Namun, dia tidak menyangka bila ternyata hari yang amat ia cemaskan itu malah datang beberapa bulan lebih cepat. Bukan tahun depan. Tapi tahun ini.
Tentu saja dia kaget. Terkejut. Terperanjat.
Bayangan tidak lagi mendapatkan gaji bulanan langsung menghantuinya. Sementara kedua anaknya masih bersekolah yang tentu saja membutuhkan biaya harian. Minimal untuk uang saku. Belum lagi bila ada pengumuman bayar ini itu di sekolah.
Apalagi, selama ini dia belum memiliki pendapatan dari pos lain alias tidak punya kerja sampingan yang mendatangkan pemasukan cadangan. Hanya fokus pada pekerjaan yang dia jalani.
Karenanya, tidak mudah baginya untuk menjalani hari-hari setelah PHK. Â Kadang malah muncul kegeraman pada mantan kantornya. Apalagi, selama bekerja, dia merasa telah bekerja maksimal dan profesinal, Tidak tergiur hal-hal yang bisa merendahkan martabatnya sebagai jurnalis.
"Meski pahit, tapi saya bisa belajar banyak dari situasi ini," ujarnya.
Ini akan berlalu
Saya pun pernah merasakan situasi pahit seperti itu.Â
Memang tidak ada vonis PHK secara langsung yang menyahat hati. Namun, efisiensi yang berlanjut pengurangan gaji hingga akhirnya serasa tidak bekerja--dalam artian hak dan kewajiban yang sama-sama ditunaikan.
Sebagai kepala keluarga yang harus memastikan 'dapur rumah tetap menyala' dan memiliki dua anak yang masih bersekolah, situasi itu sungguh menyebalkan. Bahkan mengkhawatirkan.
Namun, dari situasi itu, ada blessing disguised yang bisa diambil. Saya belajar bahwa sepahit apapun situasinya, tidak ada guna menyalahkan orang lain. Apalagi menyalahkan diri sendiri.