Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Italia dan Pelajaran "Berdamai" dengan Kegagalan

17 Oktober 2019   14:01 Diperbarui: 17 Oktober 2019   21:06 1855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jorginho (8) dan Verratti, menjadi pemain penting Italia di bawah kepelatihan Mancini/Foto: The Bangkok Post

Menang, kalah, gagal ,atau juara, itu urusan biasa dalam olahraga. Seperti bahagia dan sedih yang datang silih berganti dalam hidup. Bahwa, seperti hidup, panggung olahraga juga berputar dinamis. Kadang berjaya. Kadang merana.

Ia tak selalu memberikan kenangan manis. Sesekali, ia bisa membuat siapapun menangis. Siapapun. Baik mereka yang sudah mapan alias sering juara. Maupun mereka yang masih belum punya sejarah apa-apa.

Toh, kegagalan apapun yang terjadi, seperti kata The Beatles, cukuplah mengucap mantra sakti: "Let it be...let it be...let it be". Biarkan itu berlalu. Bahwa, bagi orang-orang yang percaya hidup itu bergerak naik turun dan kembali naik, kesalahan di masa lalu sejatinya tidak akan merusak semua harapan.

Cukuplah kesalahan itu menjadi penuntun untuk menemukan semangat baru. Sebab, selalu ada kesempatan untuk membuat cerita baru di lain waktu. Selalu ada kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya bagi mereka yang memang mau belajar dari kesalahan.

Timnas sepak bola Italia pernah merasakan betapa lapangan sepak bola yang selama ini acapkali memberi mereka kegembiraan dan kebanggaan, bisa berubah menjadi sangat jahat. Italia pernah merasakan pahitnya kegagalan. Sebuah kegagalan yang bahkan tidak sesederhana tulisannya. Teramat pahit untuk dirasakan.

Di Stadion San Siro di Kota Milan pada 13 November 2017 silam, hati rakyat Italia hancur demi melihat Timnas mereka gagal lolos ke Piala Dunia 2018. Italia gagal usai hanya mampu bermain 0-0 dengan Swedia pada laga play off kedua. Padahal, mereka harus membalikkan kekalahan 0-1 di Swedia pada laga play off pertama.

Masih terekam kuat dalam ingatan, bagaimana suasana sedih ketika laga itu berakhir. Betapa kiper senior, Gianluigi Buffon, melangkah meninggalkan lapangan dengan menangis. Begitu juga beberapa pemain Italia lainnya. Ada yang terkulai lemas di lapangan. Ada yang menutupi wajahnya dengan jersey biru Azzurri sembari menutup mukanya. Pedih.

Belajar dari kegagalan, Italia membangun kembali timnasnya
Memang, itu kegagalan yang sungguh pahit. Untuk kali pertama sejak tahun 1958, Italia hanya akan menjadi penonton Piala Dunia. Negara Eropa yang paling sering jadi juara di Piala Dunia ini gagal lolos. Kegagalan itu juga bak menjadi puncak dari cerita 'jalan di tempat' sepak bola Italia dalam beberapa tahun terakhir. Bahwa, Italia perlu berubah bila ingin kembali menjadi 'raja sepak bola Eropa'. Bahkan dunia.

Namun, dari episode gagal tersebut, Italia (dalam hal ini FIGC-PSSI nya Italia) bisa banyak belajar. Italia bisa memungut pelajaran mahal. Sekaligus, belajar menemukan jalan keluar untuk memperbaiki kondisi sepak bola mereka yang sempat amburadul.

Setelah momen pilu di San Siro itu, FIGC bergerak cepat memperbaiki sepak bola mereka. Mereka tidak mau terus bersedih meratapi kegagalan. FIGC ingin "berdamai" dengan kegagalan. 

Italia ingin segera move on dari hasil pahit itu. Bahwa, kegagalan itu bukanlah akhir dunia. Sebab, masih ada Piala Dunia Piala Dunia lainnya. Seperti tulisan kolumnis Italia, Massimo Gramellini di Corriere della Sera: "It's not the end of the world. It's not the end of a World Cup."

Nah, langkah pertama yang dilakukan FIGC untuk berdamai dengan kegagalan adalah mengganti 'sopir'. FIGC ingin punya 'sopir' alias pelatih baru yang tepat. Sebab, banyak yang menilai, kegagalan Italia lolos ke Piala Dunia 2018 karena imbas dari kesalahan menunjuk Giampiero Ventura sebagai pelatih.

Ventura yang kala itu berusia 69 tahun, strateginya dianggap sudah usang. Skema main 3-5-2 yang menumpuk pemain tipikal bertahan, tidak lagi sesuai dengan sepak bola masa kini. Nyatanya, Italia sulit sekali mencetak gol. Celakanya, pertahanan mereka juga tidak kokoh.

Ketika Italia kesulitan menembus pertahanan Swedia di San Siro, media menyoroti mengapa Ventura lebih memainkan gelandang bertahan seperti Danielle De Rossi ketimbang Lorenzo Insigne, salah satu talenta muda menonjol Italia. Bahkan, media menggambarkan De Rossi yang akan masuk ke lapangan, sempat menengok ke arah Insigne. Seolah berkata: "kamulah yang seharusnya bermain". 

Roberto Mancini (kanan), ditunjuk menjadi pelatih Italia. Penunjukan Mancini menjadi awal perubahan di Timnas Italia/Foto: Sport360
Roberto Mancini (kanan), ditunjuk menjadi pelatih Italia. Penunjukan Mancini menjadi awal perubahan di Timnas Italia/Foto: Sport360
Cerita berikutnya, enam bulan setelah petaka di San Siro, FIGC menunjuk Roberto Mancini sebagai pelatih. Mancini menggantikan Luigi Di Bagio yang sebelumnya menjadi caretaker setelah Ventura mundur. 

Mancini resmi melatih Timnas Italia pada 14 Mei 2018. Targetnya jelas. Dia harus bisa membawa Italia lolos ke Piala Eropa 2020. Bila berhasil, kontrak kerjanya akan diperpanjang.

Dengan CV yang dimiliki Mancini, mantan penyerang saat menjadi pemain dan pernah melatih klub-klub besar, bahkan juara bersama Inter Milan, Manchester City, Galatasaray, juga Fiorentina dan Lazio, ada harapan Italia akan bermain sebagai tim masa kini. Bukan tim jadul.

Bangkit dari gagal itu tidak mudah, butuh waktu yang menguji kesabaran
Mancini langsung paham masalah Italia. Bahwa, salah satu kendala adalah peremajaan pemain yang tidak jalan. Sebelumnya, di era Ventura, pemain-pemain muda Italia jarang mendapatkan kesempatan bermain sebagai pemain inti.  

Maka, pelatih berusia 54 tahun ini pun menerapkan kebijakan baru. Dia lebih mengedepankan pemain-pemain muda. Tentunya dengan tetap menyelipkan pemain senior. Kebetulan, beberapa pemain senior juga pensiun pascagagal lolos ke Piala Dunia. Selain Buffon, juga ada De Rossi dan Andrea Barzagli yang pensiun. Ketiganya bagian dari tim Italia saat jadi juara Piala Dunia 2006.

Mancini lantas memasukkan beberapa anak muda seperti Nicolo Barella (22 tahun), Gianluca Mancini (23 tahun), Lorenzo Pellegrini (23 tauhun), Alessio Romagnoli (24 tahun), Stefano Sensi (24 tahun),  Andrea Belotti (25 tahun), Federico BErnardeschi (25 tahun), hingga Moise Kean (19 tahun).

Sementara untuk pemain senior, Mancini masih percaya pada bek Leonardo Bonucci (31 tahun), kiper Salvatore Sirigu (32 tahun), penyerang Ciro immobile (29 tahun). Bahkan, striker sarat pengalaman, Fabio Qaugliarella (36 tahun), juga sempat dipanggil.

Mancini juga diuntungkan dengan penampilan apik beberapa pemain yang berada di "usia emas". Di antaranya Jorginho (27 tahun), Marco Verratti (26 tahun), dan Lorenzo Insigne (28 tahun). Dengan kualitas pemain tiga lapis itulah, Mancini membangun kembali tim Italia.

Jorginho (8) dan Verratti, menjadi pemain penting Italia di bawah kepelatihan Mancini/Foto: The Bangkok Post
Jorginho (8) dan Verratti, menjadi pemain penting Italia di bawah kepelatihan Mancini/Foto: The Bangkok Post
Toh, membangun kembali tim yang sempat ambyar, tidaklah mudah. Butuh waktu yang menguji kesabaran. Mancini merasakan, betapa sulitnya membentuk sebuah tim menangan di awal-awal kepelatihannya. Utamanya ketika melawan tim-tim yang tengah berada di puncak penampilan.

Italia memang dibawanya menang 2-1 atas Arab Saudi di laga uji coba yang menjadi debut kepelatihannya pada 28 Mei 2018. Namun, tiga hari kemudian, Italia dihajar tim kuat Prancis 1-3 (1/6). Lantas, bermain 1-1 dengan Belanda (4/6).

Tren sulit menang itu berlanjut di tiga laga berikutnya. Di laga awal Nations League yang digagas UEFA, Italia bermain 1-1 dengan Polandia, lalu kalah 0-1 dari juara Eropa. Berikutnya, menang 1-0 atas Polandia dan ditahan Portugal 0-0. Italia hanya jadi runner-up Grup 3 (di bawah Portugal) dan gagal lolos ke babak berikutnya.

Menang beruntun di kualifikasi, Italia lolos cepat ke Piala Eropa 2020
Toh, Nations League tersebut menjadi momentum tepat bagi Mancini untuk "memanaskan mesin" Italia jelang tampil di Kualifikasi Piala Eropa 2020, pertandingan yang sebenarnya.

Yang terjadi kemudian, Italia yang di babak kualifikasi berada di Grup J bersama Finlandia, Armenia, Bosnia Herzegovina dan Yunani, langsung tampil gas pol. Semua lawan di Grup J berhasil dikalahkan. Italia meraih kemenangan beruntun dalam enam laga.

Hingga, pada akhir pekan kemarin, Italia memastikan lolos cepat ke putaran final Piala Eropa 2020. Kemenangan 2-0 atas tim juara Piala Eropa 2004, Yunani di Roma pada 13 Oktober, memastikan Italia lolos dengan masih menyisakan tiga pertandingan.

Menariknya, kelolosan itu tidak membuat Italia bersantai. Italia masih haus kemenangan. Tiga hari kemudian, Italia tetap tampil gas pol. Azzurri menang telak 5-0 atas tuan rumah Liechtenstein (16/10) lewat dua gol Belotti, satu gol Bernardeschi dan El Shaaraway, plus Romagnoli.

Ini kemenangan kesembilan beruntun Italia di era Mancini. Dan itu menyamai rekor kemenangan Vittorio Pozzo yang dibuat pada 1938-1939 silam. Bagaimana reaksi Mancini?

Ketika diwawancara Rai Sport, Mancini mengaku bangga bisa menyamai rekor kemenangan Pozzo. Namun, dia mengaku belum ada apa-apanya dengan Pozzo yang pernah membawa Italia dua kali menenangi Piala Dunia. 

"Bisa menyamai rekor kemenangan Pozzo memang menyenangkan. Tapi, saya lebih suka bila bisa menyamai rekornya memenangi dua Piala Dunia," ujarnya.

Kini, Italia masih punya sisa dua pertandingan di kualifikasi. Away melawan Bosnia (16/11) dan menjamu Armenia (19/11). Mancini sudah berhasil melalui tugas pertama membawa Italia lolos ke putaran final EURO 2022. Dia telah berhasil membawa Italia berdamai dengan kegagalan. Italia bisa move on dengan manis dari petaka pahit.

Namun, Mancini masih punya pekerjaan rumah (PR). Sebuah PR yang menyenangkan. Yakni, memilih siapa saja pemain yang akan dibawanya tampil di EURO 2020. Karena memang, Italia kini punya banyak pemain muda yang potensial menjadi bintang. Mereka mungkin belum setenar senior mereka saat juara dunia 2006 silam. Tapi, siapa tahu, Piala Eropa tahun depan bisa menjadi momentum mereka menjadi bintang.

Tentu saja, itu PR yang tidak mudah bagi Mancini. Dia mungkin akan kebingungan menentukan siapa saja yang akan masuk tim. Toh, itu PR yang jauh lebih menyenangkan ketimbang harus tampil di laga play off seperti yang dialami Ventura dulu.

Italia membuktikan telah mampu bangkit dari episode kelam dalam sejarah sepak bola mereka. Awalnya tidak mudah. Karena memang, masa transisi untuk berdamai dan berlari meninggalkan kegagalan, tidak pernah mudah.

Namun, dengan belajar dari kesalahan masa lalu melalui pemetaan apa saja masalah yang harus dibenahi. Lantas, melakukan pendekatan dan menerapkan solusi yang tepat, Italia pun kini bisa tersenyum lagi. 

Persis seperti bunyi kata bijak. "There are no secrets to success. It is the result of preparation, hard work, and learning from failure". Ya, untuk sukses itu sejatinya tidak ada rahasianya. Sebab, sukses hanyalah 'buah' dari persiapan matang, kerja keras, dan belajar dari kegagalan. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun