Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Tangan Dingin Eng Hian, "Perjodohan" Greysia/Apriyani, dan Medali Emas Olimpiade

3 Agustus 2021   15:23 Diperbarui: 3 Agustus 2021   20:04 1818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ganda putri Indonesia, Greysia Polii/Apriyani Rahayu meluapkan kegembiraan bersama sang pelatih ganda putri, Eng Hian, saat berhasil menang di laga semifinal Olimpiade Tokyo 2020. (Foto: Kompas.com/NOC Indonesia)

Sukses ganda putri Indonesia, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu meraih medali emas bulutangkis Olimpiade 2020, Senin (3/8) menyisakan banyak cerita.

Itu raihan medali emas pertama bagi Indonesia di Olimpiade 2020. Juga medali emas pertama bagi ganda putri Indonesia setelah menunggu 29 tahun sejak bulutangkis dimainkan di Olimpiade 1992 Barcelona.

Bagi Greysia (33 tahun) dan Apriyani (23 tahun), pencapaian ini menjadi puncak prestasi dalam karier mereka. Sebab, dalam olahraga prestasi, Olimpiade-lah yang tertinggi.

Tentu saja, kita harus mengapresiasi perjuangan Greysia/Apriyani.  Mereka tidak hanya berjuang di lapangan. Mereka juga jatuh bangun dalam persiapan road to Olimpiade. Terlebih, berlatih dan bertanding di masa pandemi tidaklah mudah. Tapi, mereka bisa memperlihatkan ketabahan yang luar biasa.

Tangan dingin pelatih Eng Hian

Ya, kerja keras, kesabaran, dan ketenangan yang mereka tunjukkan di setiap pertandingan di Olimpiade 2020 hingga akhirnya membuahkan pencapaian tertinggi, patut diacungi dua jempol.

Namun, jangan lupakan peran sang pelatih ganda putri, Eng Hian (44 tahun).

Ya, sukses Greysia dan Apriyani di Olimpiade 2020 tidak lepas dari peran dan tangan dingin coach Eng Ian dalam memoles mereka. Merujuk maknanya, tangan dingin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai sifat selalu membawa hasil. Eng Hian punya karakter tangan dingin itu.

Mengutip komentar legenda bulutangkis Indonesia, Hariyanto Arbi di akun Instagramnya, bahwa di balik atlet yang hebat ada pelatih-pelatih hebat yang mendampingi mereka.

"Peran pelatih ini memegang peranan penting. Karena ibarat produk bagus, selain bahannya harus bagus tentunya mesin cetaknya harus bagus," tulis Hariyanto Arbi.

Ganda putri Indonesia, Greysia Polii/Apriyani Rahayu meluapkan kegembiraan bersama sang pelatih ganda putri, Eng Hian (Alexander NEMENOV / AFP)
Ganda putri Indonesia, Greysia Polii/Apriyani Rahayu meluapkan kegembiraan bersama sang pelatih ganda putri, Eng Hian (Alexander NEMENOV / AFP)

Hariyanto Arbi, sang juara dunia 1995 dan juara All England 1993, 1994, menyebut sudah paham kualitas Eng Hian sejak beberapa tahun silam. Dia menyebut pelatih kelahiran Surakarta itu sebagai "bibit bagus". Ibarat permata yang belum dipoles.

"Dari mana saya bisa bilang demikian? Tentunya saya melihat tidak hanya dari yang tampil di permukaan tapi juga liat dari hal-hal kecil yang kadang luput dari penilaian orang namun menurut saya hal kecil ini justru penting," sambung Hariyanto.

Dan memang, sejatinya tidak perlu menjadi seorang pakar atau mantan atlet untuk menilai Eng Hian seorang pelatih bagus. Kita yang awam pun bisa menilai itu.

Bayangan begini. Tentu tidak mudah bagi seorang pelatih untuk memadukan pemain senior seperti Greysia yang sudah dua kali tampil di Olimpiade dan peraih medali emas Asian Games 2014 dengan pemain muda yang baru muncul seperti Apriyani.

Itu terjadi pada 2017 silam. Itu awal Greysia dan Apriyani dijodohkan. Mereka pertama tampil bareng di ajang Piala Sudirman.
Tepatnya kala melawan Denmark.

Tak tanggung-tanggung, lawan pertama yang mereka hadapi adalah finalis Olimpiade 2016, Kamilla Rytter Juhl/Christinna Pedersen. Mereka kalah rubber game.

Sebelumnya, seperti dikutip dari akun ina_badminton, Greysia sempat berencana pensiun setelah Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Terlebih karena pasangannya, Nitya Krishinda cedera dan menjalani operasi.

"Tetapi pelatih saya mengatakan tunggu sebentar dan bantu pemain muda untuk bangkit. Dan saat itulah Apriyani datang. Kemudian kami memenangkan dan Thailand Open dan begitu cepat kami datang. Saya seperti, ya Tuhan, saya harus berlari semala empat tahun lagi," ujar Greysia dikutip dari sumber tersebut.

Ya, polesan Eng Hian langsung terlihat ketika Greysia/Apriyani yang belum lama dipasangkan, lantas juara di Thailand Open Grand Prix Gold pada 4 Juni 2017.

Gelar itu punya banyak arti. Greysia dan Apriyani bak oase di tengah gurun. Itu gelar pertama ganda putri Indonesia di tahun itu.

Sukses itu juga memacu pasangan ganda putri pelatnas lainnya, Rizki Amelia Pradipta/Della Destiara Harris. Mereka juara du Dutch Open, 15 Oktober 2017 usai mengalahkan rekan senegara, Anggia Shitta Awanda/Ni Ketut Mahadewi.

Gelar di Thailand itu juga memberi pesan, bahwa Greysia dan Apriyani yang baru dipasangkan, punya prospek bagus.

Nyatanya, mereka menutup tahun 2017 dengan gelar juara di French Open, 29 Oktober 2017. Itu gelar yang lebih bergengsi dibandingkan di Thailand. Sebab, itu turnamen BWF Superseries.

Di sinilah hebatnya coach Eng Hian. Dia tidak punya mantra avrakadabra dalam memoles anak muda dan pemain senior sehingga bisa cepat meraih gelar. Tapi, dia punya kesabaran, ketegasan, dan jiwa ngemong.

Sebab, kesulitan memadukan pemain senior dan anak muda itu nyata terjadi. Bukan sekadar pengandaian. Di masa awal berpasangan, Greysia-Apriyani tidak langsung klop.

Hal itu diuangkap oleh mantan pemain ganda putri Pelatnas, Ni Ketut Mahadewi Istarani di akun Instagramnya. Ni Ketut yang semasa bermain juga dikenal enerjik dan mau capek di lapangan seperti halnya Greysia dan Apri, menyebut dirinya jadi saksi bagian dari proses emas yang mereka lewati dan banyak orang yang tidak tahu.

"Satu jiwa muda yang awalnya masih susah di atur yang masih harus dijaga, tapi sangat cepat berubah menjadi anak yang sangat penurut dan satu lagi jiwa yang berpikirnya sangat matang untuk melakukan sesuatu dan sangat protektif menjaga. Tentunya awal disatukan itu tidak nyaman. Namanya dua isi kepala yang berbeda ya butuh proses untuk disatukan," tulisnya.

Namun, juara Rusia Open 2019 bersama Tania Oktaviani mengaku Greysia dan Apriyani sejak awal punya satu visi misi, punya ambisi yang sama. Karena itu, dia yakin, mereka akan berjaya tinggal menunggu waktunya.  

"Hari ini kalian pulang membawa medali Emas Olimpiade, se-Indonesia raya bangga dan aku bersyukur atas kesabaran kalian! Love," sambung Ni Ketut dikutip dari akun Instagramnya.

Pengalaman Eng Hian di Olimpide 'menular' ke Greysia/Apriyani

Ya, kata kuncinya adalah 'butuh proses untuk disatukan'. Dan, dari beberapa upaya  proses 'menjodohkan pemain' ini, hasilnya ada dua kemungkinan. Berhasil atau gagal. Bergantung pada sosok pelatih yang menyatukan.

Eng Hian terbukti bisa memadukan mereka menjadi pasangan ganda putri kelas dunia.

Lewat kerja keras, semangat untuk terus berkembang, kemauan untuk memahami satu sama lain, dan mendengarkan arahan pelatih, Greysia/Apriyani tumbuh menjadi ganda putri top dunia.

Mereka mampu bersaing dengan ganda putri Jepang yang sedang jaya-jayanya pada rentang 2017-2018 itu. Termasuk beberapa kali bertemu dengan ganda putri China, Chen Qingchen/Jia Yifan yang menjadi lawan mereka di final Olimpiade.

Ketika mereka tampil di Olimpiade, awalnya mungkin tidak banyak yang menganggap mereka berpeluang meraih medali emas. Sorotan banyak orang lebih tertuju ke ganda putra.

Bukan hanya karena persaingan di ganda putri memang sangat ketat. Tapi juga karena faktor sejarah. Dalam sejarah Olimpiade, ganda putri Indonesia tidak pernah mampu sampai ke babak semifinal.

Tapi, banyak yang mungkin lupa, ganda putri Indonesia dilatih oleh pelatih yang pernah merasakan langsung tampil di Olimpiade. Ya, Eng Hian merupakan peraih medali perunggu di Olimpiade 2004 Athena. Dia bermain di ganda putra bersama Flandy Limpele.

Kala itu, mereka bahkan nyaris ke final sebelum dihentikan ganda Korea, Ha Tae-kwn/Kim Dong-moon yang sedang bagus-bagusnya dan meraih medali emas.

Pernah berjuang dan meraih medali di Olimpiade tentunya membuat Eng Hian tahu jalan untuk berhasil. Tahu kesusahan yang dirasakan atlet saat bermain di Olimpiade.

Dari situ, dia bisa punya formula dan pendekatan mental agar Greysia/Polii bisa melangkah jauh di Olimpiade 2020.

Dan seperti yang kita lihat, daya juang Greysia dan Apriyani selalu 'meledak' di lapangan. Mereka juga mampu tampil kalem dan sabar. Serta, komunikasi mereka di lapangan sangat cair. Mereka terus saling memotivasi ketika dalam situasi tertinggal dan saling mengingatkan agar tidak lengah ketika dalam posisi unggul.

Pada akhirnya, sejarah pun tercipta di Tokyo. Ganda putri Indonesia meraih medali emas untuk kali pertama di Olimpiade. Indonesia Raya berkumandang di Musashino Forest Sports Plaza.

Dan tentu saja, di balik atlet yang hebat ada pelatih hebat yang mendampingi mereka. Jangan lupakan peran mereka.

Karenanya, kapan hari saya cukup sebal ketika membaca narasi foto sebuah media besar tanah air yang menulis "Greysia Polii dan Apriyani Rahayu dari Indonesia merayakan dengan seorang pelatih setelah memenangkan pertandingan". Ah, tidak bisakah menyebut nama pelatihnya.

Terima kasih Greysia dan Apriyani. Terima kasih coach Eng Hian. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun