Mohon tunggu...
Leonardi Gunawan
Leonardi Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan

Warga Negara Biasa Yang Ingin Indonesia Ke Piala Dunia

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Buruh Bangunan, Katalisator Pembangunan yang Terlupakan

30 April 2017   00:18 Diperbarui: 30 April 2017   00:34 1847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://hafidzyusoff.blogspot.co.id

Sebentar lagi tepatnya 1 Mei, kita akan memperingati Hari Buruh Internasional dan juga diperingati secara Nasional. Terbayang kalau kita memperingati hari buruh yang terlintas di benak kita adalah demo dimana – mana menuntut perbaikan kesejahteraan. Pabrik-pabrik besar akan tutup, merelakan pekerjaanya untuk ikut berdemo. Sedang mereka para pemakai jalan umum sudah berfikir, mencari jalan alternatif karena ditakutkan terjebak macet.

Buruh yang berdemo tersebut identik dengan para buurh pabrik, mereka dihimpun dalam serikatnya masing – masing. Jadi terorganisir dan secara nasional mempunyai struktur yang lumayan jelas. Termasuk dalam hal iuran anggota dan pendanaan.

Tetapi diluar hiruk – pikuk semua itu , ternyata ada juga buruh yang umumnya tidak pernah terganggu dengan segala demo yang ada. Dialah buruh bangunan atau pekerja bangunan,  mereka inilah sebenarnya sang katalisator pembangunan sejati.

Tanpa adanya buruh bangunan, tidak ada bangunan gedung yang bisa berdiri. Tanpa buruh bangunan jembatan – jembatan tidak mungkin terbangun. Tanpa buruh bangunan segala terminal dan pelabuhan besar tidak akan bisa terwujud. Tanpa adanya buruh bangunanm jalan – jalan kita tidak akan nampak mulus. Walaupun sepintar apapun yang namanya Arsitek, sehebat apapun perencanaan, sehebat apapun Insinyur Sipil yang menghitung dan merancang metode. Kalau tidak ada mereka semuanya omong kosong. Lebih baik hanya memiliki 1 insiyur tetapi memiliki 100 buruh yang pandai daripada memiliki 100 insinyur dan 1 buruh.

Para buruh, merekalah yang sebenar – benarnya berjuang membangun negeri ini. Dari kota besar sampai ke pelosok semua ada. Tanpa banyak bicara, tanpa banyak menuntut ini itu kepada pemerintah, tanpa heboh demo dimana – mana, tanpa cengeng meratapi nasibnya. Mereka tetap bekerja siang malam sesuai dengan kompetensi yang mereka punya. Jarang mengeluh, bekerja, bekerja dan bekerja. Karena bagi merekalah waktu adalah uang, tidak bekerja jelas tidak dibayar. Titik.

Bagaimana sebenarnya kehidupan buruh bangunan, sedikit disini penulis kasih gamabaran. Kita ambil contoh dalam pembangunan gedung – gedung tinggi di Jakarta saja, untuk mempermudah pemahaman. Para buruh ini biasanya dikoordinasikan langsung oleh mandor-mandornya. Mandor – mandor inilah yang mempunya hubungan langsung dengan ( biasanya) pihak kontraktor. 

Jadi kalau ada proyek pihak kontraktor akan menghubungi mandor yang sudah biasa bekerja dengan mereka. Antara Kontraktorlah terjadi kesepakatan harga pekerjaan dan berapa jumlah buruh yang harus disiapkan. Pembayaran biasanya adalah satuan volume (borongan), jadi berapa hasil yang diperoleh mandor itulah yang dibayar ke kontrakor. Setelah deal lalu mandor ini mengumpulkan para buruh. Biasanya mandor ini mengambil buruh tersebut yang berasal dari satu daerah tempat mereka tinggal dan bisa jadi satu kampung.

Mengenai upah buruh, tentunya tidak mengacu kepada ke segala peraturan yang sering disuarakan oleh pemerintah dan serikat kerja. Pembayaran dari mandor ke buruh yang sering dipakai adalah metode harian berkisar antara Rp 100.000,- perhari ( kenek), Rp 125.000,-(Tukang), Rp 150.000,-(Kepala Tukang).  Jadi bagi mereka tidak ada namnya UMR dan UMP. Bagaimana kalau kerja lembur? Normal bekerja bagi mereka adalah jam 8 pagi sampai jam 4 sore ( dihitung 1 hari) kalau lembur sampai jam 6 sore akan dihitung 1.5 hari dan kalau sampai jam 10 dihitung 2 hari. Kalau karena faktor keadaan mendesak mereka juga harus siap bekerja satu hari full (24 jam) dan mereka akan dibayar 4 hari kerja. APa mungkin kondisi tersebut mungkin saja. Terutama pekerjaan pengecoran dimana lalu lintas mobil molen lebih banyak pada malam menjelang subuh ( menghindari jalan macet).

Bagaimana mereka tinggal selama bekerja di kota? Apakah ada mess? Ada rusun atau apartemen? Tentu saja tidak, mereka akan tinggal di sekitar area proyek, Barak pekerja/bedeng lah tempat tinggal mereka. Gimana kondisinya? Kondisinya adalah asal tidak bocor pas lagi hujan, bisa untuk tempat tidur, dan ada kamar mandi. Sesederhana itu saja. Fasilitas yang lain? Nyaris tidak ada atau bawa sendiri.

Bagiamana mereka makan? Apakah mereka masak sendiri? Atau mereka catering? Tidak !. mereka biasanya makan diwarung-warung yang ada di dalam proyek. Warun- warung ini sengaja diadakan oleh pihak kontraktor bekerja sama dengan pihak luar. Para buruh ini makan 3 kali sehari di warung ini. Setiap makan minum mereka dicatat ( mereka utang) kemudian pas hari bayatar para mandorlah yang menutupi utang mereka. Setelah dipotong utang ke warung barulah buruh menerima gaji bersih mereka.

Lantas kalau misalnya saat itu tidak ada pekerjaan/proyek tidak ada? Apakah mereka dibayar oleh kontraktor/mandor? Tentu saja tidak.mereka sebagian besar adalah pekerja musiman. Barangkali kalau mandornya sudah besar dan menilai kemampuan anak buahnya bagus. Maka disaat tidak ada pekerjaan mandor bisa saja menggaji mereka ala kadarnya ( ½ dari penghasilan) mereka rata – rata saat bekerja. Selebihnya para buruh ini akan kembali menjadi petani di desa sambil menunggu peluang kerja yang baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun