Mohon tunggu...
Gwyneth Mandala
Gwyneth Mandala Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta

luscus cultricem.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menerawang Persoalan Sosial Melalui Kacamata Sastra; Bersama Sastra Saya Meracau

24 Maret 2021   20:31 Diperbarui: 24 Maret 2021   21:03 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pijataa.blogspot.com

"Bersama sastra, Aku Ingin Hidup 1000 tahun lagi!"

Jika mendengarkan pembahasan mengenai karya  sastra tentunya yang terlintas dalam pikiran dan benak kita adalah novel, puisi, pertunjukkan atau pergelaran seni, dan tak lupa tokoh-tokoh besar dan populer yang menjajahnya. 

Sastra menjadi suatu bacaan populer yang bertujuan sebagai sarana hiburan dan informatif. Sastra mengambil yang tak kalah penting dalam hidup manusia, walaupun sastra terbentuk sebagian dari hasil imaji sang pengarang dan sebagian dari hasil realita yang dialami. 

Secara tidak disengajai sastra menggiring kita untuk lebih melihat masalah yang berhubungan dengan kemanusiaan. Bagaimana dalam karya sastra sang pengarang menuliskan ceritanya melihat dari pengalaman subjektif serta permasalahan yang sering ditemui dalam kesehariannya, berinteraksi dengan manusia lain. 

Hal ini menyatakan bahwa semakin seseorang memaknai sastra maka ia akan semakin mendalami makna dari kebijaksanaan dalam bersosialisasi antar sesama. Tak hanya itu, sastra juga mengambil peran dan membawa pengaruh yang cukup signifikan dalam perubahan kebudayaan dan peradaban manusia.

Secara etimologis, sastra atau susastra berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti sas mengajar atau memberikan suatu petunjuk dan -tra sendiri berarti sarana atau alat, sedangkan awalan su- dalam kata susastra memiliki arti indah atau baik (Susanto, 2016). Ragam sastra secara umum dibagi ke dalam tiga bentuk yaitu puisi, drama, dan prosa. Namun dalam perkembangannya sastra mengalami transformasi bentuk menjadi lebih variatif seperti lagu, film, dan bentuk seni lainnya.  

Para figur besar, humanis, dan menjadi tokoh inspiratif dunia seperti Mahatma Gandhi, Soekarno, Nelson Mandela, dan sederet tokoh lainnya gemar membaca sastra dan menjadikan sastra sebagai salah satu kegiatan reflektif mereka. 

Eagleton (2010, h. 4) mendefinisikan Sastra sebagai suatu  karya tulisan indah (belle letters) yang mencatatkan sesuatu dalam bentuk bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjang pendekan dan diputarbalikan, dijadikan ganjil atau cara pengubahan estetis lainnya melalui alat bahasa.

Karya sastra yang tak luput dari pemikiran suatu rekaan dan fiktif, namun meski demikian sesungguhnya seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya sebuah karya sastra tidak dapat dilepaskan dari realitas kehidupan sosial nyata karena mengingat hubungan sastra dengan dunia sosial yang telah lama menjadi kajian yang sangat luas, terkhususnya dalam konteks sosiologi sastra.

Filsuf Plato (427-347 SM) mengatakan bahwa sastra merupakan bentuk refleksi dari suatu masyarakat dan melalui konsep mimesis-nya ia menegaskan bahwa pengarang adalah peniru sehingga sastra dianggap sebagai mimesis atau sebuah proses peniruan dari realitas dalam dunia ide. Dalam artian suatu gambaran realitas yang dimaksudkan yakni gambaran yang menjadi ilusi mengenai realitas.

Merujuk pada pemahaman Plato ini, masyarakat dapat memaknai sastra sebagai kristalisasi dari nilai-nilai yang dipraktikkan oleh suatu kelompok masyarakat tertentu dan syarat terhadap aspek sosial budaya yang ada. 

Sebagai salah satu contoh tokoh Sastra ialah Sapardi Djoko Damono yang turut menyetujui model atau cara berpikir Plato bahwa sastra selalu bersinggungan dengan aspek sosial budaya. Menurut beliau sajak Hujan Bulan Juni ini sastra bukanlah semata suatu entitas mandiri, tetapi diciptakan oleh seorang pengarang untuk dinikmati, dihayati, dipahami, serta dimanfaatkan oleh pembaca. 

Tak hanya Sapardi adapun seorang penyair muda berasal dari NTT yakni Felix K. Nesi dalam puisinya yang berjudul "Di Rumah Seorang Asing uang Tak Henti Membicarakan Rambut dan Warna Kulit" pada bukunya Kita Pernah Saling Mencintai (2021, h. 28), dalam penggalan bait ketiga puisinya ia menuliskan "Di negeri kami, orang bercerita tentang tanah yang hilang, tentang bangsa yang tak punya siapa-siapa selain ibukota." Puisinya ini mencoba menjelaskan bagaimana adanya rasisme yang ia rasakan dan bagaimana ia mencoba merangkainya dalam diksi yang tepat. 

Dalam konteks ini komponen pengarang dan pembaca adalah anggota masyarakat yang terikat oleh kelompok sosial tertentu beserta pendidikan, agama, adat istiadat, suku dan ras serta lembaga sosial yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, ide pengarang yang dituangkan dalam karya sastra meskipun berupa fiksi sangat sulit dilepaskan dari pengalaman subjektifnya sebagai makhluk sosial.

Dengan demikian sastra menjadi sebuah seni yang memanfaatkan bahasa sebagai media untuk meracaukan dan menuangkan segala isi kicauan di kepala dan benak, sastra menawarkan berbagai kesempatan untuk melangsungkan kritik terhadap oknum pemerintahan yang mungkin tidak berjalan sesuai dengan kemauan masyarakat dalam melaksanakan perubahan sosial. Hal ini dikarenakan sastra memiliki akses sosial yang secara potensial memungkinkan pengarang untuk menggulirkan gagasannya kepada khalayak demi perubahan sosial-budaya ke arah yang lebih baik. 

Seperti contohnya penulisan Felix Nesi yang menyuarakan mengenai persoalan rasisme dan ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat timur dimana hal ini berbanding terbalik dengan apa yang diberikan pada wilayah Jawa. Secara tidak langsung beliau pun mengingatkan bahwa Indonesia tidak hanya terdiri atas ibukota namun adapun saudara kita yang berasal dari timur Indonesia. Melalui karya puisinya ini mampu membawa isu perubahan dalam konteks keadilan dan ras. 

Tulisannya ini cukup menyampaikan bagaimana bentuk diskriminasi dan ketidakadilan yang dilakukan oleh masyarakat di luar Indonesia timur, dapat dilihat dari judulnya "Di rumah seorang Asing" yang terdiri atas makna kiasan dengan maksud pesan dibaliknya bahwa ia merantau ke luar daerah dan mendapatkan ketidakadilan seperti itu dan menuangkannya ke dalam karya sastra.

Oleh karena itu bisa kita pahami bersama bahwa sastra bukan hanya sekadar bacaan ringan, tetapi sastra merekam segala kompleksitas dan dinamika sosial-budaya yang terjadi dalam kehidupan manusia sehingga hal ini juga dapat dijadikan alasan dasar mengapa sastra ada di setiap zaman, yaitu karena sastra dibutuhkan oleh manusia.

 

Daftar Pustaka:

Eagleton, Terry. (2010). Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. (Edisi Terjemahan Harfiah Widyawati dan Evy Setyarini). Yogyakarta: Jalasutra. 

Nesi, K. Felix. (2021). Kita Pernah Saling Mencintai. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nurhaida. (2018). Sastra dan Kehidupan. Diakses pada 23 Maret 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun