Mohon tunggu...
Agustinus Nicolaus Yokit
Agustinus Nicolaus Yokit Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Bukan seorang Pujangga dan Bukan seorang Filsuf

Menjadi prehensi positif bagi perkembangan orang lain... Masih belajar untuk Altruis... Sedang berjalan dalam pencarian pada Kebijaksanaan Sejati...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terapi Naratif oleh Michael White dan David Epston

11 Agustus 2021   13:27 Diperbarui: 11 Agustus 2021   13:47 3336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

1. Pengantar

Narrative Therapy atau Terapi Naratif merupakan teori konseling pastoral yang dikembangkan untuk membantu setiap individu agar mampu bertumbuh dan berkembang. Terapi Naratif merupakan bagian penting dari teori konseling, yang amat dikuasai oleh Michael White dan David Epston (1990). Bahkan merekalah yang kemudian membangun teori ini seturut penguasaan dan pemahamannya.[1] White berpendapat bahwa setiap individu mampu mengkonstraksikan makna hidup mereka melalui interpretasi cerita, yang kemudian diyakini sebagai "kebenaran" (1992). Oleh karena itu pendekatan ini diberi nama Narrative Therapy atau bisa juga disebut Narrative Counseling. Teori ini berada di dalam bingkai konstruksi sosial dan berkembang pada zaman postmodern yang kemudian berfokus pada kekuatan dan pengetahuan di dalam keluarga serta sosial.[2] 

 

2. Apa itu "Narrative Therapy"?

 Narrative Therapy atau terapi naratif adalah sebuah pendekatan dalam konseling yang berupaya membantu individu memahami setiap kejadian hidup yang telah ia bangun dalam narasi hidupnya. Terapi naratif juga mampu membantu individu untuk mengidentifikasi masalah yang mendominasi narasi hidupnya sehingga mampu merestrukturisasi alternatif narasinya kepada hidup yang baru dan lebih bermakna (White & Epston, 2006). Terapi naratif adalah gaya terapi yang membantu orang menjadi ahli dan mampu merangkul  kehidupan mereka sendiri. Dalam terapi naratif, penekanan utama lebih ditujukan pada pengalaman yang diceritakan. Cerita tersebut dikembangkan dan dibawa bersama di dalam dan melalui kehidupan. Ketika kita mengalami peristiwa dan interaksi, kita pun memberi makna pada pengalaman-pengalaman itu. Dan pada gilirannya, pengalaman itu turut mempengaruhi bagaimana kita memandang diri kita sendiri dan dunia kita.

 Para terapis naratif meyakini bahwa penyembuhan dan perubahan dapat ditemukan melalui percakapan lewat cerita atau menceritakan kembali cerita-cerita yang ada. Pada akhirnya, para terapis juga percaya bahwa sebagai individu, orang akan mampu memahami kehidupan sehari-hari mereka melalui narasi.[3] Narrative Therapy (terapi naratif) juga merupakan konseling yang menggunakan cerita narasi dalam pengubahan kondisi konseli. Cerita yang dibuat oleh konseli merupakan cerita yang bermakna dalam permasalahan hidupnya. Dalam proses kolaborasi, konselor membantu konseli mengeksplorasi kisah mereka. Konseli didorong untuk menggunakan kata-kata mereka sendiri untuk menceritakan kisah mereka sendiri yang membawa arti baginya.Terapi naratif mampu menangani seseorang yang mengalami kondisi pesimis hebat, keraguan atas dirinya, mudah marah, ketidak pedulian, gelisah, cemas, dan beberapa perasaan yang menunjukkan masalah depresi yang dialami (White & Epston). 

 Umumnya, pendekatan narasi melibatkan menulis dalam bentuk puisi, bibliotherapy, cerita, dan rekonstruksi narasi. Dengan mendorong klien untuk berbagi cerita dalam hubungan terapeutik, konselor atau terapis memfasilitasi pertumbuhan klien melalui reauthoring persepsi tentang hidup mereka. Untuk alasan ini, beberapa teori percaya bahwa aplikasi naratif adalah alat terapeutik sentral dalam konseling dan psikoterapi.

 3. Konsep-Konsep Inti

 

Peran Cerita

 Kita hidup dengan cerita yang kita ceritakan tentang diri kita dan orang lain katakan tentang kita. Cerita ini sebenarnya membentuk realitas yang dalam, bahwa mereka membangun dan membentuk apa yang kita lihat, rasakan dan lakukan. Cerita kita hidup dan tumbuh dari percakapan dalam konteks sosial dan budaya. Tetapi klien tidak mempunyai  peran patologis, korban yang hidup tanpa harapan dan meyedihkan, melainkan mereka muncul sebagai pemenang yang berani menceritakan kisah-kisah nyata. Cerita tidak mengubah orang yang mengatakan cerita, tetapi juga mengubah terapis yang beruntung menjadi bagian dari proses ini (Monk, 1997).[4]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun