Mohon tunggu...
Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis

Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Indonesia dan Persilangan Ideologis Kebangsaan

29 Oktober 2020   00:39 Diperbarui: 29 Oktober 2020   00:41 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
HAQ Creation/koleksi pribadi

Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya---sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, pada alinea ketiga---atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Kemerdekaan ini dimaklumatkan setelah dan mesti terus-menerus diperjuangkan.

Perjuangan kemerdekaan setelah dinyatakan sejatinya tidak lebih ringan dari sebelumnya. Soekarno melalui salah satu pidatonya yang diucapkan pada saat memperingati Hari Pahlawan 10 November 1962 pernah mengingatkan hal ini: "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."

Peringatan Soekarno tersebut diucapkan setelah lebih-kurang 17 tahun berlalu kemerdekaan bangsa ini dimaklumatkan, dan hingga kini terus relevan. Kita bisa lihat beragam kontroversi soal-soal kebangsaan yang terus susul-menyusul dan tindih-bertindih; nyaris tanpa solusi tuntas.

Soekarno serta tokoh-tokoh lain bangsa ini---dari berbagai aliran pemikiran dan generasi---merasakan betapa tak mudah mewujudkan keinginan luhur dan cita-cita untuk betul-betul merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Persatuan yang selalu digaungkan dengan beragam slogannya selalu pula retak manakala berhadapan dengan tantangan-tantangan kebangsaan (internal dan eksternal).

Pancasila dan UUD 1945

Betapapun bangsa ini telah menyepakati Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar hukum formal demi melandasi seluruh aspek kehidupan dalam berbangsa dan bernegara, pada kenyataannya masih tampak jauh panggang dari api. Dua dasar hukum formal ini seakan "tak mampu" mengendalikan syahwat-syahwat para pialang kepentingan yang masuk dan bersemayam dalam tubuh negara.

Maka sedari awal disepakati, Pancasila dan UUD 1945 lebih sering tampil (baca: ditampilkan) "hanya" sebagai judul besar nan indah dan menarik dari sebuah buku kehidupan bangsa dan negara bernama Indonesia. Sementara torehan-torehan isi dan bahkan judul serta subjudul di dalamnya banyak tak kongruen dengan judul besarnya.

Sebagai landasan hukum bernegara, Pancasila dan UUD 1945 dinyatakan final dan mengikat. Artinya, seluruh perikehidupan berbangsa dan bernegara harus sejalan dengan filosofi dan aturan-aturan hukum pada keduanya; seluruh warga dan penyelenggara negara wajib tunduk dan patuh padanya; dan aturan-aturan (teknis-yuridis) turunannya tidak boleh berseberangan dengan keduanya.

Inilah sejatinya makna dari negara hukum: seluruh aspek kehidupan bangsa dan negara diatur oleh mekanisme hukum, yang dalam konteks Indonesia akarnya ialah Pancasila, dan UUD 1945 adalah batang tubuhnya serta undang-undang turunannya merupakan cabang dan rantingnya.

Persilangan Ideologis

Well, secara konseptual negara ini ideal. Namun jika kita selisik dengan saksama, tak sedikit anomali mewarnai praktik-praktik kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Anomali dimaksud utamanya menyangkut masalah-masalah hukum dan politik yang kerap diperhadapkan sehingga terlibat "pergulatan" adu kuat dan menimbulkan akibat tumpang-tindih.

Praktik-praktik anomali terjadi bahkan sejak awal berdirinya Republik, dan terus berulang pada hampir setiap pergantian rezim. Kronik mengenai dasar negara, misalnya, pertama kali dirumuskan secara konseptual melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), yang dilantik pada 28 Mei dan berakhir pada 16 Juli 1945.

BPUPK ini menghasilkan rumusan dasar negara bagi Indonesia merdeka, salah satunya berupa dokumen kesepakatan dalam wujud Piagam Jakarta---yang di dalamnya termaktub rumusan Pancasila, ditandatangani pada 22 Juni 1945 oleh sembilan pemimpin terkemuka Indonesia; yakni Soekarno, Mohammad Hatta, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir, Haji Agus Salim, Ahmad Subardjo, K.H. A. Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin---sebagai Mukadimah Undang-Undang Dasar (UUD).

Syahdan, tepat sehari setelah kemerdekaan diproklamasikan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)---yang dibentuk pada 7 Agustus 1945 sebagai tindak lanjut dari BPUPK---dengan resmi mensahkan Pembukaan serta batang tubuh UUD hasil rumusan BPUPK "dengan beberapa perubahan penting," yang terkait dengan persilangan ideologis kebangsaan.

Perubahan dimaksud terjadi pada "kalimat dan diktum-diktum Islami" dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD. Kata "Mukadimah" (yang berasal dari bahasa Arab) diganti menjadi Pembukaan. Diktum sila Ketuhanan yang semula (dalam Piagam Jakarta) diikuti kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya," diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Lalu perubahan pada batang tubuh UUD terjadi pada pasal 6 ayat 1; diktum (ketentuan) menyangkut Presiden, yang semula menetapkan bahwa "Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam," kata-kata "...dan beragama Islam" dihilangkan dari kalimat tersebut. Selain itu, sejalan dengan pengubahan diktum sila Ketuhanan dalam Pembukaan, diubah pula diktum mengenai Agama pada Pasal 29 ayat 1 menjadi: "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa."

Pengubahan "sepihak" di saat-saat akhir jelang pengesahan ini, setelah melalui kesepakatan bersama dengan susah payah, memunculkan kekecewaan pada (sebagian) umat Muslim. Kekecewaan ini berimplikasi pada tidak mudahnya merekatkan hubungan antara Islam dan negara. Kita bisa lihat tak jarang antara keduanya terlibat saling curiga; negara mencurigai gerak-gerik (sebagian) umat Muslim, dan sebaliknya, (sebagian) umat Muslim menaruh curiga pada negara.

Secara de jure, Indonesia menyatakan berideologi Pancasila. Namun secara de facto, persilangan ideologis terus menghantui perjalanan politik kebangsaan; tempo-tempo condong pada haluan sosialis-komunis, di tempo lain serong ke haluan sekularis-kapitalis, dan di tempo-tempo tertentu singgah di haluan yang tampaknya Islamis.

Persilangan ideologis hampir pasti terjadi seiring pergantian tampuk pemegang kuasa pemerintahan. Akibatnya, pembangunan mengait kebangsaan Indonesia nihil kesinambungan.

Di era Demokrasi Parlementer (1949-1959), pembangunan mengait kebangsaan berjalan terseok-seok seiring jatuh-bangun kabinet yang rata-rata berlangsung singkat. Upaya memperbarui konstitusi (UUD) melalui Majelis Konstituante di era ini pun "gagal" oleh sebab persilangan ideologis (antara para pendukung nasionalisme-sekular dan nasionalisme-islami) yang tak berhasil menyepakati titik temu.

Di era Demokrasi Terpimpin Soekarno (1959-1966), praktik politik kebangsaan banyak diwarnai oleh sosialisme-komunisme. Ketegangan diikuti perseteruan ideologis tak terelakkan. Banyak darah warga bangsa di era ini tumpah sia-sia akibat perseteruan ideologis kebangsaan, dan karena itu pula Soekarno jatuh (dijatuhkan).

Memasuki era Orde Baru (1966-1998), Suharto "menjamah" Indonesia dengan tangan dinginnya. Selama lebih-kurang tiga dasawarsa, bangsa ini "berhasil" dininabobokan dengan nyanyian-nyanyian politik "stabilitas" dan "Demokrasi Pancasila," yang serasa merdu di pendengaran, namun menyimpan bara dalam sekam kebangsaan.

Nasionalisme Pancasila di era ini mengalami reduksi sedemikian rupa. Asas-asas tentang Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan sosial disemukan oleh tafsir kekuasaan. Beberapa ideologi yang hidup dalam tubuh kebangsaan mengalami tekanan, "dipaksa" tiarap oleh kekuasaan.

Memasuki periode ketujuh, tanggul kekuasaan Orde Baru jebol. Dipicu adanya krisis moneter yang berkelindan dengan krisis ekonomi, lalu merebak menjadi krisis multidimensional, dan diikuti tuntutan reformasi yang menggelombang, memaksa Suharto lengser (21 Mei 1998).

Lepas dari Orde Baru, Indonesia memasuki babak baru: Orde Reformasi. Sudah lebih dua dasawarsa, sirkulasi kepemimpinan politik demokratis berjalan cukup lancar. Tiga Presiden memimpin di masa transisi: Bacharuddin Jusuf Habibie (1998-1999), Abdurrahman Wahid (1999-2001), dan Megawati Soekarnoputri (2001-2004).

Jika dilihat dari latar belakang ketiganya masing-masing seakan mewakili aliran ideologi kebangsaan yang bersilang. Habibie cenderung diafiliasikan ke ideologi Islam kanan, Wahid berasal dari dan dibesarkan oleh kultur Islam tradisonal, dan Megawati mewarisi "darah politik" Soekarno dengan haluan nasionalis-sekular.

Lalu dua Presiden lahir dari sistem politik pascareformasi, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) dan Joko Widodo (2014-saat ini). Keduanya dihasilkan melalui mekanisme pemilihan langsung, dan masing-masing "sukses" berkuasa selama dua periode. Namun persilangan ideologis di antara keduanya tak bisa ditutupi. Walhasil, kebijakan pembangunan mengait kebangsaan Indonesia tak berkelanjutan alias nihil kesinambungan. Entah, sampai kapan!?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun