorang penggemar dan pemerhati bulutangkis Indonesia, saya hanya bisa sumbang saran dan pemikiran yang mungkin bisa menjadi masukan bagi pengurus dan atlet bulutangkis Indonesia. Terutama bagi pak Gita Wirjawan yang masih menjadi pucuk pimpinan di PBSI. Ada beberapa hal yang mungkin bisa menjadi bahan masukan bagi PBSI:
1. Secara teknis, permainan atlet bulutangkis Indonesia tidak jauh berbeda dengan teknis permainan yang diterapkan atlet-atlet dari negara Tiongkok, Korea, Jepang dan negara lainnya. Yang perlu ditingkatkan adalah endurance (daya tahan) dan daya juang pada saat bertanding. Tidak boleh menyerah sebelum point terakhir.
Tadi malam, saya menonton pertandingan antara Chen Qingchen/Jia Yifan melawan pasangan nomor satu dunia asal negeri sakura, Ayaka Takahashi/Misaki Matsutomo. Semangat juang Chen/Jia yang tidak mudah menyerah meski sudah terdesak, berhasil membalikan keadaan. Dari hampir kalah, menjadi memenangi pertandingan. Semangat seperti inilah yang belum dimiliki para atlet Indonesia (setidaknya dari pengamatan saya).
Berkebalikan dengan atlet Jepang dan Tiongkok, atlet muda kita malah sering mati sendiri ketika poin-poin kritis. Ketegangan yang melanda di poin-poin akhir masih menjadi momok. Padahal angka 19 dan 20 belumlah akhir dari pertandingan. Angka masih bisa berbalik untuk menguntungkan lawan jika atlet muda kita keburu merasa menang, atau keburu merasa tegang dan grogi berlebihan.
2. Selain semangat juang yang perlu ditingkatkan, para pelatih dan pengurus PBSI perlu memupuk dan meningkatkan motivasi serta mental juara para atlet muda Indonesia untuk tidak takut menghadapi lawan manapun. Saya teringat sebuah komentar dari maestro bulutangkis puteri, Susy Susanti. Ketika dia turun ke lapangan,Â
Susy tidak pernah menganggap enteng lawan, tapi tidak juga menganggap lawannya lebih unggul sebelum pertandingan dimulai. Mental seperti inilah yang perlu digelorakan kepada atlet-atlet muda Indonesia. Ingat, Indonesia pernah menjadi ancaman berbahaya bagi bulutangkis Tiongkok, Denmark, Jepang, dan Korea. Kita sejajar dengan mereka. Jadi tidak ada alasan bagi atlet-atlet bulutangkis muda untuk merasa kalah sebelum pertandingan dimulai. Nama-nama besar para unggulan, bukan jaminan bahwa pemain non unggulan akan kalah. Buktinya Chen qingchen/Jia Yifan bisa menang lawan Ayaka/Misaki. Jika mereka bisa, seharusnya atlet kita juga bisa. Caranya bagaimana? Rajin berlatih tentu saja.
3. Point ketiga adalah pola pembibitan atlet pembinaan atlet muda.
Pembibitan atlet muda sebaiknya dilakukan secara berjenjang. Memang beberapa klub badminton telah melakukan pembibitan atlet secara mandiri. Sebut saja klub Djarum yang setiap tahun mencari bibit-bibit unggul atlet bulutangkis melalui audisi beasiswa bulutangkisnya. Bibit-bibit unggul tersebut kemudian digembleng secara serius. Tak jarang klub Djarum mengirimkan atletnya ke turnamen internasional dengan biaya mandiri. Peran klub-klub seperti ini sangat membantu dalam pembibitan atlet muda. Bahkan tidak jarang atlet-atlet dari klub Djarum Kudus, Jaya Raya Jakarta, Mutiara Bandung, menjadi langganan penghuni pelatnas dan mampu berbicara di level dunia.