Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Para Orangtua, Setop Menganggap Anak Sendiri Selalu Benar dan Anak Orang Lain Selalu Salah

11 Februari 2020   09:57 Diperbarui: 15 Februari 2020   19:34 4073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak berantem (thinkstock/vesmil)

Si A ini beberapa kali usil mendadak loncat naik ke punggung anak B berbadan gedhe tersebut. Awalnya, si B tidak memedulikan kelakukan si A itu. Namun, bila terus-menerus dibegitukan tentunya bikin sebal.

Setelah tiga kali diperlakukan yang sama, si B yang kehilangan kesabaran, lantas mengibaskan badan si A tersebut. Terjatuhlah dia. Badannya menghantam lantai kelas.

Karena mendapat laporan dari anaknya, orangtuanya tidak terima. Dia lantas datang ke sekolah. Marah. Memarahi guru. Menyalahkan anak yang berbadan besar tadi. Sementara dia bersikukuh anaknya sama sekali tidak salah.

Singkat cerita, orangtua si anak B tadi juga hadir ke sekolah. Karena tidak mau meladeni omongan orangtua si A, ayahnya anak B tadi meminta pihak sekolah untuk melihat rekaman CCTV yang ada di kelas.

Nah, dari rekaman CCTV tersebut, ketahuan bila pangkal masalah kejadian tersebut si anak A. Demi mengetahui tayangan reka ulang kejadian itu, orangtua A yang awalnya marah-marah di sekolah, lantas meminta maaf. Termasuk meminta maaf ke orangtua si B.

Bila anak bertengkar, penting bagi orang tua untuk melihatnya secara utuh. Tidak hanya berpikiran bahwa anaknya benar sementara anak lainnya salah. Bagaimana jadinya bila orang tua lainnya juga berpikiran seperti itu (Foto: www.appletreebsd.com)
Bila anak bertengkar, penting bagi orang tua untuk melihatnya secara utuh. Tidak hanya berpikiran bahwa anaknya benar sementara anak lainnya salah. Bagaimana jadinya bila orang tua lainnya juga berpikiran seperti itu (Foto: www.appletreebsd.com)
Lalu, apa pelajaran dari kejadian tersebut?
Pelajarannya, percaya kepada anak itu wajib. Sebab, ketika anak merasa orangtuanya percaya kepadanya, tentu mereka juga akan bisa terbuka menceritakan apa yang mereka alami kepada orangtua.

Namun, yang tidak baik adalah ketika terlalu percaya kepada anak tanpa pernah merasa perlu mengetahui bagaimana cerita kejadian sebenarnya yang dialami oleh anak.

Sehingga, bila dirinya menerima laporan dari anaknya perihal kejadian yang dialaminya--yang mungkin tidak diceritakan utuh tapi mengaburkan fakta lainnya--orangtua merasa anaknya selalu benar. Sementara anaknya orang lain dianggap salah.

Orangtua mungkin merasa anaknya sungguh anak manis. Sebab, sepengetahuannya di rumah, anaknya selalu bersikap manis. Tidak banyak omong. Apalagi usil. Terlebih bila orangtua karena saking sibuknya bekerja, tidak pernah tahu karakter anaknya seperti apa. Mungki yang ada di pikirannya, anaknya yang paling baik.

Bila seperti itu, maka orangtua tidak ada bedanya dengan seorang atasan di pemerintahan yang jadi korban ABS. Asal bapak senang. Dimanjakan oleh laporan yang membuatnya senang meski kenyataannya tidak begitu.

Karena tidak pernah tahu fakta sebenarnya yang terjadi di lapangan, si atasan itu dengan mudahnya dikibuli anak buahnya yang selalu mengatakan segalanya baik. Baru ketika terjadi kejadian jelek, si atasan baru tersadar bila selama ini dirinya dikibuli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun