Mohon tunggu...
IndahS
IndahS Mohon Tunggu... Freelancer - pengangguran berkarakter

penyuka sebuah senyuman karena sebuah senyuman kadang hidup terasa hidup

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tuhanmu, Tuhanku

14 Januari 2016   05:51 Diperbarui: 14 Januari 2016   11:22 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"sejauh apapun sebuah pencarian, pasti kembali ketitik awal,

dan peluknya adalah sebaik-baiknya tempat kembali."

 

[caption caption="sebuah langkah selalu layak di beri kesempatan"][/caption]

Waktu itu pintamu sangat sederhana, agar aku taat kepada Tuhanmu yang juga kau kenalkan kepadaku sebagai Tuhanku. Kau ajarkan aku tentang surga dan neraka, soal baik dan buruk, soal hitam dan putih kehidupan, dan semua soal-soal yang berhubungan dengan Tuhanmu. Waktu itu aku menerimanya dengan baik, dapat dengan jelas aku lihat bahwa kau begitu bahagia dan yakin bahwa aku akan menjalankan semuanya sesuai dengan inginmu.

Mungkin kau melupakan sesuatu, corak darahmu begitu kental mengaliri tulang dan dagingku, sebuah jiwa petualangan yang kau miliki sepertinya kini mampir padaku. Suatu hari aku bertanya "bolehkah aku melakukan sebuah petualangan seperti yang kau lakukan dulu? termasuk melakukan pencarian atas Tuhanku." Kau menolaknya katamu aku anak perempuan mungkin mustahil bisa kulewati apa yang pernah kau jalani. Aku berusaha membujuk, "ayolah jangan terlalu kaku, beri aku kesempatan untuk melakukan pencarianku." Kau bersikeras menolak, menurutmu lebih baik aku menjalankan apa yang sudah kau ajarkan.

Pikirku kalau kau saja bisa melewati masa aku tidak bisa, bukankah setiap generasi akan lebih hebat dari generasi sebelumnya

Aku tetap berusaha menawar, meluluhkan hatimu. Bagiku bukan soal benar atau salah terhadap yang kau turukan kepadaku, tapi aku hanya ingin menjadi manusia yang menjalankan sesuatu sesuai dengan pengertian atas pencarianku. Kau marah tapi aku tetap tidak gentar. Niatku semakin menggelora di dada. Hingga semakin jelas tercipta sebuah jarak. Perlahan aku mulai berjalan sendiri dan melebarkan jarak diantara kita, tidak adalagi sebuah pelukan hangat diantara kita, obrolan panjang disuatu malam, bahkan sebuah senyum yang mendamaikan hati. Aku tetap memilih berjalan.

Hingga pada suatu ketika kudapati kau menangis, sepertinya kau mulai putus asa menghadapiku. Aneh, saat itu egoku tak sedikitpun menurun. Aku malah semakin berjalan jauh dan jauh. mulai cepat, lebih cepat dan lebih cepat lagi. Dan kudapati diriku mulai berlari, lari dan lari. Lariku menemui kecepatannya. aku semakin diatas angin. semakin yakin dengan apa yang aku lalui. dalam hatiku "aku benar bukan?!"

Dalam kecepatan berlariku, aku ceroboh. Tidak hati-hati terhadap setiap pijakanku dan tak bisa kuelakkan lagi, akhirnya aku terjatuh. Dalam jatuhku aku berusaha bangkit tapi aku tak mampu, tak seorangpun dapat kumintai tolong. Aku mulai cemas, ketakutan menghantuiku, dan akhirnya aku menangis seperti seorang anak kecil yang tidak tau kemana harus pulang.

Dalam tangisku yang panjang dapat kutangkap sebuah deru langkah di belakangku, yang seperti menuju kearahku dengan segala keberanian ku tengok asal suara langkah itu. Sebuah senyum yang aku kenal mengembang. Senyum yang mendamaikan hati, senyummu. Ingin segera ku berlari kearahmu dan menghamburkan sebuah pelukan kerinduan lalu mengadukan perjalananku, tapi aku tak sanggup berdiri lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun