Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Pelajaran Respek dari Lemparan Botol Gubernur dan Tangisan Son Heung-min

5 November 2019   08:35 Diperbarui: 5 November 2019   12:24 2505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lihat bagaimana pemain-pemain Everton memperlakukan Son yang telah melakukan tekel sehingga rekan setim mereka cedera. Mereka tidak menyalahkan Son. Tidak ada insiden mendorong-dorong badannya di lapangan. Apalagi sampai ada bogem mentah ke wajahnya. Tidak ada.

Malah, mereka memberikan penghiburan kepada Son. Mereka seperti paham bahwa Son juga sangat terpukul dengan cedera parah yang menimpah Andre Gomes itu. Itulah bentuk respek. Ada rasa empati antarpemain yang boleh jadi pernah berada di posisi Son.

Mengapa Son justru diperlakukan baik oleh pemain-pemain Everton meski dia ikut andil dalam cederanya Andre Gomes?

Karena, Son juga memperlihatkan respek luar biasa. Dia langsung bangkit karena ingin menolong. Dia menyesal luar biasa dan menangis sesenggukan melihat ada pemain lain yang cedera parah. Bahkan, tidak memedulikan diberi kartu merah.

Andai setelah kejadian tekel itu, Son cuek saja dan memperlihatkan rasa tidak bersalah, lantas bereaksi karena dikartu merah, pemain-pemain lainnya pasti akan kehilangan respek kepadanya. Namun, karena dia meperlihatkan respek dan empati, pemain lain ikut merasakan perasaan yang dirasakannya.

Dalam kejadian itu, tidak ada lagi pemain Tottenham atau Everton. Yang ada adalah pesepak bola yang saling respek karena memiliki perasaan sama demi melihat horor paling mengerikan di lapangan. Horor yang bisa saja mereka alami.

Lihat, bila respek yang dinomorsatukan di lapangan, urusan menang-menangan yang menjadi tujuan pertandingan, menjadi tidak lagi yang utama. Ia kalah oleh rasa persaudaraan antar pemain. Sebab, apalah artinya menang bila ada pemain yang mengalami musibah di lapangan.

Terkait hal ini, saya pernah membaca buku berjudul "Blue Ocean Strategy". Banyak yang menganggap buku karya pasangan dosen dan murid, W. Chan Kim dan Renee Mauborgne itu sebagai antitesis dari pemikiran tentang hidup yang selama ini berkembang.

Bahwa, bila selama ini kebanyakan orang menganggap hidup bak kompetisi yang dilakoni dengan mengalahkan satu persatu lawan, maka buku "Samudera Biru" ini kebalikannya.

Buku ini seolah menegaskan, ada hal yang salah di balik cara berpikir seperti itu. Hidup mungkin harus dijalani dengan berkompetisi. Tapi tidak dengan cara memukul lawan. Tidak harus selalu dengan cara mengalahkan lawan.

Konsep "Samudera Biru" ini lebih menekankan pada sebuah loncatan. Bahwa kita dituntun untuk mencari celah. Bukan sekadar bertarung berhadap-hadapan demi menjadi yang terbaik. Tetapi mencari celah demi tetap menjadi pemenang. Minimal jadi pemenang untuk diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun