Pernahkah kalian mendengar kata wareg? Yang merasa orang Jawa atau Bali pasti tahu dong apa arti dari “wareg” ini. Wareg sendiri artinya kenyang. Lalu apa pengertian wareg dalam etnomatematika dan sains?
Konsep wareg dalam etnomatematika dan sains adalah perasaan kenyang dan puas setelah memakan makanan yang dihasilkan dari proporsi bahan yang baik, perhitungan takaran yang pas, dan teknik pengolahan makanan yang tepat guna memenuhi kebutuhan fisik individu tersebut. Pada dasarnya semua makanan khas daerah terdapat etnomatematika dan etnosains yang bisa dianalisis. Mari mengambil dua contoh, yaitu plecing kangkung yang berasal dari Lombok dan ayam betutu yang berasal dari Bali. Plecing kangkung dan ayam betutu adalah dua kuliner khas nusantara yang mengguggah selera dan menyimpan nilai budaya, ilmu pengetahuan, dan matematika dalam proses pembuatannya. Kedua hidangan ini menjadi cerminan bagaimana etnomatematika dan sains berperan dalam memenuhi kebutuhan wareg.
Mendengar kata plecing kangkung pasti sudah tahu apa bahan dasarnya. Yap tentu saja bahan dasarnya adalah kangkung. Kangkung atau yang dikenal dengan nama latin Ipomoea aquatica adalah sayuran berdaun hijau yang tumbuh di daerah tropis. Kangkung biasanya tumbuh di area berair seperti sawah atau rawa, tetapi juga bisa dibudidayakan di kebun biasa. Kangkung yang biasa digunakan dalam plecing memiliki keunikan tersendiri. Plecing kangkung adalah makanan khas Indonesia yang berasal dari Lombok berupa kangkung yang direbus kemudian disirami oleh sambal plecing. Selain di Lombok, di Bali juga ada plecing kangkung. Plecing kangkung di Bali biasanya cenderung lebih pedas. Di Bali memang terdapat plecing kangkung juga, tapi yang akan dibahas di artikel ini yaitu plecing kangkung yang berasal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Ternyata plecing kangkung terdapat pola matematis yang menarik dalam proses memasaknya. Adapun aspek etnomatematika yaitu perhitungan takaran untuk membuat sambal plecing. Plecing kangkung mempunyai rasio cabai merah besar dan rawit 6:5 untuk memberi tingkat pedas yang pas, serta rasio takaran gula-garam 1:2 untuk menetralkan rasa pahit dari terasi. Sedangkan pada analisis etnosains-nya terdapat pada teknik memasak seperti merebus kangkung selama 2 hingga 3 menit supaya nutrisi pada kangkung bisa dipertahankan. Teknik rebus singkat mempertahankan 90% kandungan air dan nutrisinya. Kangkung dalam plecing kangkung adalah pembangkit nutrisi rendah kalori tapi kaya manfaat. Kangkung mengandung serat, vitamin A dan C, zat besi, serta kalsium dan antioksidan. Plecing kangkung bukan sekadar mengenyangkan, tapi juga mengisi ulang energi tanpa beban kalori berlebih.
Jika plecing kangkung mengajarkan kita bagaimana kesederhanaan sayuran diolah dengan presisi matematis dan sains, maka Ayam Betutu dari Bali memperlihatkan keunikan yang tak kalah mengagumkan. Kedua hidangan ini sama-sama memanfaatkan prinsip wareg. Ayam betutu yaitu suatu masakan khas Bali yang melibatkan waktu yang cukup panjang dan perpaduan matematis dari puluhan rempah-rempah. Berbeda dengan plecing kangkung yang disajikan dengan segar, ayam betutu justru membutuhkan 6-8 jam pemasakan supaya bumbunya meresap dan untuk mencapai tekstur empuk hingga tulang.
Sama seperti plecing kangkung, tentu saja hidangan ayam betutu ini terdapat nilai etnomatematika dan etno sains-nya. Adapun analisis etnomatematika yang terdapat di hidangan ini selain pada rasio tertentu pada komposisi bahan yang digunakan, ada pada proses pembuatannya yaitu menerapkan konsep geometri ruang melalui teknik membungkus ayam utuh dengan daun pisang, menciptakan ruang yang kedap udara untuk memastikan panasnya merata selama proses pengukusan. Hal ini merupakan bentuk kalkulasi masyarakat Bali untuk mengefisiensikan energi dalam memasak. Selain itu, waktu yang diperlukan sekitar 6-8 jam menunjukkan pemahaman tentang interval matematis dalam transformasi tekstur daging, di mana kolagen terurai sempurna pada titik waktu tertentu tanpa perlu alat pengukur modern. Dari sisi etno sains, Ayam Betutu memanfaatkan prinsip kimia rempah dan biologi pangan. Rempah-rempah seperti kencur dan kunyit tidak hanya sebagai penyedap, tetapi juga mengandung senyawa antimikroba alami yang mengawetkan daging selama proses masak. Teknik pengukusan dengan daun pisang memicu reaksi pelunakan daging secara alami, sementara ketika dibakar (dipepes) menambahkan aroma-aroma asap bakar yang khas melalui reaksi-reaksi kimia.
Dari hidangan plecing kangkung hingga ayam betutu, masakan daerah Indonesia ternyata menyimpan logika matematis dan sains tradisional dalam menciptakan rasa wareg. Dari makanan plecing kangkung bisa mengajarkan bagaimana perbandingan komposisi bahan dan cara pengolahan yang tepat bisa menciptakan kepuasan. Sedangkan ayam betutu mengajarkan langkah-langkah yang bertahap dengan pengelolaan interval waktu yang benar. Meski berbeda pendekatan, keduanya sama-sama dirancang untuk memenuhi tidak hanya kebutuhan fisik, tetapi juga kepuasan batin. Analisis ini membuktikan bahwa kuliner Nusantara bukan sekadar urusan rasa, melainkan juga warisan ilmu pengetahuan yang patut dilestarikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI