Mohon tunggu...
Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis

Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Indonesia dan Persilangan Ideologis Kebangsaan

29 Oktober 2020   00:39 Diperbarui: 29 Oktober 2020   00:41 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
HAQ Creation/koleksi pribadi

Praktik-praktik anomali terjadi bahkan sejak awal berdirinya Republik, dan terus berulang pada hampir setiap pergantian rezim. Kronik mengenai dasar negara, misalnya, pertama kali dirumuskan secara konseptual melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), yang dilantik pada 28 Mei dan berakhir pada 16 Juli 1945.

BPUPK ini menghasilkan rumusan dasar negara bagi Indonesia merdeka, salah satunya berupa dokumen kesepakatan dalam wujud Piagam Jakarta---yang di dalamnya termaktub rumusan Pancasila, ditandatangani pada 22 Juni 1945 oleh sembilan pemimpin terkemuka Indonesia; yakni Soekarno, Mohammad Hatta, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir, Haji Agus Salim, Ahmad Subardjo, K.H. A. Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin---sebagai Mukadimah Undang-Undang Dasar (UUD).

Syahdan, tepat sehari setelah kemerdekaan diproklamasikan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)---yang dibentuk pada 7 Agustus 1945 sebagai tindak lanjut dari BPUPK---dengan resmi mensahkan Pembukaan serta batang tubuh UUD hasil rumusan BPUPK "dengan beberapa perubahan penting," yang terkait dengan persilangan ideologis kebangsaan.

Perubahan dimaksud terjadi pada "kalimat dan diktum-diktum Islami" dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD. Kata "Mukadimah" (yang berasal dari bahasa Arab) diganti menjadi Pembukaan. Diktum sila Ketuhanan yang semula (dalam Piagam Jakarta) diikuti kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya," diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Lalu perubahan pada batang tubuh UUD terjadi pada pasal 6 ayat 1; diktum (ketentuan) menyangkut Presiden, yang semula menetapkan bahwa "Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam," kata-kata "...dan beragama Islam" dihilangkan dari kalimat tersebut. Selain itu, sejalan dengan pengubahan diktum sila Ketuhanan dalam Pembukaan, diubah pula diktum mengenai Agama pada Pasal 29 ayat 1 menjadi: "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa."

Pengubahan "sepihak" di saat-saat akhir jelang pengesahan ini, setelah melalui kesepakatan bersama dengan susah payah, memunculkan kekecewaan pada (sebagian) umat Muslim. Kekecewaan ini berimplikasi pada tidak mudahnya merekatkan hubungan antara Islam dan negara. Kita bisa lihat tak jarang antara keduanya terlibat saling curiga; negara mencurigai gerak-gerik (sebagian) umat Muslim, dan sebaliknya, (sebagian) umat Muslim menaruh curiga pada negara.

Secara de jure, Indonesia menyatakan berideologi Pancasila. Namun secara de facto, persilangan ideologis terus menghantui perjalanan politik kebangsaan; tempo-tempo condong pada haluan sosialis-komunis, di tempo lain serong ke haluan sekularis-kapitalis, dan di tempo-tempo tertentu singgah di haluan yang tampaknya Islamis.

Persilangan ideologis hampir pasti terjadi seiring pergantian tampuk pemegang kuasa pemerintahan. Akibatnya, pembangunan mengait kebangsaan Indonesia nihil kesinambungan.

Di era Demokrasi Parlementer (1949-1959), pembangunan mengait kebangsaan berjalan terseok-seok seiring jatuh-bangun kabinet yang rata-rata berlangsung singkat. Upaya memperbarui konstitusi (UUD) melalui Majelis Konstituante di era ini pun "gagal" oleh sebab persilangan ideologis (antara para pendukung nasionalisme-sekular dan nasionalisme-islami) yang tak berhasil menyepakati titik temu.

Di era Demokrasi Terpimpin Soekarno (1959-1966), praktik politik kebangsaan banyak diwarnai oleh sosialisme-komunisme. Ketegangan diikuti perseteruan ideologis tak terelakkan. Banyak darah warga bangsa di era ini tumpah sia-sia akibat perseteruan ideologis kebangsaan, dan karena itu pula Soekarno jatuh (dijatuhkan).

Memasuki era Orde Baru (1966-1998), Suharto "menjamah" Indonesia dengan tangan dinginnya. Selama lebih-kurang tiga dasawarsa, bangsa ini "berhasil" dininabobokan dengan nyanyian-nyanyian politik "stabilitas" dan "Demokrasi Pancasila," yang serasa merdu di pendengaran, namun menyimpan bara dalam sekam kebangsaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun