Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Viral Pungli Buku Nikah dan "Budaya Lama" yang Masih Dipelihara

4 September 2019   08:22 Diperbarui: 4 September 2019   17:52 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pungutan liar, budaya lama yang seharusnya tidak lagi dipelihara. Sebab, masyarakat kini bisa menjadi 'pengawas'/Foto: Tribun Jakarta

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah menyatakan "perang" terhadap praktik pungutan liar yang sebelumnya acapkali terjadi di instansi pemerintahan, utamanya yang berkaitan dengan pelayanan publik. 

Presiden Joko Widodo juga beberapa kali menyampaikan tidak akan menoleransi pungutan liar dan akan menindak tegas pelakunya.

Namun, kenyataan yang terjadi, meski sudah diupayakan dimasukkan dalam peti, praktik pungli ternyata belum sepenuhnya mati. Pungli terkadang masih bergentayangan. Semangat besar untuk memerangi pungli, terkadang masih kalah dengan watak individu pelakunya yang masih belum move on dari budaya lama.

Faktanya, hingga kini, kita masih seringkali mendengar kabar dari media perihal pungli dalam pelayanan publik. Terbaru, kita dikejutkan oleh kabar kasus pungli biaya duplikat buku nikah yang terjadi di Kantor Urusan Agama (KUA) Karang Pilang, Surabaya. 

Kasus ini mendapat sorotan banyak pihak. Bahkan, Menteri Agama, Lukman Hakim Syaifudin sampai turun tangan untuk ikut menyelesaikan masalah yang menjadi viral di media sosial ini.

Dikutip dari kelanakota.suarasurabaya.net, viralnya kasus ini bermula ketika warga bernama Apriska Afiolita memposting buku nikahnya yang terbakar melalui akun twitter pada Senin (2/9/2019). Dia berkisah, sebelumnya, rumahnya terbakar pada Rabu (28/8) yang menghanguskan seluruh isi rumahnya, termasuk buku nikahnya.

Karena menikah belum lama, Apriska mengaku belum sempat meng-copy buku nikah yang tersisa sampulnya saja tersebut. Untuk itu, dia berniat mengurusnya ke kepolisian agar mendapat surat keterangan sehingga bisa mengurus buku nikahnya di KUA.

Namun, ketika mengurus di KUA, dia mengalami pengalaman yang membuatnya kaget. Dia lantas menceritakan pengalamannya di KUA ketika akan mengurus buku nikahnya tersebut melalui postingan di twitter.

Bunyi kalimat postingannya begini: "minggu lalu kami kena musibah, SEMUA DOKUMEN habis. hari ini akan mengurus ke KUA utk duplikat buku nikah. ternyata dikenakan biaya untuk duplikat buku nikah Rp 250,000. Padahal tertulis di dinding KUA: Duplikat Buku Nikah = Rp 0".

Selain me-mention akun twitter radio berita terkenal di Surabaya, @e100ss, dia juga juga me-mention akun twitter Kementerian Agama, @Kemenag_RI, @KPK_RI dan juga Menteri Agama, @lukmansaifuddin. Postingan itu direspons ramai oleh warganet. Sudah ada lebih 7.000 retweet dan mendapatkan lebih dari 300 komentar.

Menurut penjelasan Apriska seperti dikutip dari laman berita kelanakota.suarasurabaya.net, ketika petugas yang melayaninya menyampaikan bahwa mengurus surat nikah berbentuk lembaran ada biaya Rp100 ribu dan jika mengurus surat nikah sama seperti bentuk semula ada biaya Rp250 ribu, dia sebenarnya tidak masalah. Masalahnya, dia melihat tulisan informasi di dinding bahwa (pengurusan) duplikat buku nikah Rp 0. 

Namun, ketika menyampaikan hal itu, Apriska yang tengah dalam kondisi hamil, harus menahan marah demi mendengar jawaban petugas. Sebab, dia lantas diarahkan ke 'meja' yang lain. Lalu, kembali ditanya kronologisnya dan dijawab dengan kalimat dia akan dibantu pengurusan dokumennya tetapi ada biaya Rp 250 ribu bila buku nikahnya berbentuk buku. Sementara bila hanya berbentuk lembaran biayanya seikhlasnya alias gratisan.

Yang terjadi kemudian, Selasa pagi kemarin, Apriska menerima direct message (DM) dari Menteri Agama yang meminta mengirimkan nomor handphone. Pak menteri bahkan langsung menelepon Apriska. 

"Pak Lukman Menag telepon saya tadi Subuh. Tanya kronologinya bagaimana dan mengatakan akan menindaklanjuti serta menyelidiki kasus ini. Saya juga sudah sudah tweet kalau kasus saya ini sudah direspon oleh Menag," ujar Apriska seperti dikutip dari kelanakota.

Pungli budaya lama, kenapa masih dipelihara?

Bagi saya, mencuatnya kasus pungli buku nikah tersebut cukup mengejutkan. Pernah bekerja di instansi pemerintahan di Surabaya, membuat saya cukup paham, bahwa sejak beberapa tahun lalu, 'perang melawan pungli' ini sudah seringkali digembor-gemborkan di hampir semua instansi pemerintah di Surabaya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KP) juga beberapa kali wira-wiri datang ke Surabaya untuk membagikan informasi dan juga edukasi perihal jerat korupsi, termasuk imbauan agar para abdi masyarakat menjauhi praktik pungli.

Bahkan, bila kita mengurus hal yang berkaitan dengan layanan publik, semisal  administrasi kependudukan, kita bisa dengan mudah menemukan informasi ataupun stiker perihal larangan pungli tersebut di kantornya. Lha wong informasi itu memang sengaja ditempelkan di tempat yang mudah dilihat oleh mata.

Karenanya, saya cukup terkejut. Kok ya masih ada 'pelayan masyarakat' yang masih berani melakukan pungutan liar. Seharusnya, para petugas itu sadar bahwa eranya kini sudah berubah.

Memang, dulu, pungutan liar seolah menjadi kebiasaan yang bahkan dianggap bagian dari budaya. Bahwa setiap mengurus apa-apa terkait urusan publik, harap maklum bila ada biayanya. Sampean (Anda) mungkin juga pernah merasakan menjadi korban pungli.

Zaman dulu, pungutan liar seolah dianggap prosedur yang biasa. Malah, petugas seolah punya kuasa untuk melakukan pungli. Bahwa, kalau mau urusan beres, ya harus bayar dulu. Meski sejatinya urusan itu bisa selesai tanpa perlu bayar.

Sementara, banyak warga yang menurut saja. Mereka pasrah karena berpikir yang penting urusan bisa selesai, daripada ribet. Malah ada yang memberi pungli dengan sukarela. 

Semisal bila jumlah pungutannya tidak terlalu besar, mereka menganggap itu "duit terima kasih" karena sudah dilayani. Padahal, sebagai aparatur pemerintah, para petugas itu tentu saja sudah mendapat gaji bulanan.

Namun, sekarang ini, saya yakin sudah ada banyak aparatur pemerintah yang sudah meninggalkan pungli dalam melayani masyarakat. Kalaupun masih ada yang berani melakukannya, mereka mungkin berpikiran, toh tidak akan ketahuan karena mereka berada di wilayah kelurahan yang tentu saja jauh dari perhatian. 

Kini zamannya sudah beda, semua orang bisa jadi "wartawan"

Padahal, pendapat "toh tidak akan ketahuan" itu salah besar. Sekarang, zamannya sudah berbeda dengan dulu. Kini, dalam kaitan dengan pungli, sudah tidak berlaku lagi prinsip "kalau ada yang mengawasi akan bekerja sesuai aturan, sementara bila tidak ada yang mengawasi akan berani melakukannya".

Apa yang berbeda dengan zaman dulu dan sekarang? Sekarang, pengawasannya jauh lebih ketat. Bukan hanya tentang ketegasan pemerintah untuk mewanti-wanti agar para petugas pemerintah yang melayani masyarakat, tidak lagi melakukan pungli karena menyalahi aturan.

Namun, yang harus dipahami oleh petugas pemerintah, pengawasan kini tidak hanya dilakukan oleh atasan mereka ataupun lembaga KPK. Kini, masyarakat pun bisa ikut mengawasi langsung.

Seharusnya oknum yang masih gemar memungut pungli, sudah mulai sadar bahwa di era media sosial seperti sekarang, semua orang kini bisa jadi 'wartawan'. Dengan berbekal punya akun twitter, Instagram atau Facebook, masyarakat kini bisa melaporkan apa saja yang mereka alami seperti halnya wartawan. 

Seorang wartawan yang jujur dan tidak akan bisa diiming-imingi 'amplop'. Lha wong mereka menuliskan sendiri apa yang mereka alami di 'media' mereka itu.

Ya, seperti kisah Apriska dan pengurusan buku nikah terbakar yang viral tersebut, bila di zaman dahulu kala, cerita seperti ini tidak akan pernah terjadi. Bilapun kita kecewa dengan pelayanan dalam mengurus dokumen, paling keluhan kita hanya berupa cerita dari mulut ke mulut yang lantas menguap tanpa ada tindak lanjut.

Namun, kini ceritanya berbeda. Kini, banyak orang yang sudah lebih cerdas dan lebih berani menyampaikan apa yang menurut mereka tidak tepat. Utamanya dalam hal pelayanan publik. Mereka merasa tidak perlu lagi mengirim cerita yang mereka alami ke surat pembaca di media massa. 

Tapi, mereka hanya perlu menuliskannya di akun media sosial, lantas me-mention instansi terkait ataupun tokoh penting yang menaungi urusan tersebut. Dan, dalam sekejap saja, kita bisa melihat bagaimana media sosial bekerja.

Akan ada banyak orang yang merasa senasib dan punya harapan lebih, lantas ikut berkomentar sehingga cuitan tersebut bisa menjadi tersebar luas/viral. Belum lagi bila kasus itu mendapat perhatian langsung dari pejabat diatasnya, apalagi sekelas menteri ikut turun tangan. 

Seperti kasus pengurusan buku nikah tersebut, dikutip dari detik.com, Kanwil Kemenag Jatim ikut bersuara. Dia menekankan bahwa eranya sekarang sangat dibutuhkan transparansi dan sesuai regulasi. "Kalau biayanya tidak ada ya katakan tidak ada. Jangan menambah-nambahi. 

Oleh karena itu kita harus mengambil pelajaran dari peristiwa ini," ujar Kepala Bidang Urusan Agama Islam dan Bimbingan Syariah Kanwil Kemenag Jatim, Atok Illah, seperti dikutip dari detik.com.

Bila sudah menjadi viral seperti itu, para oknum petugas yang melakukan pungutan liar, tidak hanya akan malu besar tetapi juga terancam terkena sanksi. Karenanya, ketika masyarakat kini semuanya bisa menjadi 'wartawan', apa iya masih ada yang berani bermain pungli? Salam.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun