Ada guru yang dimarahi bahkan dianiaya orang tua murid karena tidak terima anaknya diperlakukan 'kurang baik'. Ada guru yang bahkan harus duduk di kursi pengadilan karena dilaporkan orang tua murid.
Bahkan, ada guru yang dianiaya muridnya sendiri hingga kehilangan nyawanya. Seperti awal Februari 2018 silam, kita dikejutkan oleh kabar meninggalnya seorang guru SMK di Sampang, Madura, karena dianiaya oleh muridnya sendiri.
Terbaru, pada pertengahan Oktober 2019 lalu, seorang guru di SMK di Manado meninggal usai ditikam muridnya sendiri. Sang guru berusia 54 tahun itu dihajar usai menegur sang murid yang merokok di lingkungan sekolah pada 21 Oktober lalu. Sempat dilarikan ke rumah sakit, tetapi pak guru tersebut meninggal pada malam harinya seperti dikutip dari https://www.tribunnews.com/pendidikan/2019/10/29/guru-smk-ichthus-manado-tewas-ditikam-murid-kemendikbud-tutup-sekolah-hingga-para-siswa-dimutasi.
Mengapa nasib guru sekarang banyak yang menyedihkan. Terutama dalam kapasitasnya sebagai guru yang seharusnya menjadi 'orang tua' di sekolah?
Kiranya ada banyak jawaban untuk menjawab pertanyaan itu. Jawaban yang bermuara pada satu hal, bahwa para pelaku di dunia pendidikan era sekarang, kini tidak bisa disamakan dengan zaman dulu.
Pertama tentang murid. Menjadi pertanyaan serius, betapa murid di era sekarang ini sudah berani melawan guru. Bukan hanya berani dalam artian berani mendebat. Tapi juga berani melakukan kekerasan fisik pada gurunya.
Hampir setiap hari mengantar anak-anak ke sekolah juga menjemput sewaktu pulang dan terkadang 'nongkrong' di sekolah, membuat saya bisa mengamati tingkah pola anak-anak. Termasuk ketika mengantar si sukung ekstrakurikuler futsal di sekolahnya.
Dari hasil pengamatan itu, saya bisa menyimpulkan bahwa anak-anak sekarang sering marah, mudah tersinggung, sering membantah, serta pendendam.
Hanya karena tersenggol yang tidak disengaja saja, bisa marah bukan main. Sekadar ditepuk bahunya pelan saja, bisa langsung mengamuk. Gara-gara saling meledek, bisa bermusuhan berhari-hari. Mendendam.
Usut punya usut, sifat mudah marah di sekolah itu tidak lepas dari kebiasaan mereka memainkan gawai. Meski pasti ada penyebab lainnya. Apa hubungannya? Bagi mereka, memainkan gawai tidak dianggap untuk bersenang-senang. Tapi untuk menang-menangan. Bila kalah, bisa marah luar biasa.
Belum lagi penyebutan nob yang bisa dengan mudah membakar emosi. Sebutan nob itu seolah dianggap bodoh. Padahal, maknanya tidak beda jauh dengan newbie alias masih pemula atau awam.