Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

"New Normal" bagi Pekerja Media, Bagaimana Penerapannya?

21 Mei 2020   11:13 Diperbarui: 23 Mei 2020   05:56 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Begini cara pekerja media di Jerman menjalankan pekerjaannya--theathletic.com

Sejak coronavirus disease (Covid-19) mewabah di negeri ini, pemerintah menyampaikan imbauan agar kita lebih banyak beraktivitas di rumah. Bekerja dari rumah. Belajar dari rumah. Beribadah juga dari rumah.

Ketika ada banyak orang beraktivitas di rumah masing-masing, diharapkan bisa menjadi upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Sebab, tidak banyak warga yang keluar rumah. Apalagi berkerumun yang bisa menjadi ruang penularan Covid-19.  

Namun, tidak semua profesi bisa bekerja dari rumah. Salah satunya profesi jurnalis (wartawan). Dalam proses mendapatkan berita, mereka masih harus datang langsung ke lokasi berita. Masih harus melakukan wawancara langsung dengan banyak orang. Lantas menuliskannya.

Belum lagi bila ada kejadian mendadak di malam hari yang membuat mereka harus meliput. Begadang. Mengabaikan tidur. Bila seperti itu, kondisi tubuh mereka rentan drop. Gampang sakit. Serta berpotensi menurunkan kekebalan tubuh.

Tentu saja itu berisiko bagi para jurnalis. Bahkan, mereka kerap tidak sadar bila ancaman wabah ternyata ada di depan mereka.

Jurnalis, profesi rentan tertular Covid-19

Sampean (Anda) mungkin masih ingat, beberapa waktu lalu, puluhan jurnalis di Bengkulu meminta dilakukan uji swab karena mereka memiliki riwayat kontak dengan pasien positif Covid-19. Mereka tidak tahu bila salah seorang yang diwawancara, tengah menunggu hasil tes swab yang kemudian terbukti positif corona.

Kejadian itu menjadi pesan, bahwa jurnalis merupakan profesi yang rentan tertular Covid-19. Alasannya, para pewarta tersebut sering bertemu banyak orang dan kerap berkecimpung langsung di lapangan.

Kerentanan tersebut akan semakin besar bila jurnalis yang bekerja di lapangan kurang mampu menjaga diri dan abai terhadap protokol kesehatan.

Plus, faktor depresi yang membuat wartawan rentan terpapar wabah ini.

Kiranya tepat hasil survei dari Center for Economic Development Study (CEDS) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran tentang profesi paling rentan terkena depresi di tengah wabah pandemi Covid-19 yang dilakukan pekan lalu.

Dari survei itu, profesi wartawan cenderung mengalami depresi dan kejenuhan umum di tengah pandemi virus corona yang melanda Indonesia. Bahkan, tingkat depresi wartawan lebih tinggi dari tenaga kesehatan.

Melansir dari timesindonesia.co.id, disebutkan, ada sebanyak 45,92 persen wartawan mengalami gejala depresi. Sedangkan 57,14 persen wartawan merasakan kejenuhan umum di tengah pandemi virus corona yang saat ini melanda Indonesia.

"Terdapat 45,92 persen wartawan yang memiliki gejala depresi, jauh lebih tinggi dari tenaga kesehatan sebesar 28 persen," demikian dinyatakan tim survei CEDS FE Unpad dikutip dari timesindonesia.co.id.

Mengubah pola kerja pekerja media, mungkinkah?

Bagaimanapun, wartawan tidak akan bisa mengubah semua rutinitas pola kerja mereka di masa pandemi ini. Semisal semua proses mendapatkan berita dilakukan dari rumah. Mewawancara narasumber dari rumah dan menulis di rumah. 

Memang, dengan kecanggihan teknologi informasi yang ada sekarang, tugas wartawan kini menjadi lebih mudah. Semisal melalui wawancara lewat WhatsApp (WA) maupun melakukan wawancara narasumber melalui video call. Praktis. Juga aman.

Apalagi bila narasumbernya asyik. Semisal berkenan menulis jawaban dengan tulisan lumayan panjang. Sehingga, wartawan tinggal mengirimkan daftar pertanyaan yang akan ditanyakan via WA, lantas menunggu jawaban dari narasumber.

Masalahnya, tidak semua berita bisa ditangani dari rumah. Bagaimana dengan agenda jumpa pers yang dilakukan pejabat pemerintah di kantornya, semisal terkait penanganan Covid-19 di daerahnya?

Tentu saja, wartawan masih harus datang langsung ke lokasi. Mendengarkan pejabat menyampaikan statementnya, lantas bertanya. Dan tentu saja, dalam situasi seperti itu, mereka bertemu dan bersinggungan dengan banyak orang.

Belum lagi bila ada berita yang harus didatangi tempat kejadian perkara (TKP) nya. Semisal bila terjadi kecelakaan lalu lintas, kebakaran, maupun rekonstruksi tindak kejahatan. Tentu saja, wartawannya harus datang ke lokasi untuk mendapatkan berita dan cerita lengkapnya.

Nah, kejadian-kejadian seperti itu tidak bisa hanya dipantau dari rumah. Kecuali bagi 'wartawan pemalas' yang hanya tinggal meminta berita dari rekannya yang datang ke lapangan. Ataupun hanya menunggu 'berita rilis' dari instansi yang mengirimkan rilis.

"New normal" bagi pekerja media

Lalu, bagaimana solusinya agar pekerja media bisa bekerja dengan aman dan nyaman, sesuai tagline yang mereka usung "kalian di rumah saja, biar kami yang mencari berita"?  

Salah satu solusinya, wartawan harus mulai adaptif dengan situasi wabah virus yang terjadi. Caranya dengan memberlakukan "new normal" dalam menjalankan profesi mereka.

Seperti yang disampaikan pemerintah, istilah 'new normal' merupakan pola hidup normal versi baru yang menuntut warga hidup berdamai dan berdampingan dengan pandemi Covid-19.

Penerapannya dalam ranah jurnalistik, para pekerja media tetap bekerja melaksanakan tugasnya di tengah situasi pandemi, tetapi dengan pola kerja yang baru. Pola baru itu mungkin awalnya terdengar aneh. Tapi nanti lama-lama akan terbiasa.  

Bagaimana wujud penerapannya?

Akhir pekan kemarin, saya tertarik dengan foto tentang cara kerja wartawan olahraga di Jerman yang mewawancara seorang pemain maupun pelatih klub Bundesliga Jerman.

Kita tahu, akhir pekan kemarin, Bundesliga Jerman menjadi kompetisi sepak bola elit pertama di Eropa yang kembali bergulir di masa pandemi.
Kembalinya Bundesliga setelah dua (2) bulan 'mati suri' itu menjadi sorotan dunia sekaligus 'panduan' bagaimana 'new normal' diterapkan mereka yang bekerja di lapangan sepak bola. Termasuk bagi pekerja di dunia jurnalistik.

Ada sebuah foto yang menunjukkan, wartawan tengah mewawancara seorang pelatih. Pelatih tersebut berdiri di titik yang sudah ditandai. Sementara wartawannya berdiri berjarak 2 meter dengan pemain. Keduanya memakai masker.

Nah, yang menarik, untuk melakukan wawancara, wartawan memegang semacam 'tiang panjang' yang pada ujungnya diletakkan microphone. Mereka saling bertanya jawab sembari jaga jarak.

Itulah wawancara dengan cara physical distancing. Bila dulunya, wawancara dilakukan jarak dekat, wartawan memegang microphone/alat perekam dan bertanya kepada pemain/pelatih, bahkan ditutup dengan salaman atau tos di akhir wawancara, kini semuanya dilakukan berjarak. Itulah cara wawancara di era new normal.

Tapi itu di Eropa. Di negara yang awak medianya dibekali dengan peralatan canggih dan perlindungan diri maksimal dari perusahaan tempatnya bekerja. Bagaimana di negara kita?

Rasanya, tidak mungkin semua wartawan di negeri ini dilengkapi dengan alat seperti itu. Sebab, tidak mungkin media yang mempekerjakan mereka, bisa punya alat seperti itu dalam jumlah banyak. Bagaimanapun, kemampuan finansial instansi media berbeda-beda.

Toh, masih ada cara "new normal berbasis kearifan lokal" yang masih bisa dilakukan untuk melindungi para jurnalis dalam menjalankan pekerjaannya. Salah satunya ketika jumpa pers.

Dulu, wartawan harus datang ke lokasi jumpa pers. Tidak jarang, mereka duduk berdekatan, bahkan berdiri berdesakan demi mengambil gambar. Bahkan, ada seorang kawan jurnalis bercerita, lha wong ketika pengumuman pemberlakuan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saja, model jumpa pers nya masih seperti itu.

Nah, di era new normal ini, cara jumpa persnya bisa diubah. Tentu saja, yang berubah bukan hanya cara kerja wartawannya. Tapi juga narasumbernya. Salah satunya instansi pemerintah.

Semisal mengubah jumpa pers tatap muka langsung menjadi berbasis teknologi video. Seperti melalui teleconference dari tempat kerja narasumber dengan wartawan di ruang pokjanya.  
 
Atau, narasumbernya bisa merekam keterangan (berita voice) yang ingin disampaikan kepada awak media. Lantas, mengirim keterangan tersebut ke alamat email wartawan masing-masing. Plus didukung keterangan rilis.

Memang, cara ini ada sisi minusnya. Semisal teleconference, tentu tidak akan bisa seluwes jumpa pers biasanya. Atau ketika mengirim rekaman, wartawan jadi tidak bisa bertanya langsung ke narasumber.

Tentu saja itu akan terasa janggal. Tidak luwes. Tapi, itulah cara new normal yang bisa dilakukan. Awalnya janggal, nanti terbiasa. Sembari berjalan, bisa dicari solusinya. Toh, tujuannya demi untuk tujuan lebih besar, agar wartawan dan narasumber aman.

New normal juga tentang berperilaku hidup sehat

Tapi, yang sulit diubah adalah kebiasaan wartawan melakukan wawancara door stop alias 'wawancara cegat'. Jenis wawancara ini dilakukan ketika wartawan bertemu narasumber dan langsung bertanya perihal informasi yang ditanyakan tanpa melalui jumpa pers.

Dalam prakteknya, wawancara gaya ini memang sulit menerapkan physical distancing. Sebab, wartawan dan narasumbernya berdekatan. Bila tidak berdekatan, bagaimana bisa menyampaikan pertanyaan dan mendengarkan jawabannya.

Pendek kata, sulit melakukan wawancara door stop "jaga jarak" seperti yang dilakukan wartawan Jerman di pertandingan Bundesliga pada akhir pekan kemarin. Namun, new normal tentunya tidak hanya tentang perubahan pola kerja.

Melansir dari Kompas.com, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto menyampaikan, istilah new normal lebih menitikberatkan perubahan budaya masyarakat untuk berperilaku hidup sehat.

"New normal adalah perubahan budaya. (Misalnya) Selalu menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS), memakai masker kalau keluar rumah, mencuci tangan, dan seterusnya," ujar Yuri.

Ya, selain menerapkan cara baru dalam menjalankan pekerjaannya demi mendapatkan berita, new normal bagi para pekerja media juga tentang perubahan budaya selama bekerja.

Bahwa, kini, selama mereka bertugas, para pekerja media harus memakai masker. Harus sedia hand sanitizer. Dan bila memungkinkan rajin cuci tangan dengan sabun di lokasi peliputan. Tentunya tetap berusaha menjaga jarak dan membatasi kontak.

Di sisi lain, pihak perusahan media seharusnya juga mengikuti cara new normal ini. Semisal institusi tempat wartawan bekerja tidak mengharuskan wartawan datang ke kantor untuk keperluan absensi maupun rapat selama masa pandemi ini. Toh, rapat bisa diganti melalui diskusi virtual.

Pada akhirnya, dengan wabah ini belum jelas kapan akan berakhir, kita yang masih bekerja di luar rumah (bukan hanya pekerja media), memang harus menjalankan pola hidup normal versi baru. Sebab, itulah cara untuk 'berdamai' dengan situasi wabah ini. Semoga semuanya tetap sehat dan bisa bekerja dengan aman dan nyaman. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun